Yen ana enake ben dirasakake dhewe, yen ana rekasane ya ben disangga dhewe. (Karijaredja).
Maksudnya: Kalau ada enaknya biar dirasakan sendiri, kalau ada sengsaranya ya biar ditanggung sendiri.
Pesan ini disampaikan oleh kakek Karijaredja kepada saya cucunya agar jangan ikut-ikutan orang lain melakukan sesuatu yang tidak baik. Biar saja orang lain melakukan sesuatu dan juga menikmati sesuatu apa yang mereka lakukan. Kamu tidak harus tertarik atau ada keinginan melakukan yang sama apa yang terjadi dalam lingkungan hidup kamu. Karena apa? Bila kamu ikut-ikutan berbuat sesuatu yang kurang baik kamu akan menerima konsekuensi dari pelanggaran itu. Entah dipermalukan orang lain atau pun menerima hukuman yang setimpal sesuai dengan pelanggaran itu.
Saya kira pesan ini juga berlaku pada siapa pun bahwa dalam kehidupan kita sehari-hari sering kali menghadapi tawaran-tawaran yang menggiurkan yang mengantarkan kita akan perbuatan yang melanggar hukum. Pelanggaran itu bisa datang karena memang ada kesempatan, atau datang karena ditawari, bahkan mungkin diajak atau pun dicobai. Atau mungkin malah mencari-cari peluang untuk melakukan sesuatu pelanggaran untuk memperkaya diri, agar bisa menikmati segala sesuatu dengan mudah tanpa melalui perjuangan dan kerja keras. Setelah ketahuan dan harus menghadapi proses hukum baru sadar bahwa apa pun yang dilkukan tadi tanpa memperhitungkan untung ruginya. Yang dilihat hanya untungnya saja dan tidak sadar bahwa bukan untung yang diperoleh tetapi malah mengalami kerugian yang besar. Namanya jatuh, malu sama tetangga, teman-temannya, dan komunitasnya. Lebih malu lagi terhadap keluarga, terutama anak-anak.
Namun jaman sudah berubah. Sekarang orang bila ketahuan melanggar hukum kemudian
menjadi berita publik dan konsumsi media cetak atau elektronik, malah bangga dan tidak malu atau menyesal apa lagi mengakui kesalahannya. Yang terjadi malah menolak segala tuduhan dengan berbagai cara dan menyewa pengacara agar bebas dari tuntutan hukum.
Berikut kisah nyata di desa saya ketika saya masih kecil. Ada seorang desa mempunyai tiga orang anak masih kecil-kecil. Kala itu musim peceklik karena kemarau panjang dan tidak ada makanan apa pun. Karena terdorong rasa lapar dan tidak ada yang dimakan kemudian bapak itu tergerak hatinya mencuri jagung tetangga. Pohon jagung yang daunnya melambai-lambai karena ditiup angin membuat si bapak tadi seolah-olah "diawe-awe" atau diminta agar segera memetik jagung itu. Si bapak tergoda oleh lambaian daun dari pohon jagung tadi. Dipetiklah jagung itu kreek… Tiba-tiba si pemilik ladang lewat sambil dhehem, heeeem…. Maka si pencuri tadi gagal mengambil jagung tadi. Singkat cerita bukan jagung yang didapat tetapi malu yang tak terhapuskan.
Ada semacam adat di desa saya bila orang yang pernah mencuri ayam, atau pisang tetangga, biasanya orang itu sudah dianggap maling yaitu perbuatan yang memalukan dan aib. Orang yang dianggap maling tadi sudah tidak mempunyai muka lagi. Malunya setengah mati. Orang yang pernah tertangkap basah atau ketahuan mencuri biasanya tidak betah lagi tinggal di desa itu kemudian kabur ke desa lain yang jauh untuk memulai hidup baru.
Sebenarnya semua orang sudah dikaruniai oleh Tuhan suara hati dan naluri. Naluri adalah semacam dorongan melakukan keinginan daging misalnya timbul perasaan haus atau lapar, tetapi karena kita juga mempunyai suara hati, ketika haus atau lapar tidak serta merta harus minum atau makan. Suara hati kita mengingatkan boleh atau tidak saya minum atau makan itu. Kalau kita mau mendengarkan suara hati kita sudah diingatkan untuk melakukan hal itu atau tidak.
Seperti pesan kakek tadi janganlah kita hanya ikut-ikutan karena dorongan naluri: ingin segera memiliki sesuatu, ingin cepat kaya, tetapi tidak mendengarkan bisikan suara hati yaitu: milikilah sesuatu dengan cara yang halal, sabar, berusaha keras dan berani menghadapi tantangan agar tidak "jatuh". (FX. Mgn)
Senin, 29 Juni 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar