(Minggu, 27 Desember 2009)
1 Sam 1:20-22. 24-28;
1 Yoh 3:1-2. 21-24;
Luk 2:41-52
Hari ini kita merayakan pesta Keluarga Kudus Nazaret, Yesus, Maria dan Yusuf. Yusuf dan Maria adalah contoh yang sempurna sebagai keluarga dalam pasangan suami istri yang disukai Allah. Persembahan hidup mereka sempurna karena mereka mempunyai relasi yang erat satu sama lain dan kedekatan yang akrab dengan Allah. Terutama karena Yesus menjadi tempat bagi mereka membaktikan diri.
Kita pun dapat melakukan hal yang sama, jika kita menempatkan cinta kasih Allah sebagai dasar hubungan cinta kasih kita kepada keluarga. Spiritualitas kehidupan keluarga tampak lewat kasih yang senantiasa diberikan kepada sesama. Dalam keluarga kecil yang hidup dalam rumah sederhana pun sesungguhnya bisa melakukan hal-hal besar. Keluarga adalah tempat persemaian cinta kasih Allah. Di sanalah, seharusnya taburan benih cinta mendapat ruang pertumbuhan paling nyaman di dunia. Namun, mudahkah menyemai, menumbuhkan dan merawat cinta manusiawi melalui persekutuan cinta dalam sebuah keluarga?
Seringkali yang kita jumpai banyak keluarga tidak harmonis. Mencuatnya fakta kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) melalui media massa diiringi berita seputar perceraian para selebriti, tentu cuikup memberi gambaran untuk menjawab pertanyaan di atas. Belum lagi, banyak keluarga yang merasa gagal karena anak mereka tidak mandiri. Orang tua sering mengeluh kenapa anak saya tidak pernah bangun sendiri, kalau tidak dibangunkan orang tua? Anak saya belum bisa mengurus keperluannya sendiri, mencuci atau menyeterika pakaiannya? Semuanya masih dilakukan oleh orang tuanya. Alasannya, kasihan kalau terlambat bangun dan tidak sekolah. Terlambat kerja atau malah tidak kerja, bisa dipecat. Orang tua selalu tidak tega.
Tetapi kalau para orang tua mau jujur, kesalahan justru ada pada orang tua sendiri, karena anak terlalu dimanja. Memang, hidup dalam dunia yang sudah maju ini dan karena perbaikan ekonomi, membuat anak-anak dimanjakan oleh materi. Ada perasaan khawatir bila anaknya sampai gagal. Penyebab kegagalan justru dari orang tua karena berlebihan kekhawatirannya.
Lalu apa solusinya?
Orang tua harus mau memberi kesempatan anak-anaknya untuk belajar mandiri. Mulai belajar melakukan hal-hal yang kecil. Mungkin awalnya ada kesalahan dan tidak sempurna, tetapi bukan harus dilarang melakukan sesuatu. Bila kita mau belajar dari Keluarga Kudus Nazaret, Yesus pun pernah membuat khawatir orang tuanya ketika Ia tertinggal di Yerusalem selama tiga hari. Namun Maria dan Yusuf sabar mencari Yesus Putranya yang masih berada di Bait Allah, dan masih bersoal jawab dengan para guru agama. Lalu Maria mengajak pulang Putranya dan mendidiknya sampai dewasa. Meski begitu, Maria menyimpan semua hal itu di dalam hatinya. Maria membawa persoalan hidupnya ke dalam ruangan doa hening. Dalam ruangan doa hening itu, Maria selalu berdoa bagi kerja suami tercinta dan bagi karya agung Sang Putra terkasih. Melalui kehidupan doa batin, Maria terus memandang dan menyaring rahmat Allah yang menghinggapi orang-orang yang dikasihinya.
Sementara itu, Yusuf sang ayah dengan pekerjaannya sebagai tukang kayu, ingin menunjukkan hidup kontemplasi dalam tindakan. Dalam kerja, ia tidak banyak bicara. Dalam karya, Yusuf mampu memandang dan menyaring rahmat Allah yang bersembunyi di balik perhatian dan cinta istri serta Putera terkasihnya. Bagaimana kanak-kanak Yesus turut serta memakai peralatan tukangnya, turut berkreasi bersamanya, tentu menjelmakan senyum bangga pada Putera Allah yang dipercayakan berada dalam pengasuhannya.
Dalam keluarga yang dipenuhi daya hidup kontemplatif itu, tidak mengherankan bila akhirnya Yesus pun menangkap perutusannya menjadi seorang kontemplatif, baik dalam cinta maupun dalam karya-Nya. Ia dihidupi oleh cinta ibu dan bapa manusiawi-Nya. Hati-Nya bertemu dengan cinta manusiawi yang hidup di tengah-tengah keluarga sederhana Nazaret. Semakin mengertilah Ia, betapa hidup mencinta merupakan panggilan hidup-Nya, sekalipun hidup mencintai harus berani menderita.
Menghayati spiritualitas cinta Ilahi dalam Keluarga Kudus Nazaret, spiritualitas hidup yang tumbuh dan berkembang adalah kasih. Kasih Allah hadir dalam diri Yesus. Keluarga Kudus Nazaret mendapat kesempatan istimewa untuk bergaul dalam relasi manusiawi dengan Sang Kasih Ilahi. Begitu pula sebaliknya, Sang Kasih Ilahi mengalami perjumpaan dan relasi manusiawi melalui dekapan keibuan Maria, dan perhatian seorang bapa, Yusuf. Bagi keluarga-keluarga masa kini, tentu teladan Keluarga Kudus yang tetap erat dalam persekutuan dengan Kristus akan memberikan topangan istimewa. Sekalipun tantangan hidup keluarga masa kini tidak bisa dikatakan ringan. Dengan memandang teladan Keluarga Kudus dalam iman dan kasih akan memberikan kekuatan di tengah penderitaan dunia ini. (FX. Mgn)