MINGGU BIASA XXIV (A)
Minggu, 11 September 2011
Sir 27:30-28:9;
Rm 14:7-9;
Mat 18:21-35
Pada saat hari pertama setelah Lebaran, saudara-saudari kita umat Muslim mulai masuk kerja. Mereka mulai bersalaman di antara rekan kerja dan saling memaafkan satu sama lain semua salah dan khilaf yang selama ini dilakukan. Dunia terasa damai sejahtera walau hanya sesaat, karena setelah ini akan kembali lagi pada kehidupan seperti biasa. Memaafkan dan minta maaf hanya sekedar formalitas, sekedar pemanis bibir atau tidak lahir batin karena hanya terbawa lingkungan dan situasi sesaat.
Apa lagi yang mempunyai latar belakang perseteruan panjang, tidak mudah untuk berdamai dalam tempo sehari hanya pada saat Lebaran. Dengan enteng mengatakan: “Tiada maaf bagimu.” Kedengarannya kok sadis banget! Kasus begini biasanya karena dilatarbelakangi oleh dendam kesumat. Pintu maaf sudah tertutup, yang tertinggal hanya kejengkelan dan kemarahan. Komunikasi seolah sudah putus. Ternyata tidak mudah orang untuk minta maaf atau memaafkan orang lain.
Ini bisa terjadi dalam keluarga, bahkan malah pada keluarga Katolik yang mestinya menjadi garam dan terang masyarakat sekitar, tetapi malah menjadi batu sandungan. Lebih luas lagi ini juga terjadi dalam komunitas atau antar kelompok, di mana mereka saling serang. Seolah tidak mempunyai hati lagi. Yang ada adalah saling mendendam dan membenci, dan tidak ada niat memaafkan satu sama lainnya. Momen yang bagus untuk memperbaiki relasi sesama tidak dipergunakan dengan baik.
Melihat hal ini akan memunculkan pikiran dan pertanyaan seorang beriman, sejauh mana dan berapa lama harus bertahan pada situasi yang tidak menguntungkan ini. Pertanyaannya akan sama dengan yang dihadapi Petrus dalam Injil hari ini. “Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?” Pertanyaan Petrus ini menunjukkan kekesalan dan kekecewaan hatinya, karena menghadapi kasus di mana ada saudara yang membandel walau sudah diingatkan beberapa kali. Lalu apakah harus memaafkan tujuh kali? Tetapi jawaban Yesus sangat mengejutkan, “Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali" Tanggapan Yesus atas pertanyaan Petrus tentang pengampunan tersebut berarti suatu ajakan atau perintah agar kita sebagai pengikut Yesus senantiasa mengampuni tanpa kenal batas tempat dan waktu, di manapun dan kapanpun.
Sebetulnya orang yang mau mengampuni, hidupnya akan terasa nikmat dan memuaskan serta membuat kebahagiaan sejati daripada membenci atau mendendam. Memang untuk sesaat membenci atau balas dendam lebih memuaskan daripada mengampuni, tetapi dampak selanjutnya akan merasa menderita berkepanjangan. Kalau orang suka mengampuni akan banyak teman daripada yang suka mendendam atau membenci. Orang yang suka membenci dan mendendam, yang pasti akan dijauhi teman. Bukan sahabat yang diperoleh tetapi semakin banyak musuh. Bukankah banyak sahabat akan lebih menguntungkan daripada banyak musuh? Jika ada kesulitan atau masalah dengan mudah juga kita memperoleh bantuan dan dukungan ketika memiliki banyak sahabat daripada banyak musuh. Sementara itu jika kita memiliki musuh hidup kita akan merasa terancam dan tidak tenang. Hidup mengampuni memang berarti hidup bagi yang lain, atau memberi “hidup” bagi yang lain dan tentu saja juga hidup bagi Tuhan Mahapengampun.
Maka marilah kita renungkan dan hayati ajakan Rasul Paulus "baik hidup atau mati kita adalah milik Tuhan". Karena kita ini milik Tuhan, maka dalam keadaan susah atau senang, sengsara atau bahagia, sakit atau sehat, berkedudukan atau menjadi rakyat biasa, untuk menjauhi sifat mendendam atau membenci dengan saling mengampuni dan mengasihi. (FX. Mgn)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar