MG PRAPASKAH V (C)
Hari Minggu, 21 Maret 2010
Yes 43:16-21;
Fil 3:8-14;
Yoh 8:1-11
Dalam diskusi ringan membahas masalah dosa; salah seorang peserta diskusi bertanya kepada yang lain. “Adakah di antara kita ini yang tidak berdosa?’ Semua menjawab: “Wah tidak ada!” Kalau begitu semuanya berdosa. (Rm 3:23) Dari percakapan itu saya jadi sadar bahwa, ”Ketika saya melihat kesalahan orang lain, pada saat yang sama saya sadar bahwa kesalahan saya lebih besar daripada kesalahan mereka.”
Sebenarnya agar manusia tidak jatuh dalam dosa telah banyak sekali dibuat peringatan dan rambu-rambu hidup berupa peraturan, undang-undang dan hukum. Saking banyaknya malah menggoda kita untuk melanggarnya. Ingat saja! Sejak larangan memakan buah dari pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat, oleh Hawa dilanggar. Itu merupakan pelanggaran pertama yang dilakukan oleh manusia. Kemudian Allah menurunkan Sepuluh Perintah Allah; Jangan membunuh, jangan berzinah, jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi dusta, jangan mengingini … dst. Itu pun dilanggar juga. Seolah-olah ada kesan peraturan diciptakan untuk dilanggar.
“Masih ingatkah kita bunyi Sepuluh Perintah Allah?” Bisa jadi karena kita memang malah sudah lupa bunyi “Sepuluh Perintah Allah.” Apa lagi mentaati. Maksudnya diturunkan Sepuluh Perintah Allah bagi kita, yang penting bukan menghafal bunyi Sepuluh Perintah Allah itu, tetapi diharapkan mentaati perintah itu agar kita tidak berbuat salah. Tetapi kita lebih melihat kesalahan orang lain daripada kesalahan sendiri. Atau malah mencari-cari kesalahan orang lain?
Seperti dalam Injil tadi menyebutkan, para ahli Taurat dan orang-orang Farisi membawa kepada Yesus, seorang perempuan yang kedapatan berbuat zinah. Menurut hukum Taurat perempuan itu harus dirajam dengan dilempari batu sampai mati. Mereka minta pendapat Yesus, apa yang harus dilakukan. Ini ditanyakan sekedar untuk mencobai Yesus. Dalam hatinya mereka berpikir bahwa Yesus itu kan orang baik hatinya dan taat beragama. Apakah Yesus akan merajam wanita itu sesuai dengan hukum Taurat atau membebaskan wanita itu? Kalau Yesus memerintahkan supaya dirajam saja sesuai dengan hukum Taurat, maka Yesus bisa dianggap seorang pembunuh, kejam dan bengis, munafik serta tidak sesuai dengan kata-katanya yang manis dan lembut. Atau sebaliknya bila Yesus mengatakan jangan dirajam, kasihan biarkan dia pulang, maka Yesus dianggap guru palsu dan tidak menurut hukum Taurat , Ia dianggap melanggar aturan.
Yesus tidak menghukum wanita itu sesuai dengan hukum Taurat atau kasihan tetapi Ia membebaskan wanita itu berdasarkan suara hati-Nya. Kepada mereka, Ia memberi jawaban yang diplomatis bahwa di antara kalian yang tidak berdosa agar melempari wanita itu dengan batu. Rupanya mereka menyadari bahwa tak satu pun di antara mereka yang tidak berdosa, maka satu per satu meninggalkan wanita itu. Kepada wanita itu, Ia mengajaknya berbuat baik dan berkata: ”Pulanglah dan mulai sekarang jangan berbuat dosa lagi”
Pertanyaan bagi kita?
Kita sebagai pengikutnya sebenarnya tidak jauh berbeda dengan orang-orang Farisi dan ahli Taurat; tidak melihat kesalahan sendiri tetapi mencari-cari kesalahan orang lain. Kita semua pendosa, berbuat seperti perempuan itu menjual diri dan nilai-nilai hidup kita, untuk mendapatkan harta kekayaan yang melimpah dengan cepat. Untuk memperoleh tujuan politik dengan mengorbankan orang lain. Untuk mendapatkan pangkat dan jabatan tertentu dengan melanggar nilai-nilai kehidupan dan menghalalkan segala cara yang bertentangan dengan hati nurani kita dengan sengaja. Semua itu tidak sesuai dengan harapan Tuhan.
Namun harus diingat bahwa Yesus tidak tinggal diam dan membiarkan kita jauh dari pada-Nya. Karena Ia sebagai penyelamat kita, akan menerima kita kembali sebagai anak hilang sepanjang kita mau bertobat dan berbalik kembali kepada-Nya. Tuhan mau menerima kita kembali dan tidak mengingat-ingat masa lalu kita, asal kita mau memperbaiki hidup dengan rendah hati. Tidak mengingat-ingat kesalahan orang lain tetapi melihat kekurangan diri sendiri. Itulah kecintaan Tuhan kepada manusia.
Ia mencintai kita yang tidak jauh berbeda dengan orang-orang Farisi dan perempuan yang kedapatan berzinah tadi. Sekalipun kita berdosa, Tuhan tidak menghukum kita sebagaimana Yesus tidak menghukum perempuan itu. Dia sabar memberi kesempatan kepada kita, ‘pulanglah dan mulai sekarang jangan berbuat dosa lagi’. Sebab Yesus datang untuk menolong dan mengangkat kita, Ia datang untuk menyembuhkan dan menerangi kegelapan hati kita.
Lalu bagaimana dengan kita?
Apakah kita merasa tidak punya dosa? Kalau kita berdosa, maukah mengakui kedosaan kita dan mohon ampun kepada-Nya? Sadarkah kita bila ternyata kalau melanggar Perintah Allah itu menolak cinta kasih? Yang dampaknya merugikan sesama?
Berrefleksi atas kisah pengampunan terhadap perempuan berzinah tadi, marilah dalam masa Prapaskah ini kita mawas diri dan berusaha untuk hidup baik. Melihat diri dan membina diri. Menyadari segala kekurangan kita sebagai daging yang lemah dan sering jatuh ke dalam dosa. Kita serahkan sepenuhnya segala dosa kita kepada Tuhan dan mohon ampun kepada-Nya, dengan menghadap imam di kamar pengakuan. Ia akan mengampuni kita sesuai dengan kewenangan dan jabatannya dalam Sakramen Tobat. (FX. Mgn)