SELAMAT DATANG DAN SELAMAT BERJUMPA

Senin, 25 Oktober 2010

ANAK MANUSIA DATANG UNTUK MENCARI DAN MEYELAMATKAN YANG HILANG

MG BIASA XXXI (C)
Hari Minggu, 31 Oktober 2010


Keb 11:22-12:2;
2 Tes 1:11-2:2;  
Luk 19:1-10

      Biasanya Yesus lebih memperhatikan orang-orang yang hatinya remuk redam, yang tersingkir, orang yang menderita sakit,  dan orang-orang miskin; lalu terhadap orang kaya Ia sering mengkritiknya dengan keras. Tetapi kali ini Ia malah mendekati Zakheus kepala pemungut cukai yang terkenal kaya.
      Zakheus sebagai kepala pemungut cukai terkenal kaya raya, tetapi ia dibenci banyak orang. Di mata masyarakat ia dianggap musuh rakyat karena Zakheus memeras rakyat dengan memungut pajak demi kepentingan penjajah Romawi. Sebagai pemungut cukai harta kekayaannya dicurigai hasil korupsi sehingga tidak mustahil ketika Yesus ingin menemui dia, semua orang bersungut-sungut dan berkata, “Ia menumpang di rumah orang berdosa.” 

      Tetapi jangan heran, Yesus tahu apa yang ada dalam hati Zakheus. Dalam perjalanannya melintasi kota Yerikho Ia melihat seorang yang bertengger di atas pohon, ternyata orang itu adalah Zakheus. Zakheus yang berbadan kecil terhalang banyak orang untuk bisa melihat Yesus, maka berlarilah dia mendahului mereka kemudian naik di atas pohon ara agar bisa melihat dengan jelas seperti apakah Yesus itu? Tampaknya Zakheus sudah cukup lama mendengar khabar tentang siapakah Yesus. Mungkin ia pernah mendengar apa saja yang telah dilakukan Yesus kepada banyak orang dengan mukjizat-mukjizat-Nya. Itulah sebabnya ia ingin melihat Yesus dari dekat.     
      Ternyata benar, usahanya berhasil menarik perhatian Yesus. Maka berkatalah Yesus, “Hai Zakheus, turunlah. Hari ini Aku akan menginap di rumahmu!” Tindakan Yesus singgah di rumah Zakheus membuat orang Yahudi bersungut-sungut. Kenapa Ia mau menginap di rumah pendosa dan bukankah Zakheus itu sebagai musuh rakyat. Menanggapi hal ini Yesus tidak marah dan tidak langsung mengkritik mereka, karena yang Ia lakukan ini sebagai sapaan kasih pada orang yang tersentuh hatinya dan bertobat.
      Zakheus, merasa dirinya adalah orang berdosa memperoleh sentuhan yang penuh kasih dari Yesus. Zakheus tidak menyangka sama sekali kalau bisa bertemu secara pribadi dengan Yesus. Ia tidak menyangka bahwa Yesus sendiri mau menawarkan diri untuk datang ke rumahnya. Perasaan kaget dan tercengang membuat sukacita baginya. Sampai Zakheus mengungkapkan keinginannya untuk bertobat dan memperbaiki hidupnya, katanya, “Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat.”
      Hatinya yang tadinya hanya terbuka sedikit, sekarang terbuka secara penuh setelah bertemu dengan Yesus. Kesanggupannya berbuat baik kepada orang miskin dan yang dirugikan sungguh mencerminkan kemurahan hati. Ia tidak hanya mengganti rugi, tetapi merelakan yang menjadi miliknya diberikan kepada orang miskin. Melihat hal itu Yesus berkata, “Orang demikian pantas menjadi anak Abraham. Hari ini terjadi keselamatan.” Pertemuan pribadi dengan Yesus menjadikan Zakheus dan keluarganya memperoleh keselamatan.
      Rupanya Zakheus menyadari bahwa Tuhan tidak mau menghukum tetapi mau menyelamatkan. Tuhan tidak melihat kesalahan-kesalahan masa lalu tetapi Tuhan melihat kesungguhan hati sesorang untuk bertobat. Seperti dalam bacaan pertama hari ini Tuhan menyayangi semua ciptaan-Nya. Tuhan tidak langsung menghukum berat bagi pendosa tetapi Tuhan menghukum berdikit-dikit sebagai peringatan agar orang memperbaiki diri. 
      Semoga pertemuan Zakheus dengan Yesus menyadarkan kita bahwa Tuhan sungguh mahakasih dengan mencintai semua orang berdosa yang mau bertobat. Dan semoga membuat sikap kita untuk berubah, dengan tidak bersungut-sungut ketika Tuhan memberikan kesempatan dan tawaran kasih-Nya kepada orang yang dianggap tidak pantas. Karena Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang. (FX. Mgn)

Senin, 18 Oktober 2010

BERDOA DENGAN RENDAH HATI DAN JUJUR

MG BIASA XXX (C)
Hari Minggu, 24 Oktober 2010

Sir 35:12-14. 16-18;
2 Tim 4:6-8. 16-18;    
Luk 18:9-14

      Seorang pemasar yang cukup pengalaman melamar pekerjaan kepada kepada bos pengembang perumahan yang cukup besar. Si pemasar meyakinkan pada bos bahwa ia sanggup menjual seluruh rumah yang dibangun dalam tempo tiga bulan. Ia juga menunjukkan kesalehannya bahwa seluruh rencana dan usahanya dibawa dalam doa, maka ia sangat yakin dan mantap bahwa Tuhan selalu memberkatinya. Disamping itu ia punya modal dan pengaruh, ia punya pengalaman menjual serta banyak relasinya. Tanpa melihat kualitas rumah dan fasilitas yang ada ia akan memasarkan dengan cara melebih-lebihkan kualitas jualannya kepada pembeli dengan tidak mengatakan kekurangannya. Yang penting terjual terima uang, urusan selesai. Resiko selanjutnya adalah urusan pembeli. 
      Pelamar kedua yang tidak punya pengalaman melamar juga tetapi ia tidak punya modal. Modalnya hanya sebuah proposal dan kejujuran serta niat yang tulus untuk membantu memasarkan produk. Dalam proposalnya pelamar yang belum berpengalaman ini menjelaskan secara terperinci semua kelebihan dan kekurangan produk itu, serta solusinya agar pembeli puas. Melihat ketulusan pelamar yang kedua ini, bos menerima lamaran tersebut. Bos itu tidak menerima pelamar yang pertama karena kesombongannya dan ketidakjujurannya.

      Injil hari ini, kita mendengar sebuah perumpamaan yang disampaikan Yesus mengenai doa orang Farisi dan pemungut cukai. Mereka berdoa di Bait Allah. Orang Farisi berdoa begitu panjang dan penuh syukur karena ia merasa tidak tergolong para pendosa. Dalam doanya ia mengatakan, bahwa belum pernah menipu atau pun mencuri apalagi merampok. Ia juga tidak berzina dan ia tidak pernah lupa beramal dan berpuasa. Si Farisi di depan Tuhan membenarkan dirinya, bahwa ia jauh lebih baik dari orang lain. Si Farisi membandingkan dirinya dengan si pemungut cukai yang saat itu berdiri di belakangnya. Sedangkan si pemungut cukai berdiri jauh-jauh dan hanya berdoa singkat: "Ya Allah, kasihanilah aku orang yang berdosa ini." Dengan rendah hati ia mengakui kesalahannya dan mohon ampun di depan Tuhan. Yesus memuji pemungut cukai tersebut karena doanya diucapkan dengan penuh kerendahan hati. Doanya singkat tetapi diucapkan dengan penuh perasaan dan keyakinan bahwa Tuhan itu mahakasih dan mahapengampun. Si pemungut cukai sebagai orang yang dibenarkan Allah, sedangkan si Farisi tidak, karena si Farisi berbohong di hadapan Tuhan dan menyombongkan diri.
      Si Farisi tidak dibenarkan karena dalam doanya ia hanya membenarkan dirinya sendiri dan selalu membandingkan kehebatannya dengan orang lain untuk menunjukkan bahwa dirinya hebat dan baik. Dalam doanya si Farisi tidak pernah bicara tentang Tuhan atau berserah kepada Tuhan, tetapi ia berbicara tentang dirinya sendiri. Ia memoles dirinya agar nampak hebat dan cantik di depan Tuhan. Sedangkan si pemungut cukai berdoa dengan hati yang jujur. Ia membuka hatinya dengan rendah hati kepada Tuhan. Dia mengatakan secara benar siapakah dirinya di hadapan Tuhan. Si pemungut cukai mengakui Tuhan sebagai yang berbelas kasih dan mencintainya. Dia sungguh membutuhkan belas kasih dan pengampunan Tuhan. Si pemungut cukai menggantungkan diri dan bersandar kepada Tuhan.

