Yoh 15:12-16
Seumur-umur baru ini ...
Baru kali ini saya menyaksikan pemberkatan perkawinan pasangan over swid (di atas 60). Ini benar-benar terjadi pada pasangan pernikahan teman saya.
Ketika saya menyampaikan undangan resepsi pernikahan dari teman saya itu kepada teman-teman yang lain, semuanya merasa kaget dan tidak percaya. Karena apa teman-teman tidak percaya? Mereka berpendapat kalaupun mau mantu, mau menikahkan siapa lagi? Wong anaknya sudah menikah semua dan cucu-cunya pun sudah besar-besar. Kemungkinannya apa mau menyunatkan cucunya.
Seumur-umur baru ini saya tidak dipercaya teman-teman atas pemberitahuan itu. Maka untuk meyakinkan, mereka saya ajak untuk hadir dan membuktikan sendiri pada hari pemberkatan pernikahan tersebut. Daripada hanya membayangkan yang tidak-tidak apakah calon istrinya masih muda, cantik .....! Kenapa kok menikah lagi??? Apa yang dicari???
Hanya saya berpesan nanti dalam acara ramah tamah dan kesempatan tertentu agar menjaga perasaan mereka, dengan mengendalikan diri dan jangan tertawa lepas.
Pernikahan itu benar-benar terlaksana dan diberkati oleh seorang imam. Imam pun mengatakan bahwa baru-baru ini ia menikahkan pasangan usia 40 tahun. Sekarang malah menikahkan pasangan lansia di atas 60 tahun. Sebab teman saya itu 68 tahun dan pasangannya 63 tahun.
Apa yang melatarbelakangi pernikahan tersebut? Dan apa yang mereka cari?
Pasangan pengantin lansia ini sama-sama sudah sendiri karena sudah 2 tahun ditinggal pasangan hidupnya. Terutama teman saya itu setelah ditinggal istrinya ia merasa kesepian. Lebih-lebih salah satu anaknya yang selama ini serumah dan mendampingi teman saya itu pindah rumah, mendorongnya segera ia mencari pendamping hidup.
Perintah Gereja mengatakan bahwa pernikahan dimungkinkan adanya keturunan sebagai tanda nyata pasangan itu bekerjasama Allah dalam karya penciptaaan di mana manusia agar memenuhi bumi dengan keturunan yang banyak seperti pasir di tepi laut dan bintang di langit. Tapi apa mungkin pada pasangan wanitanya yang sudah 63 tahun? Kecuali pasangan Abraham dan Sarah atau pasangan Zakharias dan Elisabet.
Tentu bukan itu tujuannya! Tujuan utamanya mereka menikah lagi agar mereka bahagia. Untuk mencapai kebahagiaan itu tentu banyak tantangan yang mereka hadapi: malu ditonton cucu-cucunya, mungkin menghadapi penolakan dari anak cucu dan kerabatnya. Bahkan menjadi tertawaan dari teman-temannya. Banyak kejadian pasangan pernikahan lanjut usia yang sulit bisa menyesuaikan diri, karena sudah puluhan tahun terbentuk kebiasaan-kebiasaan lama. Kemudian harus menyesuaikan dengan kebiasaan-kebiasaan baru dengan pasangannya.
Namun itu semua merupakan PR (pekerjaan rumah) yang harus mereka hadapi dan diperjuangkan.
Alasan umum pasangan lanjut usia adalah biar ada yang diajak “greneng-greneng” (ada yang diajak bicara, berbagi rasa), biar tidak kesepian. Alasan lain kalau mengalami sedikit pusing atau kurang enak badan ada yang mendampingi. Mungkin para lansia itu punya anak perempuan yang bisa melayani dan merawat; tetapi akan lebih nyaman dan rahap kalau dilayani oleh suami atau istri.
Karena sudah menjadi keputusan untuk menikah tentu harus mampu menghadapi tantangan kelak yang menghadang, antara lain: menurunnya kemampuan fisik dan financial.
Semoga pasangan lansia teman saya tadi merupakan pasangan yang bahagia dan juga membawa kebahagiaaan anak cucu dan kerabatnya. Perkawinan yang membawa kesejahteraan suami istri bukan karena harta tetapi pasangan yang bisa menjadi teman satu sama lain dan berbagi pengalaman hidup. Perkawinan yang dilandasi kasih yaitu pasangan yang saling mengasihi. Pasangan yang mampu melihat cinta sejati, mampu saling memberi dan menerima apa adanya (kelebihan dan kekurangan masing-masing) demi kebahagiaan mereka. (FX. Mgn)
Minggu, 12 Juli 2009
Jumat, 10 Juli 2009
Biji gandum utama
MG PP V/B
Yer 31:31-34; Ibr 5:7-9; Yoh 12:20-33
“Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke tanah dan mati, ia tetap sebiji saja, tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah.”
Kata-kata Yesus itu seolah-olah menjadi hukum alam. Itu terjadi dalam dunia flora atau dunia tumbuh-tumbuhan. Biji gandum, biji jagung, biji kacang kedelai memang harus jatuh, masuk ke dalam tanah, membelah diri, baru bisa berkecambah, bertumbuh dan menghasilkan banyak biji gandum, biji jagung, biji kacang atau biji kedelai, bertumbuh kemudian menghasilkan banyak biji. Ini merupakan hukum alam.
Alam telah mengajari kita tentang hidup. Di alam ini segala sesuatu yang akan hidup harus mati dahulu. Sebuah pohon awalnya adalah biji, karena ditanam di tanah dan mati kemudian bertunas. Setelah bertunas tanaman itu terus bertumbuh menjadi pohon, berbuah, dan memberi kehidupan sekitarnya. Burung-burung bisa ikut bersarang, buah-buahnya bisa dijadikan makanan mereka. Manusia pun bisa memanfaatkan buah-buah itu untuk makanan, bahkan bisa menjualnya sehingga menjadi sumber penghasilan. Berawal dari biji yang kecil yang rela hancur, tumbuh pohon yang menghasilkan buah. Selanjutnya pohon itu akan memberi hidup kepada makhluk dan alam sekitarnya.
Dengan belajar dari alam tadi, kita sebagai seorang beriman mestinya hidup kita juga harus berarti dan bermakna bagi orang lain. Kita mestinya rela merendahkan diri, melepaskan gengsi dan mengorbankan diri bagi sesama!
Seperti yang dilakukan Yesus. Satu harus jatuh menghasilkan banyak buah. Waktu Yesus berbicara tentang biji gandum yang harus jatuh, pertama-tama mau dikatakan bahwa Ia sendiri yang dimaksud Biji Gandum itu. Ia adalah Biji Gandum Utama, yang harus jatuh untuk menghasilkan banyak buah. Ketika para serdadu menikam lambung-Nya di salib, Biji Gandum Utama itu seolah-olah merekah. Ketika ia dikuburkan, Biji Gandum Utama itu seolah-olah ditanam. Ketika Ia bangkit dari kegelapan kuburan, Biji Gandum Utama itu bertumbuh dan mulai menghasilkan banyak buah! Buah-buah itu ialah kita.
Jadi Kristus sendirilah biji gandum itu:
Ia rela mati agar menghasilkan banyak buah. Ia taat dan menjadi pokok keselamatan yang abadi bagi kita. Kita semua memperoleh keselamatan berkat Benih Gandum Utama tadi. Dalam penderitaan dan wafat-Nya yang hina di salib, Tuhan menampakkan kemuliaan dan keagungan-Nya. Kita yang sudah diselamatkan berkat pengorbanan-Nya di kayu salib tentu harus mau mendengarkan pesan-pesan-Nya yaitu, “Barangsiapa melayani Aku, ia harus mengikut Aku, dan di mana Aku berada di situ pun pelayan-Ku akan berada.” Sebagai pengikut-Nya kita hanya bisa memohon: Tuhan Yesus, bantulah kami supaya semakin bertanggungjawab atas hidup kami dengan mulai mengubah “cara hidup lama” dengan “hidup baru” seturut kehendak-Mu. (FX. Mgn)
Yer 31:31-34; Ibr 5:7-9; Yoh 12:20-33
“Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke tanah dan mati, ia tetap sebiji saja, tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah.”
Kata-kata Yesus itu seolah-olah menjadi hukum alam. Itu terjadi dalam dunia flora atau dunia tumbuh-tumbuhan. Biji gandum, biji jagung, biji kacang kedelai memang harus jatuh, masuk ke dalam tanah, membelah diri, baru bisa berkecambah, bertumbuh dan menghasilkan banyak biji gandum, biji jagung, biji kacang atau biji kedelai, bertumbuh kemudian menghasilkan banyak biji. Ini merupakan hukum alam.
Alam telah mengajari kita tentang hidup. Di alam ini segala sesuatu yang akan hidup harus mati dahulu. Sebuah pohon awalnya adalah biji, karena ditanam di tanah dan mati kemudian bertunas. Setelah bertunas tanaman itu terus bertumbuh menjadi pohon, berbuah, dan memberi kehidupan sekitarnya. Burung-burung bisa ikut bersarang, buah-buahnya bisa dijadikan makanan mereka. Manusia pun bisa memanfaatkan buah-buah itu untuk makanan, bahkan bisa menjualnya sehingga menjadi sumber penghasilan. Berawal dari biji yang kecil yang rela hancur, tumbuh pohon yang menghasilkan buah. Selanjutnya pohon itu akan memberi hidup kepada makhluk dan alam sekitarnya.
Dengan belajar dari alam tadi, kita sebagai seorang beriman mestinya hidup kita juga harus berarti dan bermakna bagi orang lain. Kita mestinya rela merendahkan diri, melepaskan gengsi dan mengorbankan diri bagi sesama!
Seperti yang dilakukan Yesus. Satu harus jatuh menghasilkan banyak buah. Waktu Yesus berbicara tentang biji gandum yang harus jatuh, pertama-tama mau dikatakan bahwa Ia sendiri yang dimaksud Biji Gandum itu. Ia adalah Biji Gandum Utama, yang harus jatuh untuk menghasilkan banyak buah. Ketika para serdadu menikam lambung-Nya di salib, Biji Gandum Utama itu seolah-olah merekah. Ketika ia dikuburkan, Biji Gandum Utama itu seolah-olah ditanam. Ketika Ia bangkit dari kegelapan kuburan, Biji Gandum Utama itu bertumbuh dan mulai menghasilkan banyak buah! Buah-buah itu ialah kita.
Jadi Kristus sendirilah biji gandum itu:
Ia rela mati agar menghasilkan banyak buah. Ia taat dan menjadi pokok keselamatan yang abadi bagi kita. Kita semua memperoleh keselamatan berkat Benih Gandum Utama tadi. Dalam penderitaan dan wafat-Nya yang hina di salib, Tuhan menampakkan kemuliaan dan keagungan-Nya. Kita yang sudah diselamatkan berkat pengorbanan-Nya di kayu salib tentu harus mau mendengarkan pesan-pesan-Nya yaitu, “Barangsiapa melayani Aku, ia harus mengikut Aku, dan di mana Aku berada di situ pun pelayan-Ku akan berada.” Sebagai pengikut-Nya kita hanya bisa memohon: Tuhan Yesus, bantulah kami supaya semakin bertanggungjawab atas hidup kami dengan mulai mengubah “cara hidup lama” dengan “hidup baru” seturut kehendak-Mu. (FX. Mgn)
Imanmu menyelamatkan
MG BIASA XIII/B
Keb 1:13-15;2:23-24; 2 Kor 8:7.9.13-15;
Mrk 5:21-43
Pada umumnya manusia dalam menjalani hidup mengandalkan harta, ambisi dan kekuatan sendiri. Asal tabungan milyaran bahkan triliunan dan tanahnya luas serta rumahnya besar dan mewah, beranggapan hidupnya merasa mantap dan tenang. Tetapi ada pula yang mengandalkan iman. Seperti dalam bacaan Injil tadi dua orang yang beriman mengungkapkan secara berbeda.
Ada seorang perempuan yang sudah 12 tahun menderita pendarahan, ketika mendengar khabar bahwa Yesus mampu menyembuhkan segala penyakit maka ia ikut berdesak-desakan dalam kerumunan orang banyak. Perempuan itu berharap dengan menjamah jubah Yesus saja, maka ia akan sembuh.
Yesus yang merasa ada tenaga yang keluar menanyai para murid, “Siapa yang menjamah jubah-Ku? Murid tidak tahu karena orang banyak berjubel. Perempuan yang merasa menjamah jubah Yesus gemetaran dan mengaku. Dan Yesus pun berkata, “Imanmu telah menyelamatkan.”
Seorang lagi Yairus yang anaknya yang berumur 12 tahun sakit parah mau mati dan sudah berobat ke mana-mana tidak sembuh. Orang-orang pun mengatakan kenapa harus merepotkan Guru, wong anakmu sudah mati.
Tetapi Yesus tetap datang mau melihat anak itu. Yesus berkata, “Anakmu tidak mati tetapi hanya tidur.” Yesus pun menjamah anak itu dan berkata: “Tali Ta Kum: Hai anak, bangunlah. Seketika anak itu bangun dan berjalan.
Bagaimana dengan kita? Sering kali ketika orang sudah mentok hidupnya karena sakit dan berobat ke mana pun tidak memperoleh kesembuhan, maka akan berbalik ke pengobatan lain ke dukun atau ke paranormal. Tetapi kalau orang beriman pasti akan menyerahkan hidupnya kepada Tuhan, seperti dua peristiwa di atas tadi.
Ketika kita menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan hati merasa tenang, memperoleh kekuatan baru berupa kesembuhan, keberanian dan penghiburan. Marilah kita mohon kekuatan Tuhan agar Tuhan menyertai kita. (FX. Mgn)
Dari penjala ikan menjadi penjala manusia.
MG BIASA III/B
Yun 3:1-5.10;
1 Kor 7:29-31;
Mrk 1:14-20
Setelah pulang dari mengunjungi warga, Pastor Juven, saya, dan Bapak Ketua Lingkungan melanjutkan sharing mengenai pengalaman hidup. Pastor Juven bercerita bahwa sebelum menjadi pastor, diminta oleh seorang boss dari Perancis untuk mengelola sebuah perusahaan besar. Bahkan sekarang ini ia masih ditunggu kalau ia mau. Tentu dengan imbalan yang memadai bagi seorang yang telah selesai mengikuti pendidikan pastor. Kebetulan ia pernah tinggal di Perancis dan fasih berbahasa Perancis.
Dalam hati kecilnya kalau ia mau menerima tawaran itu akan kaya raya bergelimang harta karena duitnya pasti banyak. Namun ia sadar bahwa uang, jabatan dan kekuasaan itu sifatnya tidak kekal. Jabatan kekuasaan bisa lepas dan uang bisa ludes.
Akhirnya ia kembali pada pilihan pertama yaitu menjadi menjadi pastor sampai sekarang ini. Ia lebih memilih menjadi pelayan atau penjala manusia, seperti Simon dan Andreas dalam bacaan Injil tadi. Dari “penjala ikan menjadi penjala manusia”, suatu tingkatan cara hidup yang berbeda dan lebih menantang.
Berbicara tentang pilihan hidup, manusia sering keliru menentukan pilihan. Di mana orang memilih hidup yang jauh dari harapan Tuhan. Berperang, bertikai, mengobarkan permusuhan dan menebarkan kebencian; tidak memandang sesamanya sebagai suatu teman seperjalanan dalam hidup.
Seharusnya dalam tugas pekerjaan maupun pelayanan, hendaknya kita lebih memperhatikan manusia daripada hanya sekedar mencari uang atau kekuasaan.
Panggilan itu mengajak kita untuk menciptakan dan memelihara kondisi manusiawi di dalam keluarga, tempat kerja maupun masyarakat kita, sehingga menjadi tempat yang menarik bagi setiap orang untuk tinggal.
Untuk itu bila saat ini kita tergoda oleh pilihan dan ajakan yang membuat jauh dari Tuhan, sebaiknya kita belajar dari pengalaman pastor Juven tadi, yaitu kembali kepada Tuhan, lebih mendekatkan diri kepada Tuhan.
Seperti pengalaman orang-orang Ninive yang menyesali perbuatannya dan bertobat sungguhan, membuat Tuhan cepat menyesali rancangan malapetaka yang telah digagas. Tuhan mengampuni orang-orang Ninive. Kita harus sadar bahwa dunia seperti yang kita kenal sekarang ini akan berlalu. Maka, karena waktunya sudah genap. Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil. (FX. Mgn)
Yun 3:1-5.10;
1 Kor 7:29-31;
Mrk 1:14-20
Setelah pulang dari mengunjungi warga, Pastor Juven, saya, dan Bapak Ketua Lingkungan melanjutkan sharing mengenai pengalaman hidup. Pastor Juven bercerita bahwa sebelum menjadi pastor, diminta oleh seorang boss dari Perancis untuk mengelola sebuah perusahaan besar. Bahkan sekarang ini ia masih ditunggu kalau ia mau. Tentu dengan imbalan yang memadai bagi seorang yang telah selesai mengikuti pendidikan pastor. Kebetulan ia pernah tinggal di Perancis dan fasih berbahasa Perancis.
Dalam hati kecilnya kalau ia mau menerima tawaran itu akan kaya raya bergelimang harta karena duitnya pasti banyak. Namun ia sadar bahwa uang, jabatan dan kekuasaan itu sifatnya tidak kekal. Jabatan kekuasaan bisa lepas dan uang bisa ludes.
Akhirnya ia kembali pada pilihan pertama yaitu menjadi menjadi pastor sampai sekarang ini. Ia lebih memilih menjadi pelayan atau penjala manusia, seperti Simon dan Andreas dalam bacaan Injil tadi. Dari “penjala ikan menjadi penjala manusia”, suatu tingkatan cara hidup yang berbeda dan lebih menantang.
Berbicara tentang pilihan hidup, manusia sering keliru menentukan pilihan. Di mana orang memilih hidup yang jauh dari harapan Tuhan. Berperang, bertikai, mengobarkan permusuhan dan menebarkan kebencian; tidak memandang sesamanya sebagai suatu teman seperjalanan dalam hidup.
Seharusnya dalam tugas pekerjaan maupun pelayanan, hendaknya kita lebih memperhatikan manusia daripada hanya sekedar mencari uang atau kekuasaan.
Panggilan itu mengajak kita untuk menciptakan dan memelihara kondisi manusiawi di dalam keluarga, tempat kerja maupun masyarakat kita, sehingga menjadi tempat yang menarik bagi setiap orang untuk tinggal.
Untuk itu bila saat ini kita tergoda oleh pilihan dan ajakan yang membuat jauh dari Tuhan, sebaiknya kita belajar dari pengalaman pastor Juven tadi, yaitu kembali kepada Tuhan, lebih mendekatkan diri kepada Tuhan.
Seperti pengalaman orang-orang Ninive yang menyesali perbuatannya dan bertobat sungguhan, membuat Tuhan cepat menyesali rancangan malapetaka yang telah digagas. Tuhan mengampuni orang-orang Ninive. Kita harus sadar bahwa dunia seperti yang kita kenal sekarang ini akan berlalu. Maka, karena waktunya sudah genap. Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil. (FX. Mgn)
Mensyukuri anugerah Allah.
MG BIASA XXIII/A
Ams 31:10-13.19-20.30-31; 1 Tes 5:1-6;
Mat 25:14-30
Semua orang menghendaki hidup di dunia ini bahagia dan di surga kelak pun bahagia. Lalu seperti apa surga itu, dan bagaimana sikap kita?
Kerajaan surga yang digambarkan dalam Injil tadi seperti seorang yang mau bepergian ke luar negeri, yang mempercayakan hartanya kepada hamba-hambanya. Ada yang diberi lima talenta, ada yang dua talenta dan ada yang satu talenta sesuai dengan kesanggupannya. Semua harus mempertanggung jawabkan semua talenta yang diberikan.
Talenta yang berbeda-beda.
Dalam kehidupan sehari-hari kita dianugerahi talenta oleh Tuhan berbeda-beda. Misalnya kita tidak mempunyai ijazah sarjana atau semacamnya, tetapi dinaugerahi badan yang kuat untuk bekerja. Atau diberi naluri yang tajam untuk berbisnis, atau kemampuan untuk berdagang.
Memandang rendah/membandingkan.
