Kerahiman Allah dalam diri Yesus mengalir deras dalam jiwa penjahat yang berbahagia itu.
2 Kor 4:14-5:1;
Mzm 130:1-2. 4. 5-6a. 6-7. 8;
Lk 23:33. 39-43
Kematian merupakan saat yang pasti dan dialami oleh setiap orang. Apa pun usaha kita, juga dokter dan tabib untuk mempertahankan nyawa saudara-saudara kita bahkan yang paling kita kasihi, kalau sudah saatnya akan berpulang ke hadirat Tuhan. Maut memberi kenyataan bahwa hidup mempunyai keterbatasan. Hidup kita mempunyai awal dan mempunyai akhir.
Namun demikian bagi orang kristiani tidaklah sendirian menghadapi kematian itu. Kematian merupakan awal kehidupan baru, karena orang kristiani mempunyai kekuatan khusus, yaitu Kristus. Allah yang telah membangkitkan Tuhan Yesus akan membangkitkan kita juga bersama-sama dengan Yesus. (2 Kor 4:14). Allah telah menyediakan kediaman di surga bagi kita, tempat kediaman kekal yang bukan buatan tangan manusia. (2 Kor 5:1).
Dan Kristus sendiri berjanji akan membawa ke surga bagi yang percaya dan mau bertobat. Seperti dalam Injil dikatakan seorang penjahat yang bertobat dan percaya kepada Yesus, memohon: “Yesus ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai Raja.” Maka pada saat itu juga Yesus berkata: “Sekarang juga kamu akan bersama Aku di Firdaus.” (Luk 23:43).
Yesus tidak hanya mengingat penjahat itu, tapi membawa serta orang tersebut ke dalam firdaus hari ini! Dialah orang yang pertama kali memasuki Firdaus bersama Yesus. Ungkapan si penjahat: ”Kita memang selayaknya dihukum, sebab kita menerima balasan yang setimpal dengan perbuatan kita, tetapi orang ini tidak berbuat sesuatu yang salah." (Luk 23:41). Ini merupakan kesadaran diri sebagai yang salah tanpa pembenaran diri, berhati remuk redam, dan berharap akan belas kasih Allah. Itulah yang membuat Kerahiman Allah dalam diri Yesus mengalir deras dalam jiwa penjahat yang berbahagia itu.
Pertobatan penjahat tadi mengingatkan kita, bahwa kita pun harus bertobat. Pertobatan membawa kita kembali kepada Yesus. Pertobatan membawa kita ke suatu suasana damai dan bahagia bersama-sama dengan Yesus di surga.
Bagi mereka yang telah mendahului kita.
Bagi mereka yang sudah meninggal dan sudah diterima Tuhan, kita percaya bahwa mereka akan menikmati kerajaan abadi di surga yang diliputi suasana gembira dan bahagia. Dan kita percaya, bahwa mereka juga bisa menjadi pengantara doa-doa kita yang masih di dunia ini.
Di sisi lain bagi mereka yang belum diterima Tuhan dan masih menunggu pemurnian jiwanya di api pencucian, menjadi kewajiban kita yang masih di dunia ini mendoakan mereka mohon belas kasih Allah.
Maka pada peringatan semua arwah orang beriman ini, mereka yang sudah meninggal atau yang sudah mendahului kita: keluarga kita, orang tua, anak, saudara atau kerabat kita akan memperoleh idulgensi penuh, kalau kita doakan setiap hari selama peringatan arwah beriman mulai tanggal 2 s/d 8 November. Selanjutnya, kalau kita doakan pada hari-hari lain akan memperoleh idulgensi sebagian.
Pada saat yang sama sudah menjadi tradisi, kita juga bisa berziarah makam leluhur dan membersihkan makamnya serta berdoa bagi mereka. Karena kita percaya persahabatan kita dengan yang meninggal tidak berhenti pada mereka ketika masih hidup di dunia, tetapi berlanjut pada kehidupan lain atau kehidupan baru di akhirat. Itulah sebabnya Gereja percaya akan “persekutuan orang kudus.” (FX. Mgn)
Rabu, 28 Oktober 2009
Senin, 26 Oktober 2009
HARI RAYA SEMUA ORANG KUDUS
ORANG KUDUS,
HIDUP MENURUT SABDA BAHAGIA
Why 7:2-4. 9-14;
1 Yoh 3:1-3;
Mat 5:1-12a
Siapakah yang berbahagia?
