BELAJAR SETIA SEPERTI YESUS YANG SETIA MELAKSANAKAN KEHENDAK BAPA
Yes 50:4-7;
Flp 2:6-11;
Mrk 14:1-15:47
Seorang ibu karena keterbatasannya dibujuk agar mau menerima tawaran bantuan, tetapi dengan syarat mau mengingkari iman dan prinsip hidupnya. Ibu itu menghadapi pertentangan batinnya antara ya atau menolak. Namun karena kesetiaan akan imannya dan memegang teguh akan prinsip hidupnya, ia menolak semua tawaran itu.
Dalam bacaan Injil hari ini, Yesus juga menghadapi pertentangan yang luar biasa antara apa yang bersifat ilahi dan apa yang bersifat insani atau manusiawi. Namun dibalik kedua sifat yang ilahi dengan sifat insani dan manusiawi yang bertentangan itu nampak sinar keagungan cinta kasih. Dalam diri Yesus kita temukan keagungan cinta kasih Allah kepada kita orang berdosa. Dari pihak Allah, Yesus adalah Putra Allah, tetapi karena kasih-Nya kepada kita, ”Ia mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia”.
Dari pihak manusia, kita melihat dan merasakan bahwa Ia berbuat baik, tetapi ditangkap dan diadili karena tuduhan palsu. Melalui pengkhianatan Yudas hanya karena uang. Petrus sendiri sebagai pengikut-Nya juga menyangkal-Nya, sebab iman kepercayaannya belum berani mengambil resiko besar. Yesus sanggup dan mampu menghadapi resiko yang besar itu. Dalam Kisah sengsara Yesus kita bisa melihat ”wajah” yang baru, dibandingkan dengan yang biasa dikenal atau diyakini pada waktu itu. Menurut gambaran umum pada waktu itu, Allah adalah Dia yang Mahakuasa ini tetap benar. Namun di sisi lain yang belum dikenal, yaitu Allah yang merendahkan diri dan menjadi sama dengan manusia, mengalami nasib manusia yang paling hina, baru ditemukan dalam Yesus.
Ia harus menghadapi pengadilan yang tidak jujur. Kaum Farisi dan para imam memaksa Pilatus mengambil keputusan yang palsu. Pilatus mengadili Yesus dengan hukuman mati, walaupun tak bersalah, karena ia takut kehilangan jabatannya. Namun Yesus tetap menghadapinya resiko itu karena Ia berpegang akan prinsip dan misi utamanya. Yesus tetap pada prinsip hidup-Nya dan setia akan panggilan hidup-Nya yaitu melaksanakan kehendak Bapa. Ketika Ia ditanya Pilatus tentang siapakah diri-Nya dan benarkah Engkau Raja? Ia tetap mengatakan bahwa diri-Nya adalah Raja. Ia tetap setia akan kehendak Bapa, walau dengan resiko mati di kayu salib. Karena kasihnya pada manusia sampai Ia rela mengorbankan diri-Nya sampai wafat di salib. Demikianlah, kasih mampu mengatasi segalanya. Betapa besar kesalahan dan dosa kita yang mendatangkan hukuman atas Yesus, tetapi kasih-Nya yang ilahi sekaligus manusiawi itu selalu terbuka mengampuni.
Lalu bagaimana sikap kita atas pengorbanan Yesus karena kasihnya pada kita? Kasih Yesus menuntut pula jawaban kasih kita kepada-Nya. Dalam Pekan Suci ini adalah kesempatan berharga untuk melakukan pertobatan, membenahi diri, membarui hidup sekaligus penyerahan diri kepada Allah yang kasih-Nya tak terbatas melalui Yesus Putra-Nya.
Marilah kita juga mau tetap setia akan panggilan kita masing-masih dengan berpegang teguh dan setia akan iman kepada Yesus Kristus. Seperti seorang ibu di atas yang setia akan imannya dan berpegang teguh akan prinsip hidupnya. (FX. Mgn)