SELAMAT DATANG DAN SELAMAT BERJUMPA

Senin, 28 Maret 2011

YESUS MENYEMBUHKAN SI BUTA


MG PRAPASKAH IV (A)
Minggu, 3 April 2011 
                     
1 Sam 16:1b.6-7.10;               
Ef 5:8-14;          
Yoh 9:1-41

Dalam Injil hari ini, Yesus menyembuhkan seorang buta sejak lahir dengan mengoleskan ludah dicampur tanah pada mata orang buta itu, lalu disuruh membasuhnya ke kolam Siloam. Si buta memperoleh kesembuhan oleh Yesus dari kebutaan matanya, dan bersamaan dengan itu, hatinya juga terbuka untuk menerima dan mengimani Yesus. Tetapi apa yang diperbuat Yesus itu tidak berkenan di mata orang-orang Farisi.
Sebelumnya orang buta itu sepanjang hidupnya hanya melihat kegelapan. Bisa kita bayangkan betapa sedihnya hati seorang buta itu karena belum pernah ia melihat cahaya matahari dan terangnya lampu, maka ia tidak bisa membedakan malam atau siang. Si buta itu hanya bisa membayangkan semua yang ia dengar dan rasakan, tetapi sekarang semuanya menjadi jelas, setelah ia memperoleh sinar terang Kristus.
Rupanya pengenalan akan Yesus justru terjadi lewat hati yang sederhana dan polos dari si orang buta itu. Ia tidak peduli bahwa penyembuhannya terjadi pada hari Sabat. Si buta yakin bahwa Yesus datang dari Allah karena mampu membuat mijizat yang tidak bisa dilakukan oleh manusia. Baginya sudah cukup untuk mengimani Yesus. Akhirnya ia menjadi anak terang yang mengimani Yesus sebagai Terang Sejati. 

Berbeda dengan orang Farisi yang dikenal sebagai anak-anak terang ternyata gagal menjalankan fungsinya untuk membuahkan kebaikan, keadilan dan kebenaran. Orang-orang Farisi menurut Rasul Paulus masih seperti anak-anak kegelapan yang tidak menghasilkan apa-apa dalam hidupnya. Belum sejalan dengan ajakan Rasul Paulus kepada jemaat di Efesus agar menjadi menjadi anak-anak terang yang banyak menghasilkan buah kebaikan. Mereka gagal mengimani Sang Terang sejati, yaitu Yesus sendiri. Mereka malah mempersoalkan penyembuhan yang dilakukan Yesus, kenapa dilakukan pada hari Sabat. Hal ini merusak kebiasaan dan adat istiadat yang sudah lama mereka jalani. Orang-orang Farisi berprasangka buruk pada Yesus. Sebab bagi mereka makna melakukan pekerjaan Allah hanyalah menegakkan hukum hari Sabat. Dengan demikian pengertian “kebaikan, keadilan dan kebenaran serta apa yang berkenan kepada Tuhan” sekedar melaksanakan dengan setia segala ketentuan hukum hari Sabat.
Di dalam kehidupan sehari-hari, kerap kali kita pun lebih suka memakai penilaian atas dasar prasangka. Banyak contoh ketika menolong orang yang sedang kesulitan dicurigai ada maksud tertentu, agar orang tersebut menjadi kelompok dalam komunitasnya. Berbuat baik belum tentu diterima baik. Banyak bukti telah menunjukkan bahwa prasangka-prasangka itu membuat manusia buta atau tidak bisa menggunakan mata batinnya dengan jernih ketika menilai situasi dan kondisi orang lain. Ketika di dalam situasi sulit, Allah pun bisa dijadikan obyek prasangka buruk dari manusia. Prasangka buruk itu misalnya beranggapan Allah suka menghukum atau tidak peduli dengan penderitaan manusia. Seringkali orang beranggapan bahwa penderitaan itu karena hukuman dari Allah karena orang berdosa. Pada hal Yesus mengajarkan bahwa Allah adalah Bapa yang tahu memberikan apa yang terbaik kepada anak-anak-Nya. Yesus melakukan kehendak Bapa-Nya agar manusia lebih dekat dan percaya kepada Allah.
Marilah kita juga sebagai anak-anak terang lebih dekat dan percaya pada Yesus Sang Terang Sejati yang telah melaksanakan pekerjaan-pekerjaan Allah. (FX. Mgn)

Senin, 21 Maret 2011

AKULAH, SUMBER AIR HIDUP

MG PRAPASKAH III (A)
Minggu, 27 Maret 2011                   

Kel 17:3-7;            
Rm 5:1-2.5-8;          
Mat 4:5-42

Siang itu Yesus yang sedang kehausan duduk dipinggir sumur Yakub, meminta minum kepada perempuan Samaria yang sedang mengambil air di sumur itu. Perempuan itu menolak memberikan air kepada Yesus karena ia tahu bahwa Yesus adalah orang Yahudi. Sebagai orang Samaria ia tahu buruknya hubungan orang–orang Samaria dengan orang-orang Yahudi.
Orang Samaria sudah dibentuk oleh nenek moyangnya bahwa ia memiliki sumur pemberian Allah melalui Yakub itu merupakan  satu-satunya sebagai sumber air kehidupan mereka di situ. Tetapi Yesus mengatakan bahwa, orang yang meminum air dari sumur itu akan haus lagi, tetapi siapa pun yang meminum air dari-Nya tidak akan haus selamanya. Karena air yang diberikan adalah ”air kehidupan” yang akan menjadi mata air keselamatan yang memancar sampai kepada hidup yang kekal.
Perempuan itu mulai berpikir siapakah orang Yahudi itu? Apalagi setelah Yesus membuka ”hidup pribadi perempuan” itu, maka perempuan itu merasa terpojok dan percaya bahwa ia berhadapan dengan ”Mesias”. Nampaknya perempuan itu berubah yang tadinya menyapa Yesus dengan ”engkau orang Yahudi berubah menjadi tuan, lalu nabi, kemudian, ”mungkinkah Dia itu Mesias?” Kata Yesus kepadanya, ”Akulah Mesias yang ditunggu-tunggu dan sekarang sedang berkata-kata dengan engkau”.
Tantangan demi tantangan bermunculan dalam hatinya, tetapi perempuan itu tetap tegar. Bahkan kepercayaan yang mulai bersemi dalam hati, dibiarkan tumbuh berkembang. Dan selanjutnya menjadi tenaga pendorong semangatnya untuk mewartakan Kristus kepada teman-teman sebangsanya.

Bagaimana dengan sikap kita?
Seringkali kita beranggapan sebagai murid-murid Kristus  merasa nyaman dalam lingkup sendiri, tanpa menyadari bahwa keselamatan dikaruniakan Tuhan kepada semua umat manusia. Sulit kiranya membuat perubahan dalam diri kita untuk membuka diri bagi orang lain demi keselamatan bersama. Reaksi kita lamban ketika menyaksikan diantara sesama kita yang masih harus berjuang untuk hidup, hidup layaknya sebagai warga masyarakat. Tanpa kita sadari bahwa iman kita perlu diwujudkan dalam perbuatan nyata yang bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.
           Marilah kita jangan terjebak dalam pemikiran sendiri seperti pandangan orang Samaria tadi, sehingga tidak mampu memahami maksud Yesus, ”Berilah Aku minum”. Padahal maksud Yesus berikan egomu kepada-Ku dan kau akan Kuberi air hidup yaitu Roh Kehidupan yang baru, yang tidak akan bisa mati. Seperti bacaan Injil hari ini, Yesus memberikan air hidup bukan hanya kepada orang Yahudi tetapi juga kepada orang Samaria yang mau menerima Dia untuk memperoleh keselamatan. (FX. Mgn)