Persoalannya ialah kita sering terjebak untuk membandingkan talenta kita dengan yang lain dan ingin mempunyai talenta yang dimiliki orang lain. Akibatnya kita jatuh pada rasa iri dan memandang rendah talenta yang kita miliki.
Sikap memandang rendah akan talenta yang kita miliki membuat kita tidak mampu melihat karunia Allah. Dengan demikian, kita tidak pernah bahagia. Sebab, kebahagiaan itu terkait erat degan kesediaan kita menggunakan dan mengembangkan talenta kita.
Bersyukur dan pasrah.
Seorang petani mengalami kebahagiaan karena menggarap tanahnya dengan ilmu yang dimilikinya. Seorang sopir angkot selalu selalu capek tetapi merasa bahagia karena percaya bahwa ia telah melakukan yang terbaik untuk keluarganya. Seorang guru merasa bahagia karena bisa membuat murid-muridnya pandai, bahkan bisa menjadi orang besar dan terkenal. Dst.
Banyak orang yang merasa memiliki “sedikit” talenta, tetapi mensyukuri dan menggunakan serta mengembangkannya dengan rajin. Mereka justru dikelilingi oleh kebahagiaan ketimbang mereka yang mempunyai banyak talenta tetapi tidak pernah mensyukuri yang dimilikinya.
Mempertanggungjawabkan.
Hari ini Tuhan Yesus mengingatkan kita tentang tanggung jawab kita. Apakah kita sudah menggunakan dengan baik talenta yang dipercayakan Tuhan kepada kita? Andaikata dalam hidup ini kita hanya mengeluh karena kita tidak mempunyai sesuatu atau karena kita tidak mengalami perubahan, bisa jadi semuanya ini karena kita tidak mensyukuri dan menggunakan pemberian Allah dengan baik.
Marilah kita mensyukuri anugerah Allah berupa talenta yang kita miliki, dengan mengembangkannya dalam hidup kita sebagai persiapan hidup kita yang akan datang, yaitu berbahagia bersama Allah di surga. (FX. Mgn)
Ams 31:10-13.19-20.30-31; 1 Tes 5:1-6;
Mat 25:14-30
Semua orang menghendaki hidup di dunia ini bahagia dan di surga kelak pun bahagia. Lalu seperti apa surga itu, dan bagaimana sikap kita?
Kerajaan surga yang digambarkan dalam Injil tadi seperti seorang yang mau bepergian ke luar negeri, yang mempercayakan hartanya kepada hamba-hambanya. Ada yang diberi lima talenta, ada yang dua talenta dan ada yang satu talenta sesuai dengan kesanggupannya. Semua harus mempertanggung jawabkan semua talenta yang diberikan.
Talenta yang berbeda-beda.
Dalam kehidupan sehari-hari kita dianugerahi talenta oleh Tuhan berbeda-beda. Misalnya kita tidak mempunyai ijazah sarjana atau semacamnya, tetapi dinaugerahi badan yang kuat untuk bekerja. Atau diberi naluri yang tajam untuk berbisnis, atau kemampuan untuk berdagang.
Memandang rendah/membandingkan.
Persoalannya ialah kita sering terjebak untuk membandingkan talenta kita dengan yang lain dan ingin mempunyai talenta yang dimiliki orang lain. Akibatnya kita jatuh pada rasa iri dan memandang rendah talenta yang kita miliki.
Sikap memandang rendah akan talenta yang kita miliki membuat kita tidak mampu melihat karunia Allah. Dengan demikian, kita tidak pernah bahagia. Sebab, kebahagiaan itu terkait erat degan kesediaan kita menggunakan dan mengembangkan talenta kita.
Bersyukur dan pasrah.
Seorang petani mengalami kebahagiaan karena menggarap tanahnya dengan ilmu yang dimilikinya. Seorang sopir angkot selalu selalu capek tetapi merasa bahagia karena percaya bahwa ia telah melakukan yang terbaik untuk keluarganya. Seorang guru merasa bahagia karena bisa membuat murid-muridnya pandai, bahkan bisa menjadi orang besar dan terkenal. Dst.
Banyak orang yang merasa memiliki “sedikit” talenta, tetapi mensyukuri dan menggunakan serta mengembangkannya dengan rajin. Mereka justru dikelilingi oleh kebahagiaan ketimbang mereka yang mempunyai banyak talenta tetapi tidak pernah mensyukuri yang dimilikinya.
Mempertanggungjawabkan.
Hari ini Tuhan Yesus mengingatkan kita tentang tanggung jawab kita. Apakah kita sudah menggunakan dengan baik talenta yang dipercayakan Tuhan kepada kita? Andaikata dalam hidup ini kita hanya mengeluh karena kita tidak mempunyai sesuatu atau karena kita tidak mengalami perubahan, bisa jadi semuanya ini karena kita tidak mensyukuri dan menggunakan pemberian Allah dengan baik.
Marilah kita mensyukuri anugerah Allah berupa talenta yang kita miliki, dengan mengembangkannya dalam hidup kita sebagai persiapan hidup kita yang akan datang, yaitu berbahagia bersama Allah di surga. (FX. Mgn)
Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya.
MG PASKAH II/C
Kis 4:32-35; 1 Yoh 5:1-6;
Yoh 20:19-31
Beriman tidak sekedar mengatakan bahwa aku percaya kepada Tuhan. Beriman harus nyata dalam kehidupan, bahwa Tuhan beserta kita. Bagaimana dengan iman kita?
Tiga hari sesudah wafat dan dikuburkan. Yesus dibangkitkan Allah dari orang mati. Bagaimana perasaan Yesus ketika Ia bangkit dari orang mati? Tentu gembira dan bahagia. Kegembiraan ini ingin diperlihatkan juga kepada mereka yang percaya kepada-Nya. Pertama-tama kepada para wanita yang akan merawat kuburnya.
Apa tujuan Yesus menampakkan diri-Nya? Hanya supaya diwartakan kepada segala bangsa. Dan bagaimana hasilnya? Tidak semua murid-Nya langsung percaya. Salah satunya Thomas, yang menyanggah: “Sebelum aku melihat bekas paku pada tangan-Nya dan sebelum aku mencucukkan tanganku ke dalam lambung-Nya, sekali-kali aku tidak akan percaya.”
Sikap Thomas rupanya sering menjadi sikap kita. Iman kita sering goyah kala kita menghadapi tantangan. Kita lari dari Yesus dan sering lebih percaya kepada kekuatan lain: gossip-gosip, kabar burung, dukun, klenik, dsb. Padahal Yesus yang bangkit, kapan dan di mana pun selalu menyertai kita, seperti yang dikatakan kepada kita: “di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka” (Mat 18:20). Iman demikianlah yang dituntut Yesus hidup dalam diri kita. Sebab tanpa merasakan bahwa disertai Yesus, maka iman kita sia-sia.
