Prodiakon memang harus tulus melayani dalam mengabdi
Seringkali kita mendengar keluhan di antara anggota prodiakon bahwa si Anu hari ini mangkir tugas dan tidak memberitahukan atau mencari pengganti. Si Anu 2 tidak mau mengirim komuni kepada pasien karena tidak punya kendaraan. Kemudian si Anu 3 tidak mau tugas di tempat ibadah tertentu karena jauh. Alasan yang timbul, biarlah nanti juga ada yang lain bertugas.
Anda dilantik untuk tugas itu.
Sebenarnya bila seorang prodiakon sadar akan tugas dan kewajibannya ketika mereka dilantik itu adalah untuk melaksanakan tugas-tugas yang dipercayakan kepada mereka oleh imam dan uskup. Tugas seorang prodiakon antara lain ialah menerimakan komuni kudus kepada sesama umat beriman, serta membawa Tubuh Kristus kepada warga jemaat yang sakit/jompo dan membutuhkan topangan dari santapan rohani. Pelayanan ini suci, sebab langsung mengabdi kepada hadirat Allah dalam Sakramen Ekaristi, dan karena merupakan pelayanan yang sangat dibutuhkan umat demi kelestarian dan pertumbuhan hidup mereka sebagai Tubuh Kristus. Pelayanan yang diserahkan kepada prodiakon ini juga merangkum tugas untuk membimbing sesama umat dalam pelayanan mereka di sekitar altar Tuhan.
Melihat hal itu mestinya seorang prodiakon tidak ada alasan untuk tidak melaksanakan tugas itu kecuali karena sakit. Tidak ada kata malas, capek, atau alasan apa pun. Karena Anda dilantik untuk tugas itu.
Kenapa bisa terjadi ada prodiakon membandel?
Biasanya ini terjadi karena proses mereka untuk menjadi prodiakon tersebut tidak melalui proses penyaringan yang benar. Pertama-tama prodikon yang membandel ini ketika mau menjadi prodiakon tidak mempunyai motivasi yang baik. Saya mau jadi prodiakon karena saya sudah tidak lagi jadi ketua lingkungan atau ketua wilayah. Atau saya mau melayani ini setelah saya pensiun. Jadi hanya untuk pelarian. Justru diharapkan prodiakon itu sebaiknya malah yang masih aktif bekerja. Kalau mereka bisa mengatur waktu dengan baik pelayanan akan seimbang. Seseorang prodiakon yang gagal biasanya karena hanya ditunjuk oleh ketua wilayah atau ketua lingkungannya untuk menjadi prodiakon. Jadi tidak melalui proses penyaringan yang baik. Yang penting mau tanpa mengerti persis apa yang menjadi tugas utamanya. Begitu dilantik jadi prodikaon dan harus melaksanakan tugas jadi ketakutan dan menghindar dari tugas dengan berbagai alasan.
Keluarga mendukung tugas prodiakon bukan mengatur.
Sebetulnya proses pemilihan untuk menjadi prodiakon itu sangat panjang mulai dari persetujuan keluarga. Apakah keluarga mendukung apa tidak. Sebab kalau keluarga tidak mendukung ketika harus bertugas mengirim komuni atau tugas di gereja bisa-bisa dianggap pergi ke tempat lain. Jadi keluarga bukan mengatur prodiakon tetapi mendukung. Seseorang untuk bisa menjadi prodiakon memang harus memenuhi beberapa syarat yang ditentukan oleh paroki setempat. Salah satunya harus layak dan pantas. Untuk kepantasan dan kelayakan ini harus dilakukan pemilihan oleh umat karena prodiakon itu untuk umat. Jangan sampai ada prodiakon yang ditolak umat. Dari lingkungan dipilih satu atau dua orang untuk dicalonkan sebagai anggota prodiakon. Kemudian calon dari beberapa lingkungan dibawa ke wilayah untuk disaring lagi satu atau dua orang diajukan ke pastor paroki untuk diseleksi. Calon dari paroki diajukan ke bapak uskup. Kemudian para calon yang sudah disetujui uskup baru dilantik oleh bapak uskup atau imam yang ditunjuk atas nama uskup.
Karena itu Prodiakon harus memiliki nama baik, sebagai pribadi maupun keluarga, mempunyai penampilan layak dan diterima umat, serta didukung keluarga. Apabila dalam perjalanan waktu seorang prodiakon mendapat kesulitan dalam hidup rumahtangganya atau menjadi batu sandungan umat, maka sebaiknya ia non aktif terlebih dahulu atau berhenti. Jadi untuk menjadi prodiakon memang harus tulus untuk melayani dan menimba semangat pelayanan dari apa yang ia wakili dan hadirkan yaitu: diakon tertahbis. Sebab diakon berarti pelayan. Maka menurut hakikatnya, seorang prodiakon dilantik untuk mewakili sang pelayan (diakonos). Prodiakon siap menerima tugas dari pastor, paroki, Lingkungan/Wilayah, RT/RW dan masyarakat, lingkungan kerja, dan tentu saja keluarga di rumah. Siap menghadapi keruwetan hidup, memanggul salibnya setiap hari, dan harus menyangkal diri. (Luk 9:23). Pelayanan maksimal, tanpa memperhitungkan untung rugi baik moril ataupun materiil, tanpa pilih kasih/pandang bulu, terutama kepada yang miskin, lemah, tersisih dan sakit. Dengan memahami tugas mulia sebagai prodiakon dan melayani dengan tulus maka ketika mereka melaksanakan tugas tidak akan menjadikan beban tetapi merupakan bentuk tanggungjawab dalam pengabdian. Semoga. (FX. Mgn)
Selasa, 30 Juni 2009
Senin, 29 Juni 2009
Jangan ikut-ikutan
Yen ana enake ben dirasakake dhewe, yen ana rekasane ya ben disangga dhewe. (Karijaredja).
Maksudnya: Kalau ada enaknya biar dirasakan sendiri, kalau ada sengsaranya ya biar ditanggung sendiri.
Pesan ini disampaikan oleh kakek Karijaredja kepada saya cucunya agar jangan ikut-ikutan orang lain melakukan sesuatu yang tidak baik. Biar saja orang lain melakukan sesuatu dan juga menikmati sesuatu apa yang mereka lakukan. Kamu tidak harus tertarik atau ada keinginan melakukan yang sama apa yang terjadi dalam lingkungan hidup kamu. Karena apa? Bila kamu ikut-ikutan berbuat sesuatu yang kurang baik kamu akan menerima konsekuensi dari pelanggaran itu. Entah dipermalukan orang lain atau pun menerima hukuman yang setimpal sesuai dengan pelanggaran itu.
Saya kira pesan ini juga berlaku pada siapa pun bahwa dalam kehidupan kita sehari-hari sering kali menghadapi tawaran-tawaran yang menggiurkan yang mengantarkan kita akan perbuatan yang melanggar hukum. Pelanggaran itu bisa datang karena memang ada kesempatan, atau datang karena ditawari, bahkan mungkin diajak atau pun dicobai. Atau mungkin malah mencari-cari peluang untuk melakukan sesuatu pelanggaran untuk memperkaya diri, agar bisa menikmati segala sesuatu dengan mudah tanpa melalui perjuangan dan kerja keras. Setelah ketahuan dan harus menghadapi proses hukum baru sadar bahwa apa pun yang dilkukan tadi tanpa memperhitungkan untung ruginya. Yang dilihat hanya untungnya saja dan tidak sadar bahwa bukan untung yang diperoleh tetapi malah mengalami kerugian yang besar. Namanya jatuh, malu sama tetangga, teman-temannya, dan komunitasnya. Lebih malu lagi terhadap keluarga, terutama anak-anak.
Namun jaman sudah berubah. Sekarang orang bila ketahuan melanggar hukum kemudian
menjadi berita publik dan konsumsi media cetak atau elektronik, malah bangga dan tidak malu atau menyesal apa lagi mengakui kesalahannya. Yang terjadi malah menolak segala tuduhan dengan berbagai cara dan menyewa pengacara agar bebas dari tuntutan hukum.
Berikut kisah nyata di desa saya ketika saya masih kecil. Ada seorang desa mempunyai tiga orang anak masih kecil-kecil. Kala itu musim peceklik karena kemarau panjang dan tidak ada makanan apa pun. Karena terdorong rasa lapar dan tidak ada yang dimakan kemudian bapak itu tergerak hatinya mencuri jagung tetangga. Pohon jagung yang daunnya melambai-lambai karena ditiup angin membuat si bapak tadi seolah-olah "diawe-awe" atau diminta agar segera memetik jagung itu. Si bapak tergoda oleh lambaian daun dari pohon jagung tadi. Dipetiklah jagung itu kreek… Tiba-tiba si pemilik ladang lewat sambil dhehem, heeeem…. Maka si pencuri tadi gagal mengambil jagung tadi. Singkat cerita bukan jagung yang didapat tetapi malu yang tak terhapuskan.