Menurut Sabda Bahagia, mereka adalah ”orang-orang yang miskin di hadapan Allah ... yang dianiaya karena kebenaran ... yang dicela dan dianiaya karena Kristus ...” Dan menurut pemazmur, ”orang-orang yang bersih tangannya dan murni hatinya, yang tidak menyerahkan diri kepada penipuan ... dan yang mencari wajah Allah.” Orang-orang seperti itulah yang berbahagia dan mereka semua telah menjadi orang-orang kudus, yang hari ini kita rayakan.
Keinginan menjadi orang kudus ada tetapi kenyataan hidup kita berbeda. Sejujurnya kita ini tidak layak di hadapan Tuhan maupun dengan sesama. Kita penuh dosa, kelemahan dan kekurangan. Menyadari hal ini orang seperti kita ini berpikir; mungkinkah bisa menjadi orang kudus?
Namun kalau kita memperhatikan para kudus awalnya mereka juga bukan tanpa cacat dan cela. Mereka mempunyai kelemahan dan kekurangan. Mereka mengalami jatuh bangun dalam perjalanan hidupnya, yang pada akhirnya mereka menyadari dan mengerti akan karya Allah dalam kehidupannya. Mereka bertobat dan menyerahkan diri kepada Tuhan. Karena Tuhan memanggil orang berdosa bukan orang yang ”sudah suci”. Para kudus itu berbahagia karena mereka telah memelihara iman dan mengikuti Kristus sampai akhir.
Bagaimana dengan kita?
Harus diakui, semua orang pasti menginginkan hidup bahagia, kaya dan banyak uang. Dengan kekayaan bisa menikmati kebahagiaan hidup. Bagaimana orang miskin bisa bahagia? Menurut Sabda Bahagia tadi bertentangan dengan kenyataan dan harapan kita. Apa yang disampaikan dalam Sabda Bahagia itu berat, tidak mudah dan menuntut perjuangan yang tidak ringan.
Tetapi bila kita bisa ”bersemangat miskin” dan berserah kepada Tuhan secara penuh akan lebih tenteram hidup kita. Kita tetap gembira meski hidup sederhana karena yang kita pegang adalah Tuhan. Orang yang pasrah dan menyerahkan diri kepada Tuhan itulah yang berbahagia menurut Kitab Suci. Harapan dan cintanya hanya tertuju kepada Allah. Allah menjadi pusat utama dan pertama dalam kehidupannya sebagai manusia.
Marilah kita kita kembali merenungkan Sabda Bahagia itu, dengan mengambil contoh pada mereka yang telah memperoleh kebahagiaan di surga:
Seperti Fransiskus Asisi berbahagia karena ia telah memilih hidup miskin dan hidup bersama orang miskin untuk menebarkan kasih Allah dengan melayani banyak orang. Kita juga bisa belajar pada Ibu Teresa yang sepanjang hidupnya dibaktikan kepada orang miskin, orang sakit dan para gelandangan. Santa Monica berbahagia yang selama hidupnya menangis dan berduka karena kelakuan anaknya. Ia berdoa dan memohon kepada Tuhan agar anaknya bertobat, dan akhirnya ia menyaksikan bertobatnya Santo Agustinus anaknya.
Kita pun bisa berbahagia kelak, bila setiap hari mencari kebenaran sejati karena haus akan kebenaran dan berusaha hidup menurut kebenaran dalam Sabda Bahagia itu. (FX. Mgn)
HIDUP MENURUT SABDA BAHAGIA
Why 7:2-4. 9-14;
1 Yoh 3:1-3;
Mat 5:1-12a
Siapakah yang berbahagia?
Menurut Sabda Bahagia, mereka adalah ”orang-orang yang miskin di hadapan Allah ... yang dianiaya karena kebenaran ... yang dicela dan dianiaya karena Kristus ...” Dan menurut pemazmur, ”orang-orang yang bersih tangannya dan murni hatinya, yang tidak menyerahkan diri kepada penipuan ... dan yang mencari wajah Allah.” Orang-orang seperti itulah yang berbahagia dan mereka semua telah menjadi orang-orang kudus, yang hari ini kita rayakan.
Keinginan menjadi orang kudus ada tetapi kenyataan hidup kita berbeda. Sejujurnya kita ini tidak layak di hadapan Tuhan maupun dengan sesama. Kita penuh dosa, kelemahan dan kekurangan. Menyadari hal ini orang seperti kita ini berpikir; mungkinkah bisa menjadi orang kudus?
Namun kalau kita memperhatikan para kudus awalnya mereka juga bukan tanpa cacat dan cela. Mereka mempunyai kelemahan dan kekurangan. Mereka mengalami jatuh bangun dalam perjalanan hidupnya, yang pada akhirnya mereka menyadari dan mengerti akan karya Allah dalam kehidupannya. Mereka bertobat dan menyerahkan diri kepada Tuhan. Karena Tuhan memanggil orang berdosa bukan orang yang ”sudah suci”. Para kudus itu berbahagia karena mereka telah memelihara iman dan mengikuti Kristus sampai akhir.
Bagaimana dengan kita?
Harus diakui, semua orang pasti menginginkan hidup bahagia, kaya dan banyak uang. Dengan kekayaan bisa menikmati kebahagiaan hidup. Bagaimana orang miskin bisa bahagia? Menurut Sabda Bahagia tadi bertentangan dengan kenyataan dan harapan kita. Apa yang disampaikan dalam Sabda Bahagia itu berat, tidak mudah dan menuntut perjuangan yang tidak ringan.
Tetapi bila kita bisa ”bersemangat miskin” dan berserah kepada Tuhan secara penuh akan lebih tenteram hidup kita. Kita tetap gembira meski hidup sederhana karena yang kita pegang adalah Tuhan. Orang yang pasrah dan menyerahkan diri kepada Tuhan itulah yang berbahagia menurut Kitab Suci. Harapan dan cintanya hanya tertuju kepada Allah. Allah menjadi pusat utama dan pertama dalam kehidupannya sebagai manusia.
Marilah kita kita kembali merenungkan Sabda Bahagia itu, dengan mengambil contoh pada mereka yang telah memperoleh kebahagiaan di surga:
Seperti Fransiskus Asisi berbahagia karena ia telah memilih hidup miskin dan hidup bersama orang miskin untuk menebarkan kasih Allah dengan melayani banyak orang. Kita juga bisa belajar pada Ibu Teresa yang sepanjang hidupnya dibaktikan kepada orang miskin, orang sakit dan para gelandangan. Santa Monica berbahagia yang selama hidupnya menangis dan berduka karena kelakuan anaknya. Ia berdoa dan memohon kepada Tuhan agar anaknya bertobat, dan akhirnya ia menyaksikan bertobatnya Santo Agustinus anaknya.
Kita pun bisa berbahagia kelak, bila setiap hari mencari kebenaran sejati karena haus akan kebenaran dan berusaha hidup menurut kebenaran dalam Sabda Bahagia itu. (FX. Mgn)
Selasa, 20 Oktober 2009
GURU, SEMOGA AKU MELIHAT
MG BIASA XXX/B
Yer 31:7-9; Ibr 5:1-6;
Mrk 10:46-52
Seringkali kita menjumpai orang yang merasa kecil hati, rendah diri dan selalu minta dikasihani karena cacat tubuhnya. Seperti Bartimeus yang buta, ia terpaksa mengemis dan menantikan belas kasihan orang. Tetapi ada juga orang cacat tubuhnya lebih percaya diri dan mampu melakukan aktifitas layaknya orang yang normal, tidak mau diperlakukan istimewa. Dalam hal ini harus diakui bahwa orang yang tidak bisa melihat malah mempunyai banyak kelebihan daripada orang yang bisa melihat. Mereka mampu mengenali orang lain dan jalan walau tidak bisa melihat, karena mengandalkan perasaan dan pendengarannya.
Dalam Injil dikatakan bahwa Yesus dalam perjalanan-Nya bersama murid-murid-Nya dan diikuti banyak orang, keluar Yerikho menuju Yerusalem. Rombongan Yesus terhenti karena jalannya terhalang oleh para pengemis yang minta sedekah.
Ketika mendengar bahwa Yesus lewat di situ maka Bartimeus berseru: ”Yesus, anak Daud kasihanilah aku!” Para rombongan menegurnya supaya ia diam, namun Bartimeus semakin keras berseru: ”Anak Daud kasihanilah aku!”
Melihat hal ini Yesus tergerak hati-Nya dan memanggilnya, dan bertanya: ”Apa yang kamu minta, Aku lakukan?” Jawab Bartimeus: ”Tuhan, supaya aku melihat.” Yesus berkata: ”Pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau!” Maka ia melihat. Ia dibukakan mata hatinya sehingga melihat cinta kasih Tuhan. Bartimeus melihat sendiri bahwa Tuhan yang memberikan hidup baru baginya. Berkat imannya, Bartimeus telah sembuh dari kebutaan. Kemudian Bartimeus memilih untuk mengikuti Yesus ke Yerusalem, sebagai saksi bagi orang lain untuk menjumpai Yesus.
Bagaimana dengan kita?
Kadang kita yang ”melek” ini malah ”buta” seperti para murid yang sudah sekian lama bergaul dengan Yesus, dan setiap hari bersama Yesus tetapi tidak mengenal-Nya. Sebaliknya Bartimeus yang dianggap buta oleh semua orang, dapat melihat dan percaya bahwa Yesus adalah Mesias. Seringkali kita ini dianggap orang kristiani yang umum. Sekedar ikut macam-macam kegiatan Gereja, tetapi belum mengenal Yesus secara pribadi. Kita menghafal banyak ajaran iman Gereja dan mengerti tradisi Gereja tetapi belum menjadi keyakinan pribadi.
Semoga penyembuhan Bartimeus adalah juga penyembuhan bagi kita dan para murid yang lain, sehingga mereka mangakui bahwa Yesus adalah Mesias. Dan marilah kita datang kepada Yesus mohon disembuhkan, mohon dijamah dan dibukakan hati kita. Dengan melihat Tuhan tentu akan membuat kita juga dapat melihat sesama kita secara jelas akan kesulitan dan keterbatasan mereka. Dengan melihat Tuhan akan memurnikan iman kita kepada-Nya, yaitu iman sejati yang dapat melihat Yesus adalah Mesias. (FX. Mgn)
Yer 31:7-9; Ibr 5:1-6;
Mrk 10:46-52
Seringkali kita menjumpai orang yang merasa kecil hati, rendah diri dan selalu minta dikasihani karena cacat tubuhnya. Seperti Bartimeus yang buta, ia terpaksa mengemis dan menantikan belas kasihan orang. Tetapi ada juga orang cacat tubuhnya lebih percaya diri dan mampu melakukan aktifitas layaknya orang yang normal, tidak mau diperlakukan istimewa. Dalam hal ini harus diakui bahwa orang yang tidak bisa melihat malah mempunyai banyak kelebihan daripada orang yang bisa melihat. Mereka mampu mengenali orang lain dan jalan walau tidak bisa melihat, karena mengandalkan perasaan dan pendengarannya.
Dalam Injil dikatakan bahwa Yesus dalam perjalanan-Nya bersama murid-murid-Nya dan diikuti banyak orang, keluar Yerikho menuju Yerusalem. Rombongan Yesus terhenti karena jalannya terhalang oleh para pengemis yang minta sedekah.
Ketika mendengar bahwa Yesus lewat di situ maka Bartimeus berseru: ”Yesus, anak Daud kasihanilah aku!” Para rombongan menegurnya supaya ia diam, namun Bartimeus semakin keras berseru: ”Anak Daud kasihanilah aku!”
