SELAMAT DATANG DAN SELAMAT BERJUMPA

Senin, 28 September 2009

APA YANG TELAH DIPERSATUKAN ALLAH, JANGANLAH DIPISAHKAN MANUSIA.

MG BIASA XXVII/B
Kej 2:18-24; Ibr 2:9-11;
Mrk 10:2-16

Pengalaman orang tua kita dulu ketika mau menikah ya menikah saja. Modalnya hanya “niat dan nekad”. Namun hidup perkawinannya selamat dan abadi sampai usia lanjut. Tidak banyak alasan seperti pasangan orang muda sekarang.

Pasangan pernikahan di zaman modern ini terlalu banyak berhitung dan pertimbangan tetapi dengan mudahnya mereka bercerai dan kawin lagi. Menurut perhitungan mereka asal sudah memiliki materi yang cukup, rumah atau apartemen yang nyaman, pekerjaan yang mapan, dianggap memenuhi syarat untuk mengarungi biduk pernikahan. Tetapi mereka lupa mempersiapkan mental dan psikis; mereka tidak siap ketika dalam perjalanan rumah tangganya menghadapi rintangan. Kemudian sifat-sifat negatifnya yang tadinya tidak nampak sekarang muncul. Mulailah perang kata-kata, ”ternyata dia kasar”, ”dia pemarah bahkan menyakiti dan maunya berkuasa saja”. Dan yang lain juga mengungkapkan, ”ternyata dia pemalas”, ”hanya bersolek dan tidak bisa masak”, ternyata ... dst.

Seringkali yang menjadi persoalan dalam rumah tangga karena perbedaan pendapat dan tekanan ekonomi, kemudian dengan mudah mereka mengambil jalan pintas bercerai. Mereka lupa bahwa dalam perkawinan Kristen tidak ada perceraian; karena itu seorang suami yang menceraikan istrinya, kecuali karena zinah lalu kawin lagi dengan perempuan lain, lelaki itu berzinah (Mark 10:11). Demikian juga sebaliknya bagi istri menceraikan suaminya kemudian kawin dengan laki-laki lain, juga dianggap berbuat zinah (Mark 10:12). Dalam hal ini Yesus menolak dengan tegas dispensasi yang diberikan Musa mengenai perceraian (Ul 24:1-4). Seperti ajaran-Nya, Yesus menegaskan bahwa apa yang dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia (Mark 10:7-9).

Mencermati hal itu, pentingnya pasangan memahami tujuan perkawinan; yaitu melalui perkawinan agar manusia dapat menikmati kebahagiaan, memperoleh ketenteraman dalam hidupnya dan memiliki hidup yang seimbang. Mau saling berbagi dan saling mamahami kekurangan masing-masing. Semua persoalan hidup, susah atau senang dihadapi bersama suami dan istri. Berjalan dan maju bersama dalam untung atau malang. Untuk itu menurut Tuhan tidak baik manusia itu seorang diri saja, maka Tuhan memberi penolong yang sepadan dengan dia. Bagi pria ataupun wanita beranggapan kalau masih sendiri itu belum sempurna. Kemudian manusia mengharapkan pasangan hidup yang sepadan dan sederajat untuk saling melengkapi, saling menyempurnakan dan saling membahagiakan diri mereka. Kesempurnaan itu ditemukan dalam perkawinan.

Di dalam perkawinan itu ada satu segi pandangan yang menyatakan, bahwa seorang suami maupun seorang istri menuntut cinta yang mutlak dan tak terbagi dari pasangannya. Cinta itu menyeluruh dan tidak bisa diceraikan sepanjang hidup. Laki-laki dan perempuan itu menyatu erat dalam perkawinan. Keduanya menjadi satu daging.
Dari situlah sejak awal Tuhan menciptakan pria bagi wanita, dan wanita bagi pria. Satu tak terpisahkan itulah cita-cita Allah mengenai perkawinan. Dari perkawinan yang monogam itulah mereka saling menemukan, saling melengkapi dan bersama-sama membangun diri. Bukan begitu ada masalah lekas bercerai, tetapi harus berusaha mengampuni dan berbaikan lagi demi keutuhan rumah tangga. (FX. Mgn)

Senin, 21 September 2009

RAHMAT DAN KESELAMATAN BERLAKU BAGI SIAPA PUN YANG BERKENAN KEPADA TUHAN

MG BIASA XXVI/B
Bil 11:25-29; Yak 5:1-6;
Mrk 9:38-43.45.47-48

”Tidak seorang pun yang telah mengadakan mukzijat demi nama-Ku, dapat seketika juga mengumpat Aku. Barang siapa tidak melawan kita, ia ada di pihak kita”. Demikian Yesus menegor para murid-murid-Nya, yang tidak senang karena ada orang di luar kelompok mereka berbuat kebaikan.
Yesus sebagai pencetus cinta kasih dan tokoh kebaikan berharap semua juga melakukan, meskipun bukan pengikut-Nya. Ia mengatakan, bahwa ada juga kebaikan di luar kelompok-Nya.

Sementara ini, pandangan dan penilaian kita suka keliru. Sering kali kita menganggap yang bisa melakukan kebaikan adalah kelompok kita sendiri. Orang lain seolah-olah tidak bisa melakukannya. Malahan yang terjadi mereka kadang-kadang kebaikannya jauh dari yang kita duga.

Mencermati hal itu usaha-usaha kita untuk semakin mendalami warta Injil dan meyakini kehendak Tuhan dalam menyelamatkan kita, perlu kita bina dan wujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Mewujudkan kebaikan Tuhan dan kehendak-Nya untuk bekerja sama dengan siapa saja, membuka diri dan bersaudara dengan siapa pun juga untuk kebaikan. Berjuang demi kebaikan manusia dan dunia kita hidup tidak harus menolak kelompok lain.
Dengan melihat orang lain berbuat baik, ide atau gagasan itu pasti datangnya dari Pribadi yang kita ikuti. Jika orang lain yang bukan pengikut Yesus bisa berbuat baik, bukankan ini merupakan peringatan atas kealpaan kita. Mestinya harus bisa melakukan kehendak-Nya dengan berbuat lebih banyak dan lebih nyata sesuai dengan iman kita. Di mana banyak orang mengalami kesulitan untuk bisa memenuhi kebutuhan hidupnya, di situlah kita dituntut membuktikan iman kita dengan lebih peduli kepada sesama hidup. Tidak harus iri atau mengecam mereka yang lebih dahulu tanggap dan berbuat baik.

Dalam hal ini Yesus menegor dengan keras bila kita malah menjadi halangan bagi orang lain untuk berbuat baik. Yesus menghendaki supaya para pengikut-Nya rela menghindarkan diri dari kejahatan agar lebih layak menerima anugerah keselamatan dalam Kerajaan Allah. Karena rahmat dan keselamatan berlaku bagi siapa pun juga yang berkenan kepada Tuhan.

Marilah kita terbuka pada kebaikan orang lain. Justru kebaikan mereka menjadi pendorong bagi kita untuk semakin berbuat baik. Semoga rahmat Tuhan selalu beserta kita. (FX. Mgn)

Senin, 14 September 2009

IA MENJADI PELAYAN KESELAMATAN UMAT MANUSIA.

MG BIASA XXV/B
Keb 2:12. 17-20; Yak 3:16 – 4:3;
Mrk 9:30-37

Dengan terus terang Yesus menyatakan bahwa diri-Nya akan mengalami penderitaan dan mati di kayu salib. Yesus mengatakan lebih tegas lagi bahwa Ia akan dibunuh oleh tangan manusia dan tiga hari sesudahnya akan bangkit.
Kali ini, Yesus ingin mempersiapkan iman dan mental para murid untuk menghadapi goncangan jika apa yang dinubuatkan-Nya itu terjadi. Ia juga memberi gambaran yang tepat kepada para murid-Nya bagaimana seharusnya yang mereka lakukan dalam Kerajaan-Nya.

Pernyataan itu malah membingungkan dan membuat khawatir para murid. Mereka segan menanyakan hal itu karena masih trauma sejak Yesus memarahi Petrus yang tidak memikirkan kehendak Allah tetapi hanya memikirkan kehendak manusia. (Mrk 8:33). Dalam pemikirannya para murid masih mempersoalkan siapa yang terbesar di antara mereka. Rupanya waktu itu persoalan status, gengsi dan ambisi melanda para murid-Nya. Mereka masih mengharapkan suatu kerajaan dunia dan politis. Namun Yesus menyatakan bahwa dalam Kerajaan-Nya kelak orang yang terdahulu harus menjadi yang terakhir dan menjadi pelayan semua orang.

Bagaimana dengan kita?
Dalam pemikiran kita pun sulit menangkap pernyataan Yesus itu bila menerimanya secara harafiah. Kita bisa menangkap pesan itu bila menerimanya secara iman. Harapan Yesus bagi pengikut-Nya agar menjadi pelayan di antara semua, maksudnya kita harus saling melayani. Pelayan, bukan berarti status atau posisi sebagai pesuruh atau bawahan tetapi peran kita dalam melayani sesama. Yang menjadi masalah sekarang ini, gengsi dan ambisi juga menjadi masalah bagi kita. Seringkali kita memandang rendah suatu pekerjaan dan memandang rendah orang lain karena kedudukannya. Inginnya memimpin dan memerintah. Kalau kita datang ke rumah orang tertentu seolah-olah menjadi turun derajat kita. Bila kita mengerjakan pekerjaan pembantu membuat rendah diri kita.

Dalam hal ini kita lupa bahwa Yesus sendiri sudah memberi contoh kepada kita; Ia mau melepaskan satus dan keilahian-Nya. Ia menjadikan diri-Nya pelayan keselamatan umat manusia. Yesus telah memberi pengajaran kepada kita begitu pentingnya kesetiaan dan kerendahan hati dalam pelayanan. Sebagai Sang Putra Ia setia pada Bapa-Nya dan taat melaksanakan kehendak-Nya. Seperti yang dilakukan Yesus dalam sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya.

Marilah kita berjalan bersama dalam Tuhan saling melayani bukan minta dilayani, dan tidak iri atau mementingkan diri sendiri agar kita memperoleh buah-buah yang baik yaitu kebenaran dalam damai. (Yak 3:16-17). (FX. Mgn)

Selasa, 08 September 2009

ENGKAULAH KRISTUS, ... PUTRA MANUSIA HARUS MENDERITA BANYAK.

MG BIASA XXIV/B
Yes 50:5-9a; Yak 2:14-18;
Mrk 8:27-35

Ketika Yesus bertanya kepada para murid, “Siapakah Aku ini menurut orang-orang banyak?” Petrus mewakili kawan-kawannya menjawab, Engkaulah Mesias!” Selama ini yang mereka lihat Yesus banyak membuat mujizat; menggandakan roti dan menyembuhkan orang sakit; Yang tuli dijadikan-Nya mendengar, yang bisu dijadikan-Nya berbicara. Di mata Petrus, Yesus adalah sosok pemimpin yang luar biasa. Menurut mereka, Dialah raja dan pemimpin Israel yang paling ditunggu-tunggu kedatangannya. Dengan mengikuti Yesus akan memperoleh masa depan yang enak dan menyenangkan. Begitulah yang terbayang dalam pikiran Petrus dan kawan-kawannya.

Kemudian Yesus mulai mengajar, bahwa Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan, hidup-Nya akan berakhir pada penderitaan, ditolak oleh bangsa-Nya sendiri dan dibunuh lalu bangkit sesudah tiga hari. Mendengar pernyataan Yesus itu, para murid pada kaget. “Kok berbeda dengan ajaran-Nya selama ini.” Biasanya Yesus berbicara dalam perumpamaan-perumpamaan, tetapi kenapa kali ini Yesus mengungkapkan secara terang-terangan tentang akhir hidup-Nya yang tragis. Petrus tidak menerima masa depan yang suram macam itu, lalu Petrus menarik Yesus ke samping dan menegor-Nya, “Kami mengikuti Engkau agar memperoleh kemuliaan dan kebahagiaan, bukan kesengsaraan!”
Melihat protes Petrus itu, Yesus marah dan berkata: “Enyahlah Iblis!” Tegoran keras Yesus tidak hanya ditujukan kepada Petrus semata tetapi kepada para murid, bahkan kepada semua orang yang ingin mengikut-Nya. Reaksi tegas Yesus menunjukkan betapa seriusnya perbedaan pendapat-Nya dengan Petrus. Mereka sama sekali tidak mengerti kehendak Allah. Hanya Yesus yang mengerti dan paham, bahwa Ia taat pada Bapa-Nya dan mau menderita disalib demi banyak orang.

Pertanyaan Yesus kepada para murid tadi juga ditujukan kepada kita sebagai pengikur-Nya. Apakah kita hanya mau enaknya saja tetapi tidak mau susahnya? Pesan Yesus, “Bila mau mengikuti Aku, harus menyangkal diri dan memanggul salibnya.”
Itu bukan berarti sepanjang hidup kita harus menderita terus dan susah terus, tetapi kita harus sadar bahwa hidup di dunia ini sungguh tidak mudah. Diperlukan kesabaran dan ketabahan dalam menghadapi keruwetan dan permasalahan hidup ini.
Harus diakui memang, sekarang mencari sesuap nasi demi keluarga makin susah. Apa-apa mahal, lapangan kerja terbatas. Mau jadi pengamen atau pengasong dikejar-kejar “trantib”. Bahkan jadi pengemis pun sekarang ditangkap. Namun, kita sebagai pengikut-Nya ketika menghadapi penderitaan tidak harus tergoda untuk menyalahgunakan kekuasaan, korupsi misalnya. Di kehidupan masyarakat pun harus siap dikucilkan demi iman; dibenci banyak orang karena tidak sama dengan keyakinan mereka.
Itulah tantangan bagi kita dalam mengikuti Yesus yang menderita. Menghindar dari penderitaan berarti menolak rencana Allah atau hanya mengikuti kehendak Iblis. Dari situlah kita mau menerima Juruselamat yang menderita. Bila seseorang tidak mau menerima Juruselamat yang menderita, sama halnya menolak kehendak Allah, karena hanya Allah yang berhak dan menentukan satu-satunya jalan untuk mengatasi dosa dan kedurhakaan manusia dengan melalui pengorbanan diri Yesus di salib. Dengan salib-Nya, Yesus menjadi teladan kesabaran, kerendahan hati, keberanian, ketulusan dan kasih yang total. Kita yakin bahwa selama di dunia memanggul salib Kristus, tetapi kelak di sorga akan memperoleh kebahagiaan sejati. (FX. Mgn)

Sabtu, 05 September 2009

EFATA!, ARTINYA: TERBUKALAH!


MG BIASA XXIII/B
Yes 35:4-7a; Yak 2:1-5; Mrk 7:31-37

Bicara sedikit keras dikira memarahi, bicara pelan tidak dengar dan dikira "ngrasani". Begitulah susahnya kalau kita bicara dengan orang kurang pendengarannya. Bagi yang kurang pendengarannya susah, yang mengajak bicara ya susah. Orang yang terganggu pendengarannya sangat sulit untuk mendengarkan suara. Bahkan kalau gangguan pendengarannya sejak dari bayi membuat mereka gagu (gagap).
Seperti dalam Injil tadi Yesus berjumpa dengan seorang tuli dan gagap yang dibawa oleh beberapa orang kepada Yesus agar Ia mau menyembuhkan. Dalam penyembuhan itu, Yesus memisahkan dari kerumunan banyak orang. Rupanya Yesus ingin tahu seberapa besar keinginan orang itu untuk disembuhkan. Seberapa besar iman yang dimiliki orang itu. Yesus ingin menyapa dan berkomunikasi secara pribadi. Yesus ingin kontak dari hati ke hati dengan orang itu.
Melihat isyarat dan tanda-tanda yang disampaikan orang itu begitu kuat untuk disembuhkan oleh Yesus, maka Ia berkata, ”Efata! Terbukalah! Dan orang itu lalu bisa mendengar dan berbicara. Menyimak peristiwa penyembuhan tadi tampaknya Yesus sangat menghargai orang itu secara pribadi. Ia menerima orang itu secara penuh sebagai pribadi yang utuh.

Bagaimana dengan kita?
Dalam kehidupan sehari-hari kadang orang menjadi (dibuat) sakit karena direndahkan dan diperlakukan beda karena kekurangannya. Banyak orang menjadi sakit dan kecewa karena tidak dihargai dan didengar pendapatnya. Kita yang diberi telinga untuk mendengar malah sulit untuk mendengar dan tidak menaruh kepeduliannya terhadap hal di sekitarnya. Apakah kita juga tuli? Kita sebagai orang yang beriman kepada Yesus tetapi sering memandang muka. Membedakan orang karena penampilan. Kita lupa bahwa Allah memilih orang-orang yang dianggap miskin oleh dunia untuk menjadi kaya dalam iman dan jadi ahli waris Kerajaan Allah (Yak 2:1-5).
Marilah kita menyimak peristiwa penyembuhan orang tuli dan gagap tadi di mana Yesus sangat peduli kepada orang sakit. Ia menghargai dan menerima orang itu secara penuh sebagai pribadi yang utuh, sebagai pribadi yang dicintai Allah. Tanda bahwa Allah telah datang dengan pembalasan dan ganjaran. Orang buta akan dicelikkan dan telinga orang tuli akan dibuka. Orang lumpuh akan melompat seperti rusa dan mulut orang bisu akan bersorak sorai (Yes 35:4-6). (FX. Mgn)