Ada semacam adat di desa saya bila orang yang pernah mencuri ayam, atau pisang tetangga, biasanya orang itu sudah dianggap maling yaitu perbuatan yang memalukan dan aib. Orang yang dianggap maling tadi sudah tidak mempunyai muka lagi. Malunya setengah mati. Orang yang pernah tertangkap basah atau ketahuan mencuri biasanya tidak betah lagi tinggal di desa itu kemudian kabur ke desa lain yang jauh untuk memulai hidup baru.
Sebenarnya semua orang sudah dikaruniai oleh Tuhan suara hati dan naluri. Naluri adalah semacam dorongan melakukan keinginan daging misalnya timbul perasaan haus atau lapar, tetapi karena kita juga mempunyai suara hati, ketika haus atau lapar tidak serta merta harus minum atau makan. Suara hati kita mengingatkan boleh atau tidak saya minum atau makan itu. Kalau kita mau mendengarkan suara hati kita sudah diingatkan untuk melakukan hal itu atau tidak.
Seperti pesan kakek tadi janganlah kita hanya ikut-ikutan karena dorongan naluri: ingin segera memiliki sesuatu, ingin cepat kaya, tetapi tidak mendengarkan bisikan suara hati yaitu: milikilah sesuatu dengan cara yang halal, sabar, berusaha keras dan berani menghadapi tantangan agar tidak "jatuh". (FX. Mgn)
Maksudnya: Kalau ada enaknya biar dirasakan sendiri, kalau ada sengsaranya ya biar ditanggung sendiri.
Pesan ini disampaikan oleh kakek Karijaredja kepada saya cucunya agar jangan ikut-ikutan orang lain melakukan sesuatu yang tidak baik. Biar saja orang lain melakukan sesuatu dan juga menikmati sesuatu apa yang mereka lakukan. Kamu tidak harus tertarik atau ada keinginan melakukan yang sama apa yang terjadi dalam lingkungan hidup kamu. Karena apa? Bila kamu ikut-ikutan berbuat sesuatu yang kurang baik kamu akan menerima konsekuensi dari pelanggaran itu. Entah dipermalukan orang lain atau pun menerima hukuman yang setimpal sesuai dengan pelanggaran itu.
Saya kira pesan ini juga berlaku pada siapa pun bahwa dalam kehidupan kita sehari-hari sering kali menghadapi tawaran-tawaran yang menggiurkan yang mengantarkan kita akan perbuatan yang melanggar hukum. Pelanggaran itu bisa datang karena memang ada kesempatan, atau datang karena ditawari, bahkan mungkin diajak atau pun dicobai. Atau mungkin malah mencari-cari peluang untuk melakukan sesuatu pelanggaran untuk memperkaya diri, agar bisa menikmati segala sesuatu dengan mudah tanpa melalui perjuangan dan kerja keras. Setelah ketahuan dan harus menghadapi proses hukum baru sadar bahwa apa pun yang dilkukan tadi tanpa memperhitungkan untung ruginya. Yang dilihat hanya untungnya saja dan tidak sadar bahwa bukan untung yang diperoleh tetapi malah mengalami kerugian yang besar. Namanya jatuh, malu sama tetangga, teman-temannya, dan komunitasnya. Lebih malu lagi terhadap keluarga, terutama anak-anak.
Namun jaman sudah berubah. Sekarang orang bila ketahuan melanggar hukum kemudian
menjadi berita publik dan konsumsi media cetak atau elektronik, malah bangga dan tidak malu atau menyesal apa lagi mengakui kesalahannya. Yang terjadi malah menolak segala tuduhan dengan berbagai cara dan menyewa pengacara agar bebas dari tuntutan hukum.
Berikut kisah nyata di desa saya ketika saya masih kecil. Ada seorang desa mempunyai tiga orang anak masih kecil-kecil. Kala itu musim peceklik karena kemarau panjang dan tidak ada makanan apa pun. Karena terdorong rasa lapar dan tidak ada yang dimakan kemudian bapak itu tergerak hatinya mencuri jagung tetangga. Pohon jagung yang daunnya melambai-lambai karena ditiup angin membuat si bapak tadi seolah-olah "diawe-awe" atau diminta agar segera memetik jagung itu. Si bapak tergoda oleh lambaian daun dari pohon jagung tadi. Dipetiklah jagung itu kreek… Tiba-tiba si pemilik ladang lewat sambil dhehem, heeeem…. Maka si pencuri tadi gagal mengambil jagung tadi. Singkat cerita bukan jagung yang didapat tetapi malu yang tak terhapuskan.
Ada semacam adat di desa saya bila orang yang pernah mencuri ayam, atau pisang tetangga, biasanya orang itu sudah dianggap maling yaitu perbuatan yang memalukan dan aib. Orang yang dianggap maling tadi sudah tidak mempunyai muka lagi. Malunya setengah mati. Orang yang pernah tertangkap basah atau ketahuan mencuri biasanya tidak betah lagi tinggal di desa itu kemudian kabur ke desa lain yang jauh untuk memulai hidup baru.
Sebenarnya semua orang sudah dikaruniai oleh Tuhan suara hati dan naluri. Naluri adalah semacam dorongan melakukan keinginan daging misalnya timbul perasaan haus atau lapar, tetapi karena kita juga mempunyai suara hati, ketika haus atau lapar tidak serta merta harus minum atau makan. Suara hati kita mengingatkan boleh atau tidak saya minum atau makan itu. Kalau kita mau mendengarkan suara hati kita sudah diingatkan untuk melakukan hal itu atau tidak.
Seperti pesan kakek tadi janganlah kita hanya ikut-ikutan karena dorongan naluri: ingin segera memiliki sesuatu, ingin cepat kaya, tetapi tidak mendengarkan bisikan suara hati yaitu: milikilah sesuatu dengan cara yang halal, sabar, berusaha keras dan berani menghadapi tantangan agar tidak "jatuh". (FX. Mgn)
Kamis, 25 Juni 2009
Dasar lelaki atau lelaki Dasar
Seorang perempuan bernama Imah. Ketika gadis muda, mrantasi sepak-terjangnya. Pintar ping-pong, pintar voli. Aktivis masyarakat, Rt-Rw. Lulusan SMEA, pendidikan terakhirnya. Badannya, tinggi semampai, wajah menarik untuk dilirik. Tapi, itu dulu. Dulu begitu.
Kini, perempuan itu agak berantakan hidupnya. Gara-gara? Gara-gara laki-laki. Ada dua lelaki, yang mengukir memori membekas di batinnya. Memang, ketika gadis, wajahnya cantik-menarik, maka banyak pemuda menaksirnya. Berangkat dari kepiawaiannya main voli, kenallah dia dengan seorang pemuda, yang juga pemain bola voli. Suatu saatpun, mereka menikah. Sampai akhirnya punya anak, malah sampai tiga orang.
Guna menghidupi keluarga, Si pemuda bekerja mencari nafkah. Apapun dijalani, sampai harus pergi ke kota besar. Profesi tukang batu dilakoninya, karena sebagai pemuda desa, memang pintar memasang batu-bata, meniru bapaknya. Sampailah juga di kota besar Metropolitan.
Ketika itu sedang dibangun Mall Taman Anggrek. Dia jadi pekerja, tiap hari memanjat bangunan bertingkat-tingkat.
Apes. Ketika tengah bekerja di calon gedung tingkat tinggi, dia terpeleset. Jatuh menghujam ke tanah. Tewas seketika. Jasadnya dikirim ke desa asal, tak jauh dari kota Purbalingga. Buyarlah kebahagiaan Si Imah, sebagai ibu rumah tangga. Terpaksa status sebagai janda, disandangnya.
Atas kecelakaan itu, istrinya--Si Imah--, dapat santunan. Ada bantuan dana untuk pemakaman, dan sekedar uang untuk kelangsungan hidup sementara waktu. Ditabungnya uang itu oleh istri setia.
Perempuan yang kini janda ini, rajin berdoa, rajin peng-kaji-an. Suatu saat, dalam sebuah acara peng-kaji-an agama, kenallah dengan seorang pemuda. Pandang bertemu pandang, gayung bersambut air. Jadilah kedua insan itu menikah. Berangkat dari acara agama, disahkan dengan upacara agama, di KUA.
Uang santunan yang masih utuh, diputarnya, untuk menambah income keluarga. Dibuatnya, sebuah warung kecil. Juga dibelinya sebuah sepedamotor, dimaksudkan untuk mengojek. Pengemudinya adalah suami barunya. Dua, tiga-minggu skenario indah ini jalan mulus. Tiap hari ada dana masuk dari usaha ojek dan warungnya.
Tapi apa yang kemudian terjadi. Suami barunya ternyata main mata. Main mata dengan perempuan lain. Tak tanggung-tanggung, sampai wanita-idaman-lain itu hamil. Jadi kasus sedesa. Ribut. Pak Lurah sampai harus turun tangan. Ini kasus yang pertama. Tak terlalu lama terselesaikan.
Tapik rupanya, kasus berlanjut kasus. Yang selanjutnya, suami barunya tak kapok bermain mata. Juga dengan wanita tapi yang kini berbeda. Ribut lagi, ribut lagi. Juga sampai hamil, dan lantas punya anak. Dus, jadi satu pria, tiga wanita.
Meski demikian, si pria, suami kedua Imah, masih pulang ke rumah. Namun kini tak pernah setor uang hasil ngojeknya. Uang bablas tak tahu rimbanya. Tak hanya itu, jika pulang terus mau pergi, selalu ambil rokok Jizamzu sebungkus. Padahal itu barang dagangan. Lama-lama, warung kecil-pun bangkrut.
Perkembangan, rupanya tak membaik, melainkan kian buruk. Suaminya mulai jarang pulang. Itupun lalu juga tak soal. Yang jadi soal adalah, motor-ojek yang terbeli dengan uang santunan suami pertama, juga tak pulang. Dicari kesana-kemari, akhirnya ketemu, namun sudah dijual.
Hanya satu kata yang bisa diucapkan, 'Keterlaluan, dasar laki-laki....!'
Saking mumetnya, perempuan bernama Imah rupanya jadi tak tahan, dia ber-usaha jualan jamu. Jualannya tak di pasar modern, atau pasar tradisional, melain kan di pasar hewan. Pembelinya, para penjual & pembeli hewan. Juga para blantik sapi dan wedus. Dan katanya, dari jualan jamu itu, pendapatannya tak seberapa. Dan katanya pula, dia lalu nyambi, nyandang status, sebagai 'Wanita Jalang'. 'Luweeeeeeeeh.....', katanya.
Group Band musik, Koes Plus, pernah menyanyikan lagu berjudul, 'Liku-liku laki-laki'.
Jika para ibu berkumpul, pernah terdengar kalimat, 'Dasarrrrr laki-laki !'
Kota Purwokerto, Slogan-nya, 'Kota Satria'. Lelaki ideal, --menurut wayang-- adalah yang berwatak S a t r i a.
Menjadi laki-laki, adalah sebuah pilihan,
Mau jadi 'Lelaki dasar', atau 'Dasarrrrrrr laki-laki'.
Selanjutnya terserah.................. Selamat menjadi laki-laki. (-agt agung pypm)
Kini, perempuan itu agak berantakan hidupnya. Gara-gara? Gara-gara laki-laki. Ada dua lelaki, yang mengukir memori membekas di batinnya. Memang, ketika gadis, wajahnya cantik-menarik, maka banyak pemuda menaksirnya. Berangkat dari kepiawaiannya main voli, kenallah dia dengan seorang pemuda, yang juga pemain bola voli. Suatu saatpun, mereka menikah. Sampai akhirnya punya anak, malah sampai tiga orang.
Guna menghidupi keluarga, Si pemuda bekerja mencari nafkah. Apapun dijalani, sampai harus pergi ke kota besar. Profesi tukang batu dilakoninya, karena sebagai pemuda desa, memang pintar memasang batu-bata, meniru bapaknya. Sampailah juga di kota besar Metropolitan.
Ketika itu sedang dibangun Mall Taman Anggrek. Dia jadi pekerja, tiap hari memanjat bangunan bertingkat-tingkat.
Apes. Ketika tengah bekerja di calon gedung tingkat tinggi, dia terpeleset. Jatuh menghujam ke tanah. Tewas seketika. Jasadnya dikirim ke desa asal, tak jauh dari kota Purbalingga. Buyarlah kebahagiaan Si Imah, sebagai ibu rumah tangga. Terpaksa status sebagai janda, disandangnya.
Atas kecelakaan itu, istrinya--Si Imah--, dapat santunan. Ada bantuan dana untuk pemakaman, dan sekedar uang untuk kelangsungan hidup sementara waktu. Ditabungnya uang itu oleh istri setia.
Perempuan yang kini janda ini, rajin berdoa, rajin peng-kaji-an. Suatu saat, dalam sebuah acara peng-kaji-an agama, kenallah dengan seorang pemuda. Pandang bertemu pandang, gayung bersambut air. Jadilah kedua insan itu menikah. Berangkat dari acara agama, disahkan dengan upacara agama, di KUA.
Uang santunan yang masih utuh, diputarnya, untuk menambah income keluarga. Dibuatnya, sebuah warung kecil. Juga dibelinya sebuah sepedamotor, dimaksudkan untuk mengojek. Pengemudinya adalah suami barunya. Dua, tiga-minggu skenario indah ini jalan mulus. Tiap hari ada dana masuk dari usaha ojek dan warungnya.
Tapi apa yang kemudian terjadi. Suami barunya ternyata main mata. Main mata dengan perempuan lain. Tak tanggung-tanggung, sampai wanita-idaman-lain itu hamil. Jadi kasus sedesa. Ribut. Pak Lurah sampai harus turun tangan. Ini kasus yang pertama. Tak terlalu lama terselesaikan.
Tapik rupanya, kasus berlanjut kasus. Yang selanjutnya, suami barunya tak kapok bermain mata. Juga dengan wanita tapi yang kini berbeda. Ribut lagi, ribut lagi. Juga sampai hamil, dan lantas punya anak. Dus, jadi satu pria, tiga wanita.
Meski demikian, si pria, suami kedua Imah, masih pulang ke rumah. Namun kini tak pernah setor uang hasil ngojeknya. Uang bablas tak tahu rimbanya. Tak hanya itu, jika pulang terus mau pergi, selalu ambil rokok Jizamzu sebungkus. Padahal itu barang dagangan. Lama-lama, warung kecil-pun bangkrut.
Perkembangan, rupanya tak membaik, melainkan kian buruk. Suaminya mulai jarang pulang. Itupun lalu juga tak soal. Yang jadi soal adalah, motor-ojek yang terbeli dengan uang santunan suami pertama, juga tak pulang. Dicari kesana-kemari, akhirnya ketemu, namun sudah dijual.
Hanya satu kata yang bisa diucapkan, 'Keterlaluan, dasar laki-laki....!'
Saking mumetnya, perempuan bernama Imah rupanya jadi tak tahan, dia ber-usaha jualan jamu. Jualannya tak di pasar modern, atau pasar tradisional, melain kan di pasar hewan. Pembelinya, para penjual & pembeli hewan. Juga para blantik sapi dan wedus. Dan katanya, dari jualan jamu itu, pendapatannya tak seberapa. Dan katanya pula, dia lalu nyambi, nyandang status, sebagai 'Wanita Jalang'. 'Luweeeeeeeeh.....', katanya.
Group Band musik, Koes Plus, pernah menyanyikan lagu berjudul, 'Liku-liku laki-laki'.
Jika para ibu berkumpul, pernah terdengar kalimat, 'Dasarrrrr laki-laki !'
Kota Purwokerto, Slogan-nya, 'Kota Satria'. Lelaki ideal, --menurut wayang-- adalah yang berwatak S a t r i a.
Menjadi laki-laki, adalah sebuah pilihan,
Mau jadi 'Lelaki dasar', atau 'Dasarrrrrrr laki-laki'.
Selanjutnya terserah.................. Selamat menjadi laki-laki. (-agt agung pypm)
Kasih yang tulus
Seorang anak kecil sedang bermain dengan boneka-bonekanya di depan neneknya. Lalu neneknya itu bertanya kepadanya, “Dik, coba tunjukkan kepada nenek, boneka mana yang paling kamu sayangi di antara boneka-boneka yang kamu miliki itu?” Anak kecil itu berkata, “Sebelum aku menjawab, nenek mau berjanji tidak? Nenek harus berjanji bahwa tidak akan menertawakan jawabanku.”
Setelah neneknya berjanji bahwa dia tak akan menertawakannya, anak kecil itu lalu mengambil boneka yang kelihatan paling jelek, tangannya sudah patah dan kulitnya sudah kucel. Melihat hal ini lalu neneknya bertanya kepadanya, “Mengapa kamu menyukai boneka yang paling jelek itu?”
Jawab anak kecil itu, “Ya, boneka yang paling jelek ini kan yang paling membutuhkan kasih sayang lebih daripada bonek-boneka lainnya. Sebab boneka lainnya masih baik-baik.”
Kasih sayang anak kecil kepada bonekanya yang paling jelek itu mengingatkan kita akan hakekat kasih sayang yang tulus. Kasih yang tulus itu telah dilakukan oleh Yesus. “Sebagaimana Bapa mengasihi Aku, demikian pula Aku mengasihi kamu” (Yoh 15:9).
