Prodiakon memang harus tulus melayani dalam mengabdi
Seringkali kita mendengar keluhan di antara anggota prodiakon bahwa si Anu hari ini mangkir tugas dan tidak memberitahukan atau mencari pengganti. Si Anu 2 tidak mau mengirim komuni kepada pasien karena tidak punya kendaraan. Kemudian si Anu 3 tidak mau tugas di tempat ibadah tertentu karena jauh. Alasan yang timbul, biarlah nanti juga ada yang lain bertugas.
Anda dilantik untuk tugas itu.
Sebenarnya bila seorang prodiakon sadar akan tugas dan kewajibannya ketika mereka dilantik itu adalah untuk melaksanakan tugas-tugas yang dipercayakan kepada mereka oleh imam dan uskup. Tugas seorang prodiakon antara lain ialah menerimakan komuni kudus kepada sesama umat beriman, serta membawa Tubuh Kristus kepada warga jemaat yang sakit/jompo dan membutuhkan topangan dari santapan rohani. Pelayanan ini suci, sebab langsung mengabdi kepada hadirat Allah dalam Sakramen Ekaristi, dan karena merupakan pelayanan yang sangat dibutuhkan umat demi kelestarian dan pertumbuhan hidup mereka sebagai Tubuh Kristus. Pelayanan yang diserahkan kepada prodiakon ini juga merangkum tugas untuk membimbing sesama umat dalam pelayanan mereka di sekitar altar Tuhan.
Melihat hal itu mestinya seorang prodiakon tidak ada alasan untuk tidak melaksanakan tugas itu kecuali karena sakit. Tidak ada kata malas, capek, atau alasan apa pun. Karena Anda dilantik untuk tugas itu.
Kenapa bisa terjadi ada prodiakon membandel?
Biasanya ini terjadi karena proses mereka untuk menjadi prodiakon tersebut tidak melalui proses penyaringan yang benar. Pertama-tama prodikon yang membandel ini ketika mau menjadi prodiakon tidak mempunyai motivasi yang baik. Saya mau jadi prodiakon karena saya sudah tidak lagi jadi ketua lingkungan atau ketua wilayah. Atau saya mau melayani ini setelah saya pensiun. Jadi hanya untuk pelarian. Justru diharapkan prodiakon itu sebaiknya malah yang masih aktif bekerja. Kalau mereka bisa mengatur waktu dengan baik pelayanan akan seimbang. Seseorang prodiakon yang gagal biasanya karena hanya ditunjuk oleh ketua wilayah atau ketua lingkungannya untuk menjadi prodiakon. Jadi tidak melalui proses penyaringan yang baik. Yang penting mau tanpa mengerti persis apa yang menjadi tugas utamanya. Begitu dilantik jadi prodikaon dan harus melaksanakan tugas jadi ketakutan dan menghindar dari tugas dengan berbagai alasan.
Keluarga mendukung tugas prodiakon bukan mengatur.
Sebetulnya proses pemilihan untuk menjadi prodiakon itu sangat panjang mulai dari persetujuan keluarga. Apakah keluarga mendukung apa tidak. Sebab kalau keluarga tidak mendukung ketika harus bertugas mengirim komuni atau tugas di gereja bisa-bisa dianggap pergi ke tempat lain. Jadi keluarga bukan mengatur prodiakon tetapi mendukung. Seseorang untuk bisa menjadi prodiakon memang harus memenuhi beberapa syarat yang ditentukan oleh paroki setempat. Salah satunya harus layak dan pantas. Untuk kepantasan dan kelayakan ini harus dilakukan pemilihan oleh umat karena prodiakon itu untuk umat. Jangan sampai ada prodiakon yang ditolak umat. Dari lingkungan dipilih satu atau dua orang untuk dicalonkan sebagai anggota prodiakon. Kemudian calon dari beberapa lingkungan dibawa ke wilayah untuk disaring lagi satu atau dua orang diajukan ke pastor paroki untuk diseleksi. Calon dari paroki diajukan ke bapak uskup. Kemudian para calon yang sudah disetujui uskup baru dilantik oleh bapak uskup atau imam yang ditunjuk atas nama uskup.
Karena itu Prodiakon harus memiliki nama baik, sebagai pribadi maupun keluarga, mempunyai penampilan layak dan diterima umat, serta didukung keluarga. Apabila dalam perjalanan waktu seorang prodiakon mendapat kesulitan dalam hidup rumahtangganya atau menjadi batu sandungan umat, maka sebaiknya ia non aktif terlebih dahulu atau berhenti. Jadi untuk menjadi prodiakon memang harus tulus untuk melayani dan menimba semangat pelayanan dari apa yang ia wakili dan hadirkan yaitu: diakon tertahbis. Sebab diakon berarti pelayan. Maka menurut hakikatnya, seorang prodiakon dilantik untuk mewakili sang pelayan (diakonos). Prodiakon siap menerima tugas dari pastor, paroki, Lingkungan/Wilayah, RT/RW dan masyarakat, lingkungan kerja, dan tentu saja keluarga di rumah. Siap menghadapi keruwetan hidup, memanggul salibnya setiap hari, dan harus menyangkal diri. (Luk 9:23). Pelayanan maksimal, tanpa memperhitungkan untung rugi baik moril ataupun materiil, tanpa pilih kasih/pandang bulu, terutama kepada yang miskin, lemah, tersisih dan sakit. Dengan memahami tugas mulia sebagai prodiakon dan melayani dengan tulus maka ketika mereka melaksanakan tugas tidak akan menjadikan beban tetapi merupakan bentuk tanggungjawab dalam pengabdian. Semoga. (FX. Mgn)
Selasa, 30 Juni 2009
Langganan:
Postingan (Atom)