Kej
2:18-24;
Ibr
2:9-11;
Mrk
10:2-16 (Mrk10:2-12)
Pengalaman orang tua kita dulu ketika mau menikah ya menikah saja.
Modalnya hanya “niat dan nekad”. Namun hidup perkawinannya selamat dan abadi
sampai usia lanjut. Tidak banyak alasan seperti pasangan orang muda sekarang.
Pasangan pernikahan di zaman modern ini terlalu banyak berhitung dan
pertimbangan tetapi dengan mudahnya mereka bercerai dan kawin lagi. Menurut
perhitungan mereka asal sudah memiliki materi yang cukup, rumah atau apartemen
yang nyaman, pekerjaan yang mapan, dianggap memenuhi syarat untuk mengarungi
biduk pernikahan. Tetapi mereka lupa mempersiapkan mental dan psikis; mereka tidak
siap ketika dalam perjalanan rumah tangganya menghadapi rintangan. Kemudian sifat-sifat negatifnya yang tadinya tidak nampak sekarang muncul.
Mulailah perang kata-kata, ”ternyata dia kasar”, ”dia pemarah bahkan menyakiti
dan maunya berkuasa saja”. Dan yang lain juga mengungkapkan, ”ternyata dia
pemalas”, ”hanya bersolek dan tidak bisa masak”, ternyata ... dst.
Seringkali
yang menjadi persoalan dalam rumah tangga karena perbedaan pendapat dan tekanan
ekonomi, kemudian dengan mudah mereka mengambil jalan pintas bercerai. Mereka
lupa bahwa dalam perkawinan Kristen tidak ada perceraian; karena itu seorang
suami yang menceraikan istrinya, kecuali karena zinah lalu kawin lagi dengan
perempuan lain, lelaki itu berzinah (Mark 10:11). Demikian juga sebaliknya bagi
istri menceraikan suaminya kemudian kawin dengan laki-laki lain, juga dianggap
berbuat zinah (Mark 10:12). Dalam hal ini Yesus menolak dengan tegas dispensasi
yang diberikan Musa mengenai perceraian (Ul 24:1-4). Seperti ajaran-Nya, Yesus
menegaskan bahwa apa yang dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia
(Mark 10:7-9).
Mencermati
hal itu, pentingnya pasangan memahami tujuan perkawinan; yaitu melalui
perkawinan agar manusia dapat menikmati kebahagiaan, memperoleh ketenteraman
dalam hidupnya dan memiliki hidup yang seimbang. Mau saling berbagi dan saling
mamahami kekurangan masing-masing. Semua persoalan hidup, susah atau senang
dihadapi bersama suami dan istri. Berjalan dan maju bersama dalam untung atau
malang. Untuk itu menurut Tuhan tidak baik manusia itu seorang diri saja, maka
Tuhan memberi penolong yang sepadan dengan dia. Bagi pria ataupun wanita
beranggapan kalau masih sendiri itu belum sempurna. Kemudian manusia
mengharapkan pasangan hidup yang sepadan dan sederajat untuk saling melengkapi,
saling menyempurnakan dan saling membahagiakan diri mereka. Kesempurnaan itu
ditemukan dalam perkawinan.
Di
dalam perkawinan itu ada satu segi pandangan yang menyatakan, bahwa seorang
suami maupun seorang istri menuntut cinta yang mutlak dan tak terbagi dari
pasangannya. Cinta itu menyeluruh dan tidak bisa diceraikan sepanjang hidup.
Laki-laki dan perempuan itu menyatu erat dalam perkawinan. Keduanya menjadi
satu daging. Dari situlah sejak awal Tuhan menciptakan pria bagi wanita, dan
wanita bagi pria. Satu tak terpisahkan itulah cita-cita Allah mengenai
perkawinan. Dari perkawinan yang monogam itulah mereka saling menemukan, saling
melengkapi dan bersama-sama membangun diri. Bukan begitu ada masalah lekas
bercerai, tetapi harus berusaha mengampuni dan berbaikan lagi demi keutuhan
rumah tangga. (FX. Mgn)