Iman yang benar ialah kerelaan kita berserah diri kepada Allah dan rela melaksanakan perintah-Nya. Sedangkan perintah yang utama ialah mencintai Allah dan sesama. Hal ini telah dilakukan oleh umat Gereja perdana dalam mewujudkan iman mereka dalam hidup. Mereka lebih mengutamakan kesejahteraan bersama daripada diri sendiri. Dan mereka pun tidak memiliki sikap mumpung. Bagaimana dengan kita? Iman tanpa perbuatan adalah sia-sia. Iman yang diwujudkan dalam kehidupan nyata akan mendatangkan berkat bagi kita.
Marilah kita mohon berkat Allah agar iman kita kepada Yesus semakin diteguhkan dan mampu mewujudkannya dalam kehidupan nyata, walau kita belum pernah melihat Dia namun kita percaya akan sabda-Nya, “Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya.” (FX. Mgn)
Kis 4:32-35; 1 Yoh 5:1-6;
Yoh 20:19-31
Beriman tidak sekedar mengatakan bahwa aku percaya kepada Tuhan. Beriman harus nyata dalam kehidupan, bahwa Tuhan beserta kita. Bagaimana dengan iman kita?
Tiga hari sesudah wafat dan dikuburkan. Yesus dibangkitkan Allah dari orang mati. Bagaimana perasaan Yesus ketika Ia bangkit dari orang mati? Tentu gembira dan bahagia. Kegembiraan ini ingin diperlihatkan juga kepada mereka yang percaya kepada-Nya. Pertama-tama kepada para wanita yang akan merawat kuburnya.
Apa tujuan Yesus menampakkan diri-Nya? Hanya supaya diwartakan kepada segala bangsa. Dan bagaimana hasilnya? Tidak semua murid-Nya langsung percaya. Salah satunya Thomas, yang menyanggah: “Sebelum aku melihat bekas paku pada tangan-Nya dan sebelum aku mencucukkan tanganku ke dalam lambung-Nya, sekali-kali aku tidak akan percaya.”
Sikap Thomas rupanya sering menjadi sikap kita. Iman kita sering goyah kala kita menghadapi tantangan. Kita lari dari Yesus dan sering lebih percaya kepada kekuatan lain: gossip-gosip, kabar burung, dukun, klenik, dsb. Padahal Yesus yang bangkit, kapan dan di mana pun selalu menyertai kita, seperti yang dikatakan kepada kita: “di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka” (Mat 18:20). Iman demikianlah yang dituntut Yesus hidup dalam diri kita. Sebab tanpa merasakan bahwa disertai Yesus, maka iman kita sia-sia.
Iman yang benar ialah kerelaan kita berserah diri kepada Allah dan rela melaksanakan perintah-Nya. Sedangkan perintah yang utama ialah mencintai Allah dan sesama. Hal ini telah dilakukan oleh umat Gereja perdana dalam mewujudkan iman mereka dalam hidup. Mereka lebih mengutamakan kesejahteraan bersama daripada diri sendiri. Dan mereka pun tidak memiliki sikap mumpung. Bagaimana dengan kita? Iman tanpa perbuatan adalah sia-sia. Iman yang diwujudkan dalam kehidupan nyata akan mendatangkan berkat bagi kita.
Marilah kita mohon berkat Allah agar iman kita kepada Yesus semakin diteguhkan dan mampu mewujudkannya dalam kehidupan nyata, walau kita belum pernah melihat Dia namun kita percaya akan sabda-Nya, “Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya.” (FX. Mgn)
Masuklah melalui pintu sempit
MG BIASA XX/C
Yes 66:18-21;
Ibr 12:5-7. 11-13;
Luk 13:22-30
Dalam perjalanan hidup kita sebagai orang beriman, seringkali berhadapan dengan beberapa pandangan yang berbeda tentang surga dan neraka.
Ada yang mengatakan neraka itu nanti akan kosong tidak berpenghuni karena Allah itu mahakasih. Semua orang akan diampuni dan diselamatkan, kemudian masuk ke dalam surga akan penuh sesak.
Ada yang berpandangan bahwa neraka itu akan penuh sesak penghuninya karena banyak orang berbuat dosa dan mati, semua dimasukkan ke neraka membuat surga akan kosong.
Ada lagi yang berpandangan Tuhan memang mahakasih tetapi akan mengadili semua orang, yang jahat dan tidak bertobat akan tinggal di neraka kemudian yang bertobat masuk surga.
Pandangan mana yang benar sulit dijawab! Karena Yesus sendiri waktu ditanya oleh para murid apakah hanya sedikit yang diselamatkan, Ia tidak mengatakan dengan tegas; sedikit, banyak atau tidak ada yang diselamatkan. Yesus hanya mengatakan: “Berjuanglah untuk memasuki pintu yang sempit itu.” Lalu ia melanjutkan, “banyak orang berusaha masuk, tetapi tidak dapat.”
Kalau memang benar pintu Kerajaan Allah itu sempit dan banyak orang tidak bisa memasukinya, lalu bagaimanakah kita nanti?
Sebenarnya siapa yang diajak bicara dalam Injil hari tadi oleh Yesus adalah banyak orang Farisi yang merasa bahwa mereka punya jaminan akan selamat. Mereka seakan mempunyai tiket untuk masuk surga apalagi mereka merasa keturunan Abraham. Sikap terjamin ini membuat banyak orang Farisi lalu terlena dan tidak berusaha hidup menurut ajaran Tuhan lagi. Itulah sebabnya mereka tidak dapat menangkap bahwa Yesus Putra Allah datang di tengah mereka, bahkan mereka menolak-Nya. Maka Yesus berkata: “Pintunya sempit, banyak yang berusaha tapi tidak berhasil.” Bahkan, Yesus menambakan, banyak orang dari Timur, dan Barat, dari Utara dan Selatan akan diterima Allah, bukan mereka yang merasa terjamin. Dari seluruh penjuru dunia menerima Yesus dan percaya kepada kasih Allah lewat Yesus Kristus. Orang-orang Yahudi menolak Sang Juru Selamat, tetapi orang-orang lain datang kepada-Nya dan diselamatkan. Itu pula yang sudah dinubuatkan Nabi Yesaya dalam bacaan pertama tadi. Segala bangsa akan datang melihat kemuliaan Tuhan. Maka berusahalah masuk tanpa menyerah.
Pada masa kini, kita juga bisa jatuh dalam kesempitan pandangan seperti orang Israel. Kita merasa sebagai kelompok yang telah dipilih Allah. Seringkali kita beranggapan di luar Gereja orang tidak diselamatkan. Pandangan ini dapat menyesatkan.
Pesan Injil tadi merupakan peringatan keras, agar kita yang sudah menjadi Kristen tidak lena diri. Keselamatan Yesus Kristus berlaku untuk semua orang. Gereja adalah tanda dan sarana keselamatan. Sebagai tanda, Gereja harus menerangi dunia. Gereja tidak boleh berpandangan sempit dan tertutup. Karena itu Gereja harus membuka diri bagi dunia. Bukankah Yesus mengharuskan kita menjadi garam dunia? Kita adalah anggota Gereja Kristus, hendaknya menjadi tanda keselamatan bagi semua orang.