Yesus amat mengasihi kita meskipun kita adalah pendosa dan orang-orang yang tidak setia kepadaNya. Yesus mengasihi kita bukan karena kita telah berbuat baik kepadaNya tetapi justru karena kita ini orang-orang yang berdosa. Bahkan tidak tanggung-tanggung kasihNya kepada kita. Ia berkenan memberikan nyawaNya sendiri untuk kita. “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih orang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh 15: 13).
Cinta Yesus kepada kita dan cinta anak kecil kepada bonekanya tadi, mengundang kita supaya kita saling mengasihi. “Inilah perintahKu, yaitu supaya kamu saling mengasihi seperti Aku mengasihi kamu” (Yoh 15:12.17).
Suatu hari seorang pemuda ingin mendalami hidup supaya menjadi makin sempurna. Ia pergi ke sebuah perguruan. Di sana ia mengalami pembinaan. Salah satu bentuk pembinaannya adalah ia harus menyamar dan mengubah diri menjadi seekor binatang. Maka ia berubah menjadi seekor kelinci yang kecil.
Pada suatu hari kelinci ini mengembara di hutan. Dalam pengembaraannya itu dia ditemani seekor serigala dan monyet. Di tengah hutan itu mereka berjumpa dengan seorang pendeta tua yang sedang kelaparan. Pendeta itu nampak sudah mau mati, tak berdaya.
Karena amat kasihan kepadanya, ketiga binatang itu tergerak untuk memberikan apa yang mereka miliki. Serigala memberikan satu paha kijang hasil buruannya. Lalu monyet memberikan satu tundun pisang hasil buruannya di kebun seorang petani.
Kini giliran kelinci yang tak punya apa-apa maju menghadap pendeta itu. Kelinci itu berkata, “Bapa, ini aku. Aku tidak punya apa-apa. Sekarang ambillah, masaklah dan makanlah aku.” Mendengar ketulusan kelinci itu, sang pendeta berkata kepadanya, “Engkau sekarang menjadi orang yang sempurna karena engkau bersedia memberikan seluruh hidupmu.”
Kasih yang sempurna adalah kasih dari orang yang mampu memberikan seluruh hidupnya untuk orang lain. “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih orang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh 15: 13).
Tindakan yang kita lakukan bisa digerakkan karena berbagai macam keinginan. Semakin tindakan kita itu digerakkan oleh karena kasih yang tulus, maka tindakan kita itu makin bermutu sempurna.
Suatu ketika seorang wartawan dari Amerika melihat Ibu Teresa di Kalkuta sedang menolong pengemis di jalan yang separoh tubuhnya sudah busuk dimakan belatung. Lalu wartawan itu berkomentar, “Dibayar 1000 US $ saja saya tidak mau melakukan hal-hal seperti itu.” Menanggapi komentar wartawan itu Ibu Teresa pun mengatakan, “Saya pun juga tak mau dibayar 1000 US $ karena saya melakukan hal ini bukan karena uang tetapi demi orang-orang yang paling miskin di antara orang-orang miskin.”
Pelayanan Ibu Teresa kepada orang miskin makin menyebar ke penjuru dunia dan namanya begitu harum karena dia melakukannya secara tulus. Tetapi sebaliknya kita ingat gerakan membagi –bagi sembako dan uang yang dilakukan oleh beberapa caleg, tak bergema apa-apa karena tindakan itu dilakukan oleh motivasi politik yakni demi mencari popularitas dan dukungan.
Kehidupan yang sehat bukan dibangun karena motivasi politis, mencari dukungan dan pamrih-pamrih tertentu tetapi karena kesediaan untuk mengasihi secara tulus dari setiap pribadi. Keluarga, Gereja dan masyarakat kita juga akan hancur bila semua pribadi berpamrih secara tidak sehat dan bukannya mau mengabdi dan mengasihi Allah dan sesama dengan tulus.
Mari kita membina diri menjadi orang-orang yang siap sedia mengasihi Tuhan dan sesama dengan tulus hati. Tuhan memberkati kita semua. (Pastor Yohanes Suratman)
Setelah neneknya berjanji bahwa dia tak akan menertawakannya, anak kecil itu lalu mengambil boneka yang kelihatan paling jelek, tangannya sudah patah dan kulitnya sudah kucel. Melihat hal ini lalu neneknya bertanya kepadanya, “Mengapa kamu menyukai boneka yang paling jelek itu?”
Jawab anak kecil itu, “Ya, boneka yang paling jelek ini kan yang paling membutuhkan kasih sayang lebih daripada bonek-boneka lainnya. Sebab boneka lainnya masih baik-baik.”