Melihat hal ini Yesus tergerak hati-Nya dan memanggilnya, dan bertanya: ”Apa yang kamu minta, Aku lakukan?” Jawab Bartimeus: ”Tuhan, supaya aku melihat.” Yesus berkata: ”Pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau!” Maka ia melihat. Ia dibukakan mata hatinya sehingga melihat cinta kasih Tuhan. Bartimeus melihat sendiri bahwa Tuhan yang memberikan hidup baru baginya. Berkat imannya, Bartimeus telah sembuh dari kebutaan. Kemudian Bartimeus memilih untuk mengikuti Yesus ke Yerusalem, sebagai saksi bagi orang lain untuk menjumpai Yesus.
Bagaimana dengan kita?
Kadang kita yang ”melek” ini malah ”buta” seperti para murid yang sudah sekian lama bergaul dengan Yesus, dan setiap hari bersama Yesus tetapi tidak mengenal-Nya. Sebaliknya Bartimeus yang dianggap buta oleh semua orang, dapat melihat dan percaya bahwa Yesus adalah Mesias. Seringkali kita ini dianggap orang kristiani yang umum. Sekedar ikut macam-macam kegiatan Gereja, tetapi belum mengenal Yesus secara pribadi. Kita menghafal banyak ajaran iman Gereja dan mengerti tradisi Gereja tetapi belum menjadi keyakinan pribadi.
Semoga penyembuhan Bartimeus adalah juga penyembuhan bagi kita dan para murid yang lain, sehingga mereka mangakui bahwa Yesus adalah Mesias. Dan marilah kita datang kepada Yesus mohon disembuhkan, mohon dijamah dan dibukakan hati kita. Dengan melihat Tuhan tentu akan membuat kita juga dapat melihat sesama kita secara jelas akan kesulitan dan keterbatasan mereka. Dengan melihat Tuhan akan memurnikan iman kita kepada-Nya, yaitu iman sejati yang dapat melihat Yesus adalah Mesias. (FX. Mgn)
Selasa, 13 Oktober 2009
IA DATANG UNTUK MELAYANI DAN MENYERAHKAN NYAWANYA BAGI SEMUA ORANG
MG BIASA XXIX/B
Yes 53:10-11; Ibr 4:14-16;
Mrk 10:35-45
Tidak ada orang yang menginginkan penderitaan. Semua manusia menginginkan kehidupan yang baik, posisinya yang enak dan dihormati banyak orang. Seperti keinginan Yakobus dan Yohanes untuk bisa duduk di samping Yesus pada hari kemuliaan-Nya kelak.
Dalam keinginan Yakobus dan Yohanes ini, rupanya ada kesan bahwa Yesus tidak segera mengiyakan. Yesus tidak ingin para murid-Nya melupakan jalan penderitaan yang harus ditempuh sebelum menerima anugerah kemuliaan kekal. Selain itu, Ia tidak mau merebut hak Bapa-Nya. Bapa sendirilah yang akan menentukan kepada siapa anugerah itu diberikan, yang menurut-Nya dipandang-Nya layak. Anugerah hanya bisa diandalkan dari kebaikan hati Allah.
Dalam hal ini rupanya para murid masih belum paham. Mereka lupa bahwa Yesus pernah mengatakan: ”Barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah menjadi hamba untuk semuanya. Barangsiapa ingin menjadi besar, hendaklah ia menjadi pelayanmu.” demikian Tuhan menasihati para murid-Nya yang masih berebut kedudukan. Dan tambah-Nya, ”Karena Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.” Mengapa? Karena Tuhan sangat mencintai manusia dan ingin agar semua orang menemukan keselamatan Allah.
Bagaimana dengan kita?
Seringkali kita pun dalam melakukan perbuatan baik disertai harapan-harapan tertentu. Dibalik segala macam perbuatan kita tersembunyi keinginan memperoleh pahala, minta hak istimewa, posisi yang baik dan jabatan yang enak serta tempat terhormat. Kita lupa bahwa tempat terhormat itu bukan tujuan utama tetapi sarana untuk bisa saling melayani. Perbuatan baik akan berkurang nilainya jika tidak disertai sikap pelayanan yang tulus dan rendah hati.
Lalu pelayanan bagaimana yang harus kita lakukan bagi sesama?