Jawaban Yesus mengenai berjuanglah masuk melalui pintu yang sempit menggambarkan betapa sulitnya jalan mengikuti Yesus. Kita yakin jalan itu memang sempit tetapi bisa dimasuki orang. Yesus adalah jalan itu, yang memang sempit, tetapi kita dapat masuk ke dalam-Nya, bila kita terus mau berusaha memasuki pintu itu dan tidak terlelap tidur. (FX. Mgn)
Yes 66:18-21;
Ibr 12:5-7. 11-13;
Luk 13:22-30
Dalam perjalanan hidup kita sebagai orang beriman, seringkali berhadapan dengan beberapa pandangan yang berbeda tentang surga dan neraka.
Ada yang mengatakan neraka itu nanti akan kosong tidak berpenghuni karena Allah itu mahakasih. Semua orang akan diampuni dan diselamatkan, kemudian masuk ke dalam surga akan penuh sesak.
Ada yang berpandangan bahwa neraka itu akan penuh sesak penghuninya karena banyak orang berbuat dosa dan mati, semua dimasukkan ke neraka membuat surga akan kosong.
Ada lagi yang berpandangan Tuhan memang mahakasih tetapi akan mengadili semua orang, yang jahat dan tidak bertobat akan tinggal di neraka kemudian yang bertobat masuk surga.
Pandangan mana yang benar sulit dijawab! Karena Yesus sendiri waktu ditanya oleh para murid apakah hanya sedikit yang diselamatkan, Ia tidak mengatakan dengan tegas; sedikit, banyak atau tidak ada yang diselamatkan. Yesus hanya mengatakan: “Berjuanglah untuk memasuki pintu yang sempit itu.” Lalu ia melanjutkan, “banyak orang berusaha masuk, tetapi tidak dapat.”
Kalau memang benar pintu Kerajaan Allah itu sempit dan banyak orang tidak bisa memasukinya, lalu bagaimanakah kita nanti?
Sebenarnya siapa yang diajak bicara dalam Injil hari tadi oleh Yesus adalah banyak orang Farisi yang merasa bahwa mereka punya jaminan akan selamat. Mereka seakan mempunyai tiket untuk masuk surga apalagi mereka merasa keturunan Abraham. Sikap terjamin ini membuat banyak orang Farisi lalu terlena dan tidak berusaha hidup menurut ajaran Tuhan lagi. Itulah sebabnya mereka tidak dapat menangkap bahwa Yesus Putra Allah datang di tengah mereka, bahkan mereka menolak-Nya. Maka Yesus berkata: “Pintunya sempit, banyak yang berusaha tapi tidak berhasil.” Bahkan, Yesus menambakan, banyak orang dari Timur, dan Barat, dari Utara dan Selatan akan diterima Allah, bukan mereka yang merasa terjamin. Dari seluruh penjuru dunia menerima Yesus dan percaya kepada kasih Allah lewat Yesus Kristus. Orang-orang Yahudi menolak Sang Juru Selamat, tetapi orang-orang lain datang kepada-Nya dan diselamatkan. Itu pula yang sudah dinubuatkan Nabi Yesaya dalam bacaan pertama tadi. Segala bangsa akan datang melihat kemuliaan Tuhan. Maka berusahalah masuk tanpa menyerah.
Pada masa kini, kita juga bisa jatuh dalam kesempitan pandangan seperti orang Israel. Kita merasa sebagai kelompok yang telah dipilih Allah. Seringkali kita beranggapan di luar Gereja orang tidak diselamatkan. Pandangan ini dapat menyesatkan.
Pesan Injil tadi merupakan peringatan keras, agar kita yang sudah menjadi Kristen tidak lena diri. Keselamatan Yesus Kristus berlaku untuk semua orang. Gereja adalah tanda dan sarana keselamatan. Sebagai tanda, Gereja harus menerangi dunia. Gereja tidak boleh berpandangan sempit dan tertutup. Karena itu Gereja harus membuka diri bagi dunia. Bukankah Yesus mengharuskan kita menjadi garam dunia? Kita adalah anggota Gereja Kristus, hendaknya menjadi tanda keselamatan bagi semua orang.
Jawaban Yesus mengenai berjuanglah masuk melalui pintu yang sempit menggambarkan betapa sulitnya jalan mengikuti Yesus. Kita yakin jalan itu memang sempit tetapi bisa dimasuki orang. Yesus adalah jalan itu, yang memang sempit, tetapi kita dapat masuk ke dalam-Nya, bila kita terus mau berusaha memasuki pintu itu dan tidak terlelap tidur. (FX. Mgn)
Keterikatan membuat iri dan menolak cinta kasih.
MG BIASA IV/C
Yer 1:4-5.17-19;
1 Kor 12:31 - 13:13;
Luk 4:21-30
Dalam kehidupan sehari-hari, kita cenderung menunjukkan sifat kelekatan yaitu keterikatan sesuatu, atau sifat yang sulit dipisahkan dari keasyikan kita. Ketika kita kehilangan sesuatu atau seseorang yang paling kita banggakan tentu serasa kehilangan bagian dari diri kita sendiri. Sebenarnya wajar kalau kita mempertahankan sesuatu yang paling berharga; misalnya mempertahankan harta milik, pangkat, kedudukan, kehormatan, atau seseorang yang kita cintai atau kita banggakan. Namun kalau kita sudah membuat kelekatan pribadi tanpa mau melihat hal-hal lain kemudian akan menimbulkan persoalan hidup kita.
Hal yang sama terjadi ketika Yesus mengajar di rumah ibadat di kota asalnya. Yesus, yang mereka ketahui adalah anak Yusuf, dipandang dengan penuh kekaguman oleh para tetangganya, ketika Dia menyampaikan pengajaran yang amat memikat. Kemudian mereka ingin memiliki Yesus bagi mereka sendiri. Namun Yesus mengatakan bahwa Dia datang juga bagi bangsa-bangsa lain. Serentak semua orang yang menjadi pendengar Dia waktu itu sangat marah. Aneh bagi mereka bahwa Yesus yang dilahirkan dari kalangan mereka ternyata berkarya juga bagi bangsa lain. Rasa ingin memiliki Yesus secara eksklusif membuat mereka tidak peka lagi akan kebutuhan orang atau bangsa lain. Bagi mereka, Yesus bisa mereka banggakan sebagai penambah gengsi atau sebagai kebanggaan kotanya atau bangsanya. Perasan mereka pada misi Yesus yang ditujukan untuk semua bangsa membuat mereka betindak di luar kontrol. Mereka menghalau Yesus ke luar kota untuk dilempar ke dalam jurang. Aneh memang. Sikap mereka seperti orang yang marah karena kasihnya tak terbalas. Padahal, yang mereka lakukan bukanlah sikap kasih.