      Bagaimana dengan kita selama ini?
      Sadar atau tidak sadar, kita berada di tengah zaman yang mengagungkan kesuksesan, kelimpahan kekayaan, dan kenikmatan serta kecantikan. Kita seringkali cenderung melihat orang lain lebih rendah bila ukurannya tidak sesuai dengan perkembangan zaman ini. Kita bisa menjadi seperti orang Farisi yang berdoa dengan meninggikan diri. Sejatinya, kita sadar dan tahu bahwa Allah melihat hati kita. Di hadapan Allah kita semua adalah orang-orang yang membutuhkan belas kasih dan pengampunan. Allah tidak membutuhkan kecantikan dan kehebatan kita tetapi Allah memilih kedalaman dan keterbukaan hati kita. Allah tidak mau mendengarkan doa-doa yang panjang dengan kalimat yang indah-indah tetapi tidak sesuai dengan kenyataan pada diri kita. Allah menghendaki doa kita yang jujur dan tulus serta rendah hati. Dengan merendahkan hati di hadapan Allah, kita bisa belajar untuk melihat sesama hidup ini sebagaimana Allah memandang sesama kita. Karena, orang yang meninggikan diri akan direndahkan; sedangkan orang yang merendahkan diri, ia akan ditinggikan. (FX. Mgn) 

Senin, 11 Oktober 2010

BERDOA TANPA JEMU

MG BIASA XXIX (C)
Hari Minggu, 17 Oktober 2010

Kel 17:8-13;
2 Tim 3:14.4:2;  
Luk 18:1-8
    Pada saat tertentu kita pernah kehilangan harapan karena sebagai orang beriman sudah berdoa bertahun-tahun untuk suatu permohonan yang sama, tetapi tak kunjung ada tanda-tanda Tuhan akan mengabulkan. Yang dihadapi adalah rintangan demi rintangan yang semakin banyak. Ada kesan Tuhan mengulur-ulur waktu dan tidak mendengarkan doa kita. Perasaan hati menjadi kecewa dan membuat mogok berdoa.
    Tetapi, Injil hari ini menjelaskan bahwa Tuhan kita adalah Tuhan yang akan membenarkan kepada kita yang berdoa terus-menerus siang dan malam kepada-Nya. Tuhan akan mendengarkan doa-doa kita yang dilakukan tanpa henti dengan penuh iman. Seorang hakim yang kejam saja akan mengabulkan permohonan seorang janda yang minta terus-menerus, apalagi Allah yang baik hati. Ia akan mengabulkan doa orang-orang yang berseru kepada-Nya dengan keyakinan doanya akan dikabulkan.

    Kita sebagai orang beriman dipanggil untuk berdoa, karena doa merupakan nafas dari kehidupan kita. Itu sebabnya tanpa berdoa, kehidupan iman atau spiritualitas hidup kita akan mati. Doa menjadi bagian yang sangat utama dan menjadi ciri yang nyata bagi kita yang percaya kepada Allah. Maka tidak mengherankan jikalau kesalehan seseorang sering diukur oleh seberapa banyak dia berdoa. Semakin banyak seseorang berdoa, dia dipandang lebih dekat kepada Tuhan. Apabila seseorang telah dekat dengan Tuhan, maka segala hal yang dipanjatkan atau dimohonkan dalam doa akan dikabulkan. Dalam hal ini doa merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan sekaligus sebagai sarana yang tepat untuk menyampaikan berbagai permohonan kepada-Nya.
    