Kasih sayang anak kecil kepada bonekanya yang paling jelek itu mengingatkan kita akan hakekat kasih sayang yang tulus. Kasih yang tulus itu telah dilakukan oleh Yesus. “Sebagaimana Bapa mengasihi Aku, demikian pula Aku mengasihi kamu” (Yoh 15:9).
Yesus amat mengasihi kita meskipun kita adalah pendosa dan orang-orang yang tidak setia kepadaNya. Yesus mengasihi kita bukan karena kita telah berbuat baik kepadaNya tetapi justru karena kita ini orang-orang yang berdosa. Bahkan tidak tanggung-tanggung kasihNya kepada kita. Ia berkenan memberikan nyawaNya sendiri untuk kita. “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih orang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh 15: 13).
Cinta Yesus kepada kita dan cinta anak kecil kepada bonekanya tadi, mengundang kita supaya kita saling mengasihi. “Inilah perintahKu, yaitu supaya kamu saling mengasihi seperti Aku mengasihi kamu” (Yoh 15:12.17).
Suatu hari seorang pemuda ingin mendalami hidup supaya menjadi makin sempurna. Ia pergi ke sebuah perguruan. Di sana ia mengalami pembinaan. Salah satu bentuk pembinaannya adalah ia harus menyamar dan mengubah diri menjadi seekor binatang. Maka ia berubah menjadi seekor kelinci yang kecil.
Pada suatu hari kelinci ini mengembara di hutan. Dalam pengembaraannya itu dia ditemani seekor serigala dan monyet. Di tengah hutan itu mereka berjumpa dengan seorang pendeta tua yang sedang kelaparan. Pendeta itu nampak sudah mau mati, tak berdaya.
Karena amat kasihan kepadanya, ketiga binatang itu tergerak untuk memberikan apa yang mereka miliki. Serigala memberikan satu paha kijang hasil buruannya. Lalu monyet memberikan satu tundun pisang hasil buruannya di kebun seorang petani.
Kini giliran kelinci yang tak punya apa-apa maju menghadap pendeta itu. Kelinci itu berkata, “Bapa, ini aku. Aku tidak punya apa-apa. Sekarang ambillah, masaklah dan makanlah aku.” Mendengar ketulusan kelinci itu, sang pendeta berkata kepadanya, “Engkau sekarang menjadi orang yang sempurna karena engkau bersedia memberikan seluruh hidupmu.”
Kasih yang sempurna adalah kasih dari orang yang mampu memberikan seluruh hidupnya untuk orang lain. “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih orang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh 15: 13).
Tindakan yang kita lakukan bisa digerakkan karena berbagai macam keinginan. Semakin tindakan kita itu digerakkan oleh karena kasih yang tulus, maka tindakan kita itu makin bermutu sempurna.
Suatu ketika seorang wartawan dari Amerika melihat Ibu Teresa di Kalkuta sedang menolong pengemis di jalan yang separoh tubuhnya sudah busuk dimakan belatung. Lalu wartawan itu berkomentar, “Dibayar 1000 US $ saja saya tidak mau melakukan hal-hal seperti itu.” Menanggapi komentar wartawan itu Ibu Teresa pun mengatakan, “Saya pun juga tak mau dibayar 1000 US $ karena saya melakukan hal ini bukan karena uang tetapi demi orang-orang yang paling miskin di antara orang-orang miskin.”
Pelayanan Ibu Teresa kepada orang miskin makin menyebar ke penjuru dunia dan namanya begitu harum karena dia melakukannya secara tulus. Tetapi sebaliknya kita ingat gerakan membagi –bagi sembako dan uang yang dilakukan oleh beberapa caleg, tak bergema apa-apa karena tindakan itu dilakukan oleh motivasi politik yakni demi mencari popularitas dan dukungan.
Kehidupan yang sehat bukan dibangun karena motivasi politis, mencari dukungan dan pamrih-pamrih tertentu tetapi karena kesediaan untuk mengasihi secara tulus dari setiap pribadi. Keluarga, Gereja dan masyarakat kita juga akan hancur bila semua pribadi berpamrih secara tidak sehat dan bukannya mau mengabdi dan mengasihi Allah dan sesama dengan tulus.
Mari kita membina diri menjadi orang-orang yang siap sedia mengasihi Tuhan dan sesama dengan tulus hati. Tuhan memberkati kita semua. (Pastor Yohanes Suratman)
Ada lima jenjang reaksi
Berbakti
Melihat diri
Langganan:
Postingan (Atom)