Sikap mereka bertentangan dengan ajaran Rasul Paulus. Rasul Paulus mengajarkan bahwa kasih itu tidak cemburu, tidak demi kepentingan sendiri, tidak pemarah dll. Karena sekalipun kita mempunyai bahasa roh, bakat, kurnia, pengetahuan bahkan iman yang sangat besar, sehingga bisa memindahkan gunung, bila tanpa cinta kasih, maka tidak ada gunanya.
Mereka memperlakukan Yesus sebagai alat untuk menaikkan gengsi atau harga diri. Ketika alat itu tidak mau diajak kompromi, lebih baik dilempar saja. Yesus dengan tegas mengajarkan bahwa kasih pada hakekatnya menyelamatkan, dan keselamatan hendaknya ditawarkan kepada siapa saja yang membutuhkannya tanpa pilih kasih. Dan Ia tetap berjalan lewat meneruskan penjalanannya sesuai dengan rencana Allah dan meneruskan karyanya. (Luk 4:30)
Dalam Injil tadi Yesus mengajar kita, untuk tidak membuat kelekatan dan tidak iri jika keselamatan juga ditawarkan kepada bangsa lain, orang lain, bahkan orang-orang yang mungkin tidak dari golongan kita. Jika kita mengakui dengan iman bahwa Yesus adalah penyelamat dunia, kita hendaknya sadar bahwa dunia itu jauh lebih luas daripada kelompok kita, Gereja kita, atau bangsa kita. (FX. Mgn)
Yer 1:4-5.17-19;
1 Kor 12:31 - 13:13;
Luk 4:21-30
Dalam kehidupan sehari-hari, kita cenderung menunjukkan sifat kelekatan yaitu keterikatan sesuatu, atau sifat yang sulit dipisahkan dari keasyikan kita. Ketika kita kehilangan sesuatu atau seseorang yang paling kita banggakan tentu serasa kehilangan bagian dari diri kita sendiri. Sebenarnya wajar kalau kita mempertahankan sesuatu yang paling berharga; misalnya mempertahankan harta milik, pangkat, kedudukan, kehormatan, atau seseorang yang kita cintai atau kita banggakan. Namun kalau kita sudah membuat kelekatan pribadi tanpa mau melihat hal-hal lain kemudian akan menimbulkan persoalan hidup kita.
Hal yang sama terjadi ketika Yesus mengajar di rumah ibadat di kota asalnya. Yesus, yang mereka ketahui adalah anak Yusuf, dipandang dengan penuh kekaguman oleh para tetangganya, ketika Dia menyampaikan pengajaran yang amat memikat. Kemudian mereka ingin memiliki Yesus bagi mereka sendiri. Namun Yesus mengatakan bahwa Dia datang juga bagi bangsa-bangsa lain. Serentak semua orang yang menjadi pendengar Dia waktu itu sangat marah. Aneh bagi mereka bahwa Yesus yang dilahirkan dari kalangan mereka ternyata berkarya juga bagi bangsa lain. Rasa ingin memiliki Yesus secara eksklusif membuat mereka tidak peka lagi akan kebutuhan orang atau bangsa lain. Bagi mereka, Yesus bisa mereka banggakan sebagai penambah gengsi atau sebagai kebanggaan kotanya atau bangsanya. Perasan mereka pada misi Yesus yang ditujukan untuk semua bangsa membuat mereka betindak di luar kontrol. Mereka menghalau Yesus ke luar kota untuk dilempar ke dalam jurang. Aneh memang. Sikap mereka seperti orang yang marah karena kasihnya tak terbalas. Padahal, yang mereka lakukan bukanlah sikap kasih.
Sikap mereka bertentangan dengan ajaran Rasul Paulus. Rasul Paulus mengajarkan bahwa kasih itu tidak cemburu, tidak demi kepentingan sendiri, tidak pemarah dll. Karena sekalipun kita mempunyai bahasa roh, bakat, kurnia, pengetahuan bahkan iman yang sangat besar, sehingga bisa memindahkan gunung, bila tanpa cinta kasih, maka tidak ada gunanya.
Mereka memperlakukan Yesus sebagai alat untuk menaikkan gengsi atau harga diri. Ketika alat itu tidak mau diajak kompromi, lebih baik dilempar saja. Yesus dengan tegas mengajarkan bahwa kasih pada hakekatnya menyelamatkan, dan keselamatan hendaknya ditawarkan kepada siapa saja yang membutuhkannya tanpa pilih kasih. Dan Ia tetap berjalan lewat meneruskan penjalanannya sesuai dengan rencana Allah dan meneruskan karyanya. (Luk 4:30)
Dalam Injil tadi Yesus mengajar kita, untuk tidak membuat kelekatan dan tidak iri jika keselamatan juga ditawarkan kepada bangsa lain, orang lain, bahkan orang-orang yang mungkin tidak dari golongan kita. Jika kita mengakui dengan iman bahwa Yesus adalah penyelamat dunia, kita hendaknya sadar bahwa dunia itu jauh lebih luas daripada kelompok kita, Gereja kita, atau bangsa kita. (FX. Mgn)
Senin, 06 Juli 2009
Mengasihi Allah dan mengasihi sesama.
MG BIASA XXX/A
Kel 22:21-27; 1 Tes 2:5c-10; Mat 22:34-40
Dalam kehidupan kita sehari-hari tidak pernah lepas dari aturan dan ketententuan-ketentuan yang kita sepakati bersama dalam bentuk hukum dan peraturan. Semua hukum dan peraturan itu untuk mendukung semua aktifitas kita bermasyarakat agar berjalan dengan baik dan bermanfaat bagi diri kita dan semua orang.
Di dalam hubungan kita dengan Tuhan pun diatur oleh hukum atau ketentuan seperti yang disampaikan dalam Sepuluh Perintah Allah. Perintah pertama sampai lima mengatur hubungan kita dengan Tuhan. Lima perintah berikutnya mengatur hubungan kita dengan sesama.
Hukum dan peraturan yang diciptakan Tuhan dan yang diciptakan oleh manusia itu sangat baik sepanjang kita mau mematuhi dan mewujudnyatakan dalam kehidupan kita sehari-hari. Masalahnya semakin hari semakin banyak kita ciptakan peraturan dan semakin banyak pula pelanggaran yang dilakukan.
Seperti kita tahu Sepuluh Perintah Allah yang merupakan cinta kasih terhadap Allah dan kepada sesama oleh bangsa Israel dikembangkan lagi menjadi 613 pasal peraturan yang serba sempit. Melihat hal ini Yesus mengemukakan semua yang terkandung dari seluruh peraturan dan perintah itu intinya menjadi dua saja dalam Hukum yang Terutama atau Hukum Kasih yaitu mencintai Allah dan mencintai sesama.
Seringkali kita pun mengartikan cinta kasih Allah dan sesama secara sempit. Kita beranggapan semuanya sudah beres asal sudah ke gereja setiap Minggu dan sudah membayar kartu iuran kartu biru dan kartu putih. Cukup puas asal setiap bulan Rosario dan bulan Maria kita berziarah ke tempat penghormatan Maria.
Sejujurnya hal itu belum cukup di mana dalam mengasihi Tuhan itu kita dituntut lebih lagi dalam hal perhatian dan dukungan kita terhadap sesama. Di sekitar kita banyak anak-anak yang tidak bisa menikmati pendidikan yang layak. Sekarang ini banyak orang hidupnya makin sulit, makan sehari-harinya serba kekurangan dan mereka yang sakit tidak mampu ke rumah sakit, dst.
Mestinya kita mau mencontoh kehidupan umat perdana di mana mereka bertekun dalam pengajaran, selalu berkumpul dan saling membantu. (Kej 2:41-47). Tidak jauh dari kehidupan kita kalau mau melihat kehidupan orang-orang di desa di mana kegotong-royongangannya masih tinggi dan mereka merasa hangat dalam hidup kemasyarakatannya. Bila kita bisa melakukan hal demikian, berarti kita telah melaksanakan hukum kasih tadi yaitu mengasihi Tuhan dengan segenap hati dan segenap jiwa kita. Serta mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri. (FX. Mgn)
Kel 22:21-27; 1 Tes 2:5c-10; Mat 22:34-40
Dalam kehidupan kita sehari-hari tidak pernah lepas dari aturan dan ketententuan-ketentuan yang kita sepakati bersama dalam bentuk hukum dan peraturan. Semua hukum dan peraturan itu untuk mendukung semua aktifitas kita bermasyarakat agar berjalan dengan baik dan bermanfaat bagi diri kita dan semua orang.
Di dalam hubungan kita dengan Tuhan pun diatur oleh hukum atau ketentuan seperti yang disampaikan dalam Sepuluh Perintah Allah. Perintah pertama sampai lima mengatur hubungan kita dengan Tuhan. Lima perintah berikutnya mengatur hubungan kita dengan sesama.
Hukum dan peraturan yang diciptakan Tuhan dan yang diciptakan oleh manusia itu sangat baik sepanjang kita mau mematuhi dan mewujudnyatakan dalam kehidupan kita sehari-hari. Masalahnya semakin hari semakin banyak kita ciptakan peraturan dan semakin banyak pula pelanggaran yang dilakukan.
Seperti kita tahu Sepuluh Perintah Allah yang merupakan cinta kasih terhadap Allah dan kepada sesama oleh bangsa Israel dikembangkan lagi menjadi 613 pasal peraturan yang serba sempit. Melihat hal ini Yesus mengemukakan semua yang terkandung dari seluruh peraturan dan perintah itu intinya menjadi dua saja dalam Hukum yang Terutama atau Hukum Kasih yaitu mencintai Allah dan mencintai sesama.
Seringkali kita pun mengartikan cinta kasih Allah dan sesama secara sempit. Kita beranggapan semuanya sudah beres asal sudah ke gereja setiap Minggu dan sudah membayar kartu iuran kartu biru dan kartu putih. Cukup puas asal setiap bulan Rosario dan bulan Maria kita berziarah ke tempat penghormatan Maria.
Sejujurnya hal itu belum cukup di mana dalam mengasihi Tuhan itu kita dituntut lebih lagi dalam hal perhatian dan dukungan kita terhadap sesama. Di sekitar kita banyak anak-anak yang tidak bisa menikmati pendidikan yang layak. Sekarang ini banyak orang hidupnya makin sulit, makan sehari-harinya serba kekurangan dan mereka yang sakit tidak mampu ke rumah sakit, dst.
Mestinya kita mau mencontoh kehidupan umat perdana di mana mereka bertekun dalam pengajaran, selalu berkumpul dan saling membantu. (Kej 2:41-47). Tidak jauh dari kehidupan kita kalau mau melihat kehidupan orang-orang di desa di mana kegotong-royongangannya masih tinggi dan mereka merasa hangat dalam hidup kemasyarakatannya. Bila kita bisa melakukan hal demikian, berarti kita telah melaksanakan hukum kasih tadi yaitu mengasihi Tuhan dengan segenap hati dan segenap jiwa kita. Serta mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri. (FX. Mgn)
Gandum dan rumput
MG BIASA XVI/A
Keb12:13.16-19; Rm 8:26-27; Mat 13:24-43
Dalam kehidupan kita di tengah masyarakat sering kali menghadapi berbagai tantangan. Dalam diri kita ada keinginan untuk berbuat baik sesuai kehendak Tuhan, namun di sisi lain godaan dan keinginan berbuat tidak baik juga sangat kuat. Dalam diri kita merasa bahwa terdapat gandum dan rumput tumbuh bersama.
Kadang-kadang setia pada ajaran Tuhan, tetapi kadang-kadang juga tidak. Dan jelas sangat sulit dipisahkan sekarang. Karena dengan memisahkan sekarang sama saja dengan mematikan kita dan mematikan kebebasan kita untuk tetap memilih mengembangkan gandum atau rumput itu. Dalam kehidupan di masyarakat pun kita berbaur dengan yang baik dan yang jahat. Ibarat gandum yang baik dan rumput belit-membelit.
Manusia yang dari awalnya diciptakan Tuhan baik adanya kemudian menjadi terkontaminasi dengan hal-hal jahat. Melihat hal ini orang mulai saling curiga satu sama lainnya bahkan saling tuduh: “Kamu orang jahat! Kalau aku baik! Kelompokku yang paling benar dan kelompok lain adalah salah.” Kemudian membuat pemisahan dengan tidak mau bergaul satu sama lainnya, bahkan memusuhi yang tidak sependapat dan tidak sama dengan aturan mereka. Mereka lupa bahwa dengan bermacam-macam paham, aliran dan pendapat itu akan memperkaya warna kehidupan, ibarat pelangi.
Melihat hal ini kita diharapkan bersabar dan toleran dengan membiarkan tetap hidup bersama dan berdampingan dengan orang-orang lain. Dengan demikian iman kita akan tertantang untuk maju hingga saat penyaringan terakhir di mana gandum dan rumput dipisahkan.
Sejatinya Tuhan amat sabar terhadap manusia. Segalanya diarahkan kepada kebaikan. Ia masih sayang kepada kita dengan membiarkan dan menunggu kita sadar. Tuhan masih memberi kesempatan bertobat bila kita berdosa. (Keb 12:19). Kita semua sadar, dalam hidup ini kebaikan dan kejahatan kerap kali bercampur, seperti gandum dan rumput tumbuh bersama. Karena itu Tuhan membiarkan rumput dan gandum tumbuh bersama sampai musim panen tiba. Gandumnya disimpan di lumbung-Nya, sedangkan rumputnya dibakar. Semoga kita bisa lepas dari belitan rumput. (FX. Mgn)
Langganan:
Postingan (Atom)