Senin, 14 Maret 2011

BERUBAH MENJADI LEBIH PEDULI

MG PRAPASKAH II (A)
Minggu, 20 Maret 2011

Kej 12:1-4a;                  
2 Tim 1:8b-10          
Mat 17:1-9
       
        Ketika Petrus, Yakobus dan Yohanes diajak Yesus naik ke atas gunung Tabor untuk berdoa, mereka menyaksikan kemuliaan Yesus berubah rupa dengan wajah yang bercahaya seperti matahari dan pakaian-Nya putih bersinar-sinar. Nampak Yesus berbicara dengan Musa dan Elia. Ketiga rasul itu memperoleh pengalaman rohani yang luar biasa, membuat hati mereka bahagia dan ingin tetap tinggal di situ bersama-Nya. Lalu Petrus memohon kepada Yesus untuk mendirikan tiga kemah; satu untuk Yesus, satu untuk Musa dan satu lagi untuk Elia.
        Dengan permohonan tersebut, tanpa Petrus sadari ia ingin mengurung atau menghalangi kepergian Kristus ke Yerusalem untuk menderita dan wafat. Petrus ingin agar Yesus, Musa dan Elia tetap tinggal di atas gunung itu bersama dengan mereka. Sepertinya Petrus ingin mengalihkan perhatian tujuan percakapan antara Yesus dengan Musa dan Elia, sehingga mereka dapat berlama-lama menyaksikan kemuliaan Kristus sambil menikmati pemandangan yang indah di atas gunung. Tidak menyadari bahwa mereka diajak ke atas gunung itu untuk berdoa.
        Melihat hal itu, Yesus tidak membiarkan mereka larut dan ”terlena” dengan pengalaman yang indah itu. Mereka harus ”turun gunung” untuk melanjutkan tugas perutusan; dan hal itu seringkali berarti menyangkal diri dan memanggul salib demi mendapatkan pengalaman kemuliaan Yesus yang abadi.
       
         Bagaimana sikap kita sendiri?
        Sikap Petrus tersebut juga mencerminkan sikap kita pada umumnya. Kita lebih senang jikalau Tuhan selalu bersama dengan kita pribadi daripada Tuhan berkarya melaksanakan misi-Nya ke lingkup yang lebih luas. Kita sering terjebak dalam godaan berupa kenikmatan-kenikmatan duniawi sesaat, dan lupa akan kehidupan lebih jauh ke depan yang lebih mulia. Kecenderungan kita, adalah ingin mengekalkan keadaan yang sudah dirasakan enak, menyenangkan dan baik. Sangat sulit kita membuat perubahan yang lebih baik untuk kepentingan lebih luas. Dari sinilah kita sering dituntut pengorbanan dan perjuangan, karena dari sini pula kita harus melawan ”keinginan diri kita” sendiri. Di balik keberhasilan dan kelimpahan rezeki yang kita terima, seringkali membuat jauh dari Tuhan dan sesama. Tanpa kita sadari masih banyak sesama kita yang masih memanggul beratnya salib kehidupan. Di sekitar kita masih banyak yang miskin, menderita sakit, terbuang dan lemah yang sangat memerlukan uluran tangan kita.
        Maukah kita menjadi sesama bagi orang miskin? Mereka yang miskin juga memiliki keinginan yang sama dengan kita yaitu merasakan kemuliaan. Mereka ingin juga menikmati kebahagiaan dan merasakan nikmatnya hidup bersama di dunia yang sementara ini. 
       Semoga kita berubah dari terlena menjadi lebih peduli dengan mau berbagi agar keselamatan Allah yang terpancar dalam kemuliaan Kristus menerangi seluruh kehidupan manusia. (FX. Mgn)

Senin, 07 Maret 2011

BERANI MENOLAK SETAN, MEMILIH KEHENDAK ALLAH

MINGGU PRAPASKAH I
Minggu, 13 Maret 2011
 
Kej 2:7-9.3:1-7;
Rm 5:12-19;
Mat 4:1-11

Di padang gurun Yesus berpuasa menahan lapar dan haus selama empat puluh hari. Selama berpuasa digodai dan dicobai Iblis, tetapi Ia tetap bertahan dan tidak mau mengikuti kehendak Iblis. Ia lebih taat dan setia pada Bapa-Nya.
Dalam masa prapaskah ini Gereja juga mengajak kita untuk berpuasa. Berpuasa bukan sekedar mengurangi makan dan minum. Sejatinya arti puasa ialah usaha manusia untuk mawas diri. Masa pengendapan segala pengalaman hidup supaya kita dapat bertobat, dapat makin mendekatkan diri pada Allah. Dekat dengan Allah bukan sekedar berpuasa atau berpantang dengan tidak menikmati apa yang kita senangi. Tetapi harus ada tindakan nyata dari hidup kita sebagai ungkapan terima kasih kepada Allah, dengan berani melawan godaan atau cobaan. Berani menolak keinginan duniawi atau memilih kehendak Allah. Berani menahan lapar dan haus, bukan demi kemuliaaan diri sendiri tetapi demi kemuliaan Allah. Berani melawan godaan dan dorongan hawa nafsu, seperti kenikmatan sesaat dan kepuasan diri, tetapi melawan godaan duniawi demi cinta pada Allah. Godaan lain mengarah pada tinggi hati dengan meremehkan Allah. Ada lagi godaan yang mengarah pada ambisi, demi ambisi pribadi, tak segan-