Pelayanan yang bukan sekedar menawarkan harta, tetapi pelayanan yang kalau perlu mengorbankan hidup, waktu dan tenaga kita. Pelayanan yang tidak hitung-hitungan. Pelayanan berarti memberikan waktu yaitu mau mendengarkan keluhan orang lain dan pendapat orang lain. Pelayanan juga dapat berupa mendoakan. Misalnya mendoakan orang sakit agar mereka teguh imannya, bangkit kembali semangatnya dan berharap bahwa Tuhan mengasihinya.
Dengan melayani tentu ada resiko yang kita hadapi; lelah, tidak bisa santai, menuai kritik, bahkan malah dicela orang. Namun kita tidak perlu takut untuk melayani, sepanjang tidak ada pamrih-pamrih apa pun.
Seperti para pejuang kemerdekaan yang rela gugur di medan perang, agar bangsanya dapat hidup merdeka. Kita melihat banyak orang harus menjalani sengsara di penjara atau dibrangus kreativitasnya, karena memperjuangkan kebebasan dan keluhuran nilai manusia. Mereka rela menderita karena memperjuangkan keadilan, demi kebaikan hidup orang-orang kecil. Mereka-mereka ini seperti Yesus, rela mengorbankan nyawa-Nya untuk menjadi tebusan bagi banyak orang. (FX. Mgn)
Yes 53:10-11; Ibr 4:14-16;
Mrk 10:35-45
Tidak ada orang yang menginginkan penderitaan. Semua manusia menginginkan kehidupan yang baik, posisinya yang enak dan dihormati banyak orang. Seperti keinginan Yakobus dan Yohanes untuk bisa duduk di samping Yesus pada hari kemuliaan-Nya kelak.
Dalam keinginan Yakobus dan Yohanes ini, rupanya ada kesan bahwa Yesus tidak segera mengiyakan. Yesus tidak ingin para murid-Nya melupakan jalan penderitaan yang harus ditempuh sebelum menerima anugerah kemuliaan kekal. Selain itu, Ia tidak mau merebut hak Bapa-Nya. Bapa sendirilah yang akan menentukan kepada siapa anugerah itu diberikan, yang menurut-Nya dipandang-Nya layak. Anugerah hanya bisa diandalkan dari kebaikan hati Allah.
Dalam hal ini rupanya para murid masih belum paham. Mereka lupa bahwa Yesus pernah mengatakan: ”Barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah menjadi hamba untuk semuanya. Barangsiapa ingin menjadi besar, hendaklah ia menjadi pelayanmu.” demikian Tuhan menasihati para murid-Nya yang masih berebut kedudukan. Dan tambah-Nya, ”Karena Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.” Mengapa? Karena Tuhan sangat mencintai manusia dan ingin agar semua orang menemukan keselamatan Allah.
Bagaimana dengan kita?
Seringkali kita pun dalam melakukan perbuatan baik disertai harapan-harapan tertentu. Dibalik segala macam perbuatan kita tersembunyi keinginan memperoleh pahala, minta hak istimewa, posisi yang baik dan jabatan yang enak serta tempat terhormat. Kita lupa bahwa tempat terhormat itu bukan tujuan utama tetapi sarana untuk bisa saling melayani. Perbuatan baik akan berkurang nilainya jika tidak disertai sikap pelayanan yang tulus dan rendah hati.
Lalu pelayanan bagaimana yang harus kita lakukan bagi sesama?
Pelayanan yang bukan sekedar menawarkan harta, tetapi pelayanan yang kalau perlu mengorbankan hidup, waktu dan tenaga kita. Pelayanan yang tidak hitung-hitungan. Pelayanan berarti memberikan waktu yaitu mau mendengarkan keluhan orang lain dan pendapat orang lain. Pelayanan juga dapat berupa mendoakan. Misalnya mendoakan orang sakit agar mereka teguh imannya, bangkit kembali semangatnya dan berharap bahwa Tuhan mengasihinya.
Dengan melayani tentu ada resiko yang kita hadapi; lelah, tidak bisa santai, menuai kritik, bahkan malah dicela orang. Namun kita tidak perlu takut untuk melayani, sepanjang tidak ada pamrih-pamrih apa pun.
Seperti para pejuang kemerdekaan yang rela gugur di medan perang, agar bangsanya dapat hidup merdeka. Kita melihat banyak orang harus menjalani sengsara di penjara atau dibrangus kreativitasnya, karena memperjuangkan kebebasan dan keluhuran nilai manusia. Mereka rela menderita karena memperjuangkan keadilan, demi kebaikan hidup orang-orang kecil. Mereka-mereka ini seperti Yesus, rela mengorbankan nyawa-Nya untuk menjadi tebusan bagi banyak orang. (FX. Mgn)
Senin, 05 Oktober 2009
JUALLAH SEMUA HARTA MILIKMU DAN IKUTLAH AKU.
MG BIASA XXVIII/B
Keb 7:7-11;
Ibr 4:12-13;
Mrk 10:17-30
Lebih mudah seekor unta melewati lubang jarum daripada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah. (Mrk 10:25)
Terbayang dalam pikiran kita tentang jarum jahit yang lubangnya sangat kecil dan sempit. Hal itu, tidak mungkin seekor unta besar dan tinggi dapat melewati lubang jarum jahit.
Perkataan Yesus tentang lebih mudah seekor unta melewati lubang jarum daripada seorang kaya masuk dalam Kerajaan Allah, menggambarkan betapa sulitnya seorang kaya mengikuti kehendak Tuhan, karena orang kaya dan kekayaannya menjadi halangan terbesar untuk melaksanakan perintah Allah.
Seperti dalam Injil tadi seorang pemuda kaya telah melakukan hal-hal yang baik sesuai dengan hukum Taurat, bertanya kepada Yesus apa syaratnya supaya memperoleh hidup yang kekal. Pemuda kaya tadi diperintahkan Yesus agar menjual seluruh harta bendanya dan membagikannya kepada orang miskin, kemudian mengikuti Dia. Mendengar perintah itu, pemuda kaya tadi mukanya muram dan kecewa berat lalu pergi dengan sedih karena ingat akan hartanya yang banyak harus ditinggalkan. Keputusannya jadi berubah total berbalik dari Yesus, sebab ia lebih mencintai hartanya daripada hidup kekal yang tadinya menjadi pusat perhatiannya. Berarti ia gagal dipanggil ke dalam Kerajaan Allah yang menuntut penyangkalan diri total. (Mrk 8:34)
Hal demikian itu mungkin juga terjadi pada diri kita kalau sudah menyinggung soal harta milik. Kita sangat terikat akan harta kekayaan dan sulit sekali keluar dari lilitan duniawi. Lebih tertarik mencintai harta daripada mencintai Yesus untuk hidup yang kekal. Lebih mudah berbalik meninggalkan Yesus daripada meninggalkan harta yang kita cintai. Apa lagi kalau untuk berkorban dan berbagi kepada sesama, itu merupakan gagasan yang tidak menarik.
Tuntutan Yesus untuk menjual harta milik dan membagikan kepada orang-orang miskin bukan berarti Ia membenci orang kaya dan hanya memihak orang miskin tetapi Ia mengharapkan agar orang memandang kekayaan sebagai sarana untuk menunjang hidup fisik. Harta kekayaan duniawi tidak boleh dipandang sebagai jaminan hidup kekal. Memang kekayaan tidak dengan sendirinya membuat orang jahat dan buruk, sepanjang orang mampu menggunakannya dengan tepat dan tidak hanya mengandalkan hidupnya melekat pada kekayaannya. Bahkan orang kaya bisa membantu semua orang menjadi sejahtera bila memiliki rasa syukur atas kelimpahan kekayaannya karena ia melihat Kerajaan Allah.
Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa hanya yang tidak lekat pada harta duniawi dan mengandalkan Allah, entah kaya atau miskin akan masuk ke dalam Kerajaan Allah. Dengan kata lain yang menentukan seseorang bisa masuk dalam Kerajaan Allah dan memperoleh hidup kekal bukan soal kaya atau miskin harta tetapi sikap seseorang terhadap hartanya itu. Meskipun orang miskin harta tetapi lekat pada harta miliknya yang memang hanya sedikit itu maka ia tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Allah. Sebaliknya orang kaya yang tidak menggantungkan diri pada kekayaannya semata dan rela berbagi kepada sesama yang membutuhkan, orang itulah yang akan masuk ke dalam Kerajaan Allah.
Marilah kita memilih pekerjaan atau status hidup yang tepat demi masa depan agar memperoleh anugerah hidup kekal dalam Kerajaan Allah dan layak menjadi pengikut-Nya. (FX. Mgn)
Keb 7:7-11;
Ibr 4:12-13;
Mrk 10:17-30
Lebih mudah seekor unta melewati lubang jarum daripada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah. (Mrk 10:25)
Terbayang dalam pikiran kita tentang jarum jahit yang lubangnya sangat kecil dan sempit. Hal itu, tidak mungkin seekor unta besar dan tinggi dapat melewati lubang jarum jahit.
Perkataan Yesus tentang lebih mudah seekor unta melewati lubang jarum daripada seorang kaya masuk dalam Kerajaan Allah, menggambarkan betapa sulitnya seorang kaya mengikuti kehendak Tuhan, karena orang kaya dan kekayaannya menjadi halangan terbesar untuk melaksanakan perintah Allah.
Seperti dalam Injil tadi seorang pemuda kaya telah melakukan hal-hal yang baik sesuai dengan hukum Taurat, bertanya kepada Yesus apa syaratnya supaya memperoleh hidup yang kekal. Pemuda kaya tadi diperintahkan Yesus agar menjual seluruh harta bendanya dan membagikannya kepada orang miskin, kemudian mengikuti Dia. Mendengar perintah itu, pemuda kaya tadi mukanya muram dan kecewa berat lalu pergi dengan sedih karena ingat akan hartanya yang banyak harus ditinggalkan. Keputusannya jadi berubah total berbalik dari Yesus, sebab ia lebih mencintai hartanya daripada hidup kekal yang tadinya menjadi pusat perhatiannya. Berarti ia gagal dipanggil ke dalam Kerajaan Allah yang menuntut penyangkalan diri total. (Mrk 8:34)
Hal demikian itu mungkin juga terjadi pada diri kita kalau sudah menyinggung soal harta milik. Kita sangat terikat akan harta kekayaan dan sulit sekali keluar dari lilitan duniawi. Lebih tertarik mencintai harta daripada mencintai Yesus untuk hidup yang kekal. Lebih mudah berbalik meninggalkan Yesus daripada meninggalkan harta yang kita cintai. Apa lagi kalau untuk berkorban dan berbagi kepada sesama, itu merupakan gagasan yang tidak menarik.
Tuntutan Yesus untuk menjual harta milik dan membagikan kepada orang-orang miskin bukan berarti Ia membenci orang kaya dan hanya memihak orang miskin tetapi Ia mengharapkan agar orang memandang kekayaan sebagai sarana untuk menunjang hidup fisik. Harta kekayaan duniawi tidak boleh dipandang sebagai jaminan hidup kekal. Memang kekayaan tidak dengan sendirinya membuat orang jahat dan buruk, sepanjang orang mampu menggunakannya dengan tepat dan tidak hanya mengandalkan hidupnya melekat pada kekayaannya. Bahkan orang kaya bisa membantu semua orang menjadi sejahtera bila memiliki rasa syukur atas kelimpahan kekayaannya karena ia melihat Kerajaan Allah.
Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa hanya yang tidak lekat pada harta duniawi dan mengandalkan Allah, entah kaya atau miskin akan masuk ke dalam Kerajaan Allah. Dengan kata lain yang menentukan seseorang bisa masuk dalam Kerajaan Allah dan memperoleh hidup kekal bukan soal kaya atau miskin harta tetapi sikap seseorang terhadap hartanya itu. Meskipun orang miskin harta tetapi lekat pada harta miliknya yang memang hanya sedikit itu maka ia tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Allah. Sebaliknya orang kaya yang tidak menggantungkan diri pada kekayaannya semata dan rela berbagi kepada sesama yang membutuhkan, orang itulah yang akan masuk ke dalam Kerajaan Allah.
Marilah kita memilih pekerjaan atau status hidup yang tepat demi masa depan agar memperoleh anugerah hidup kekal dalam Kerajaan Allah dan layak menjadi pengikut-Nya. (FX. Mgn)
Langganan:
Postingan (Atom)