    Lalu apa yang terjadi?
    Kita sering berdoa. Tidak saja berdoa sendiri, tetapi juga bersama-sama dalam ibadat. Bahkan kelihatan agak memaksa Tuhan agar permohonan-permohonan kita dikabulkan. Kadang-kadang setelah bertanya dalam-dalam kita menemukan bahwa ada beberapa doa yang memang tidak perlu dikabulkan, karena sarat dengan kepentingan pribadi. Kita jadi bertanya dalam diri sendiri, apakah doa kita sungguh baik demi kemajuan dan kebahagiaan hidup kita? Apakah kita sudah berdoa dengan penuh iman dan tekun, tidak jemu-jemu serta dengan hati terbuka? Kita sering berdoa bukan karena mengasihi dan mempermuliakan Allah, tetapi berdoa agar keinginan atau harapannya terpenuhi. Tepatnya mendekatkan diri kepada Allah bukan karena Dia yang memiliki kedaulatan, tetapi Allah diimani sebagai obyek untuk melakukan apa yang kita inginkan. Jika demikian, untuk apa Tuhan Yesus mengajar agar kita harus berdoa tiada jemu-jemunya?
    Berdoa dengan tiada jemu seharusnya mengungkapkan kenyataan bahwa hubungan yang tiada jemu dengan Allah. Tepatnya kita dipanggil untuk mengasihi dan mempermuliakan Allah tiada jemu, walaupun tidak setiap permohonannya dikabulkan oleh Allah. Namun kita sering tidak sabar, dengan berkeinginan dan berharap agar semuanya segera terwujud. Kita mestinya menyadari bahwa kita dipanggil oleh Tuhan Yesus untuk berdoa dengan iman dan tekun.
    Marilah kita berdoa dengan tekun dan bertahan dengan tidak pernah menyerah dalam doa. Berkat Tuhan disediakan bagi setiap orang yang berdoa tiada jemu dengan penuh iman. Pada saatnya Tuhan akan mengabulkan permohonan kita menurut pandangan-Nya. Bahkan malahan akan menerima lebih dari yang kita mohon. Maka tidak ada alasan bagi kita untuk berhenti berdoa dan kecewa bila permohonan kita belum dikabulkan. (FX. Mgn)

Senin, 04 Oktober 2010

BERTERIMA KASIH DAN BERSYUKUR


MG BIASA XXVIII (C)
Hari Minggu, 10 Oktober 2010


2 Raj 5:14-17;
2 Tim 2:8-13;    
Luk 17:11-19

      Saya mempunyai seorang teman, mukanya selalu murung dan tidak pernah gembira. Nampaknya tidak pernah bersyukur atas berkat dan karunia yang selama ini ia terima. Yang dibuat ukuran adalah orang lain yang sukses, punya ini punya itu. Adanya hanya kurang terus. “Saya ini apa, saya kan orang yang tidak mampu. Tidak mampu seperti mereka yang apa-apa ada,” keluhnya. Tidak menyadari bahwa dibanding dengan tetangga sekitarnya, ia itu lebih baik hidupnya. Kesehatannya baik. Anak sudah menikah semua. Rumah dan perabotan komplit. Kendaraan ada. Kenapa merasa kurang terus, tidak berterima kasih dan bersyukur? Karena ia berpendirian sukses ataupun kegembiraan sudah direncanakan dan diperjuangkan sendiri, bukan dari Tuhan. Kalaupun itu berasal dari Tuhan, toh Tuhan sudah tahu. “Bukankah Tuhan tidak membutuhkan syukurku”

      Injil hari ini juga berbicara soal berterimakasih dan bersyukur. Dikisahkan ada sepuluh orang yang sakit kusta berseru di kejauhan memohon belas kasih Yesus untuk disembuhkan. Untuk menguji iman kesepuluh orang kusta itu apakah benar-benar percaya akan sabda-Nya, maka Yesus menyuruh mereka menghadap para imam. Terdorong oleh keinginan untuk sembuh dari penyakitnya maka mereka mematuhi perintah-Nya. Ternyata di tengah perjalanan mereka mengalami kesembuhan.
      Sebagaimana layaknya orang yang disembuhkan, mestinya kembali dulu kepada Yesus untuk berterimakasih sebelum mereka menunjukkan diri kepada imam-imam. Tetapi hanya satu orang yang datang kembali kepada Yesus untuk berterima kasih dan memuliakan Allah. Itu pun orang asing yaitu orang Samaria yang dipandang kafir oleh orang Yahudi. Sedangkan yang sembilan lain yaitu orang Yahudi, pergi begitu saja menemui imam-imam sesuai dengan perintah Yesus agar memperlihatkan diri bahwa mereka sudah tahir.
      Bukankah penyembuhan sakit kusta merupakan karunia yang sangat besar, merupakan pemberian yang sangat besar dari Tuhan? Rupanya, mereka berpandangan tempat memuliakan Allah adalah Bait Suci di Yerusalem. Kesembilan orang Yahudi itu tidak menyadari bahwa Yesus adalah sebagai pribadi yang termasuk lingkungan ilahi. Berbeda dengan seorang Samaria yang kembali dan berterimakasih kepada Yesus. Ia rebah di tanah dengan kepala tertunduk memberi hormat sedalam-dalamya dan mengucap syukur. Ia tersungkur di hadapan Yesus sebagai tanda memuliakan Allah. Ia ingin bertemu kembali kepada Yesus secara pribadi. Sebab Bait Allah adalah Yesus sendiri. Dengan kembali kepada Yesus, orang Samaria mengimani bahwa Yesus adalah imam juga. Memang dari awal orang Samaria dianggap kafir. Namun kenyataannya justru orang yang dianggap “orang asing” atau kafir itulah yang mengakui Yesus sebagai Tuhan dan Penyelamat hidupnya. Oleh karena itu bagi “orang asing” semacam itu pulalah tersedia keselamatan.
      Melihat iman orang Samaria itu, Yesus menegur: “Berdirilah dan pergilah.” Maksudnya berdirilah untuk berjuang dalam hidup ini, dan jangan putus asa. “Sebab imanmu menyelamatkan engkau.” Ia bukan hanya memperoleh kesembuhan tetapi juga memperoleh keselamatan. Bukan seperti orang Yahudi yang merasa bahwa keselamatan mereka sudah terjamin. Merasa keselamatan ada di tangan mereka sendiri. Pahahal sejatinya tidak akan selamat karena berbuat sesuatu, tetapi karena membiarkan Allah berbuat sesuatu dalam dirinya. Itulah iman sejati, yaitu menyerahkan diri secara total kepada Allah dan kepada Yesus Sang Juruslamat.

      Bagaimana dengan kita?
      Seringkali kita juga susah untuk berterimakasih dan bersyukur. Seolah-olah semua keberhasilan kita terjadi begitu saja dengan kemampuan sendiri. Tidak menyadari bahwa kita hidup dan berkembang karena ada dukungan dan bantuan orang lain. Kita sering kali melupakan kebaikan-kebaikan orang lain dan tidak berterimakasih serta bersyukur kepada Tuhan.
        Marilah berterimakasih dan bersyukur kepada Tuhan karena selama ini telah dilayani dan dibimbing oleh para gembala kita, menuju kepada Allah dalam Yesus Kristus. Berterimakasih kepada pemimpin Negara, yang berjuang untuk rakyatnya agar makmur dan sejahtera. Demikian juga bagi yang menderita karena sakit bisa sembuh karena memperoleh pengobatan yang baik, yang kurang beruntung bisa mandiri dan berkembang berkat dukungan serta bantuan sesama. Dengan saling melayani satu sama lainnya, semoga kita termasuk dalam barisan orang Samaria yang tahu berterimakasih dan bersyukur. (FX. Mgn)