MG BIASA IV/C
Yer 1:4-5.17-19;
1 Kor 12:31 - 13:13;
Luk 4:21-30
Dalam kehidupan sehari-hari, kita cenderung menunjukkan sifat kelekatan yaitu keterikatan sesuatu, atau sifat yang sulit dipisahkan dari keasyikan kita. Ketika kita kehilangan sesuatu atau seseorang yang paling kita banggakan tentu serasa kehilangan bagian dari diri kita sendiri. Sebenarnya wajar kalau kita mempertahankan sesuatu yang paling berharga; misalnya mempertahankan harta milik, pangkat, kedudukan, kehormatan, atau seseorang yang kita cintai atau kita banggakan. Namun kalau kita sudah membuat kelekatan pribadi tanpa mau melihat hal-hal lain kemudian akan menimbulkan persoalan hidup kita.
Hal yang sama terjadi ketika Yesus mengajar di rumah ibadat di kota asalnya. Yesus, yang mereka ketahui adalah anak Yusuf, dipandang dengan penuh kekaguman oleh para tetangganya, ketika Dia menyampaikan pengajaran yang amat memikat. Kemudian mereka ingin memiliki Yesus bagi mereka sendiri. Namun Yesus mengatakan bahwa Dia datang juga bagi bangsa-bangsa lain. Serentak semua orang yang menjadi pendengar Dia waktu itu sangat marah. Aneh bagi mereka bahwa Yesus yang dilahirkan dari kalangan mereka ternyata berkarya juga bagi bangsa lain. Rasa ingin memiliki Yesus secara eksklusif membuat mereka tidak peka lagi akan kebutuhan orang atau bangsa lain. Bagi mereka, Yesus bisa mereka banggakan sebagai penambah gengsi atau sebagai kebanggaan kotanya atau bangsanya. Perasan mereka pada misi Yesus yang ditujukan untuk semua bangsa membuat mereka betindak di luar kontrol. Mereka menghalau Yesus ke luar kota untuk dilempar ke dalam jurang. Aneh memang. Sikap mereka seperti orang yang marah karena kasihnya tak terbalas. Padahal, yang mereka lakukan bukanlah sikap kasih.
Sikap mereka bertentangan dengan ajaran Rasul Paulus. Rasul Paulus mengajarkan bahwa kasih itu tidak cemburu, tidak demi kepentingan sendiri, tidak pemarah dll. Karena sekalipun kita mempunyai bahasa roh, bakat, kurnia, pengetahuan bahkan iman yang sangat besar, sehingga bisa memindahkan gunung, bila tanpa cinta kasih, maka tidak ada gunanya.
Mereka memperlakukan Yesus sebagai alat untuk menaikkan gengsi atau harga diri. Ketika alat itu tidak mau diajak kompromi, lebih baik dilempar saja. Yesus dengan tegas mengajarkan bahwa kasih pada hakekatnya menyelamatkan, dan keselamatan hendaknya ditawarkan kepada siapa saja yang membutuhkannya tanpa pilih kasih. Dan Ia tetap berjalan lewat meneruskan penjalanannya sesuai dengan rencana Allah dan meneruskan karyanya. (Luk 4:30)
Dalam Injil tadi Yesus mengajar kita, untuk tidak membuat kelekatan dan tidak iri jika keselamatan juga ditawarkan kepada bangsa lain, orang lain, bahkan orang-orang yang mungkin tidak dari golongan kita. Jika kita mengakui dengan iman bahwa Yesus adalah penyelamat dunia, kita hendaknya sadar bahwa dunia itu jauh lebih luas daripada kelompok kita, Gereja kita, atau bangsa kita. (FX. Mgn)
Jumat, 10 Juli 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar