RABU ABU:
PANTANG DAN PUASA /ABC
(Hari Rabu, 17 Febr 2010)
Yl 2:12-18;
2 Kor 5:20. 6:2;
Mat 6:1-6. 16-18
Mulai hari Rabu ini, kita sebagai umat Katolik sedunia memasuki masa pantang dan puasa sebagai persiapan merayakan paska, kebangkitan Tuhan kita Yesus Kristus.
Berpuasa, sesungguhnya untuk melatih rohani kita agar spiritualitas kita makin terbuka untuk menghayati pertobatan sebagai sikap hidup. Pertobatan yang dimaksud adalah agar kehidupan kita makin berkenan di hati Tuhan dan setia memelihara kesucian hidup. Itu sebabnya makna pertobatan bukan terletak pada upacara lahiriah dan kebiasaan keagamaan, melainkan pada pertobatan hati. Nabi Yoel berkata: “Koyakkanlah hatimu dan jangan pakaianmu”. Jadi yang dikehendaki oleh Tuhan dalam berpuasa adalah “hati yang mau dikoyakkan” sehingga kita menyesali dengan sungguh semua kesalahan dan dosa kita.
Percuma saja mengoyakkan pakaian tanda menyesali kesalahan dan dosa, tetapi ternyata hati tetap keras dan hidup kita terus bergelimang dalam dosa. Bahkan tindakan mengoyakkan pakaian dalam pengertian ini hanya sekedar suatu bentuk kepura-puraan belaka, yang artinya sama dengan kemunafikan. Manakala kita dipanggil untuk mengoyakkan hati adalah ajakan agar kita mengalami kasih dan pengampunan Allah yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Saat kita berpuasa juga dapat kita pakai sebagai sarana untuk melatih dan mempertajam spiritualitas dan iman yang kita miliki. Sehingga setelah berpuasa, seharusnya kita dapat mengalami perubahan hidup; agar hidup kita menjadi lebih arif dalam menghadapi berbagai persoalan dan pemasalahan yang terjadi. Sebagai sikap pertobatan, maka dalam melakukan puasa seharusnya kita makin memiliki spiritualitas yang penuh kasih dan pengampunan kepada sesama. Karena itu saat kita berpuasa tidak boleh memiliki motivasi lain, selain sikap iman yang mau merendahkan diri secara total di hadapan Allah. Melalui puasa, kita ingin mengekspresikan sikap pertobatan. Sikap ini kita lakukan karena sikap bertobat harus dinyatakan dalam perbuatan, bukan sekedar rangkaian kata-kata yang saleh.
Itulah sebabnya pada masa ini juga disebut masa bertobat, yang berarti bangun dari kedosaan dan mulai membangun hidup baru selaras dengan iman akan Yesus Kristus. Dari situ pula bunda Gereja mengajak kita semua pada masa puasa ini untuk bertobat, kembali ke jalan Allah.
Selain itu dalam menghayati sikap pertobatan, Yesus mengingatkan kita tidak boleh melakukan puasa secara demonstratif sehingga orang banyak mengetahui dan memberi pujian saat kita sedang berpuasa. Sebab makna pertobatan yang dikehendaki oleh Yesus adalah “spiritualitas yang tersembunyi”. Maksud dari “spiritualitas yang tersembunyi” adalah sikap rohani yang tidak mencari nama, pujian atau penghargaan manusia. Karena itu Yesus berkata: “Ingatlah, jangan kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat mereka, karena jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di sorga”.
Betapa sering kita menyaksikan sikap pertobatan dipraktikkan hanya sebagai suatu demonstrasi kerohanian di hadapan umum, agar semua orang dapat melihat dan memberi pujian tentang bagaimana saleh kehidupan keagamaan semata. Apabila melakukan demonstrasi rohani yang demikian, sesungguhnya sudah mendapat upah atau hasilnya, yaitu pujian dari manusia. Tetapi sikap yang demikian tidak akan pernah mendapat penghargaan dan pujian dari Allah, sebab Allah sebagai Bapa hanya melihat yang tersembunyi. Allah hanya peduli kepada orang yang sungguh-sungguh merendahkan diri dan bertobat secara tulus serta mengasihi Allah tanpa syarat. Karena itu makna pertobatan yang benar di hadapan Allah bukanlah suatu publikasi berupa simbol-simbol sikap rohani yang ditampilkan secara sengaja dengan berdiri di tikungan-tikungan jalan, mengucapkan kalimat doa yang panjang bertele-tele, atau menampilkan wajah yang kusam karena sedang berpuasa.
Makna pertobatan adalah sikap hati yang mau berubah di hadapan Allah, yang mana efek perubahan hidup itu dapat dirasakan oleh setiap orang di sekitarnya. Sikap bertobat semakin nyata dalam kehidupan rohani, seperti dalam berdoa dan berpuasa dengan kesungguhan hati, sikap yang tulus dan berserah kepada Tuhan dalam semangat spiritualitas yang tersembunyi. Jadi puasa dan berdoa sebenarnya hanyalah awal dari sikap bertobat, tetapi perubahan hidup merupakan wujud yang sesungguhnya dari pertobatan.
Masa puasa juga disebut masa Prapaska, masa untuk mempersiapkan perayaan paska, perayaan kebangkitan Tuhan, perayaan kemenangan Tuhan atas maut. Pesta kemenangan, bahwa kita yang disatukan dengan Tuhan Yesus dalam kematian-Nya, juga akan menerima kebangkitan bersama Dia. Pesta yang menandakan kemenangan kebaikan atas kejahatan. Kemenangan kuasa Tuhan atas kuasa jahat. Maka untuk merayakan kemenangan itu kiranya cara yang sangat tepat adalah menyatukan hidup bersama Dia. Hidup bersama Dia berarti hidup dalam semangat-Nya, yaitu mengasihi Bapa dan sesama kita.
Marilah kita semakin dapat menghayati makna hari Rabu Abu sebagai sikap pertobatan agar hidup kita seluruhnya tidak lagi dibelenggu oleh kuasa dunia ini. Menjalani hidup dalam pertobatan, berbuat kasih dan pengampunan Allah secara nyata kepada setiap orang. Berpuasa dengan tulus, agar spiritualitas kita makin menjadi jernih sehingga kita makin dapat merasakan dengan penuh empati setiap orang yang sedang menderita dan kelaparan. Seperti dalam bacaan hari ini nabi Yoel berbicara tentang berpuasa dan Matius mengungkapkan sebaiknya kita berpuasa. Kita diajak berpuasa dengan tulus dan perbuatan baik yang kita lakukan, bukan karena agar dilihat orang tetapi motivasi kita selalu karena Tuhan. (FX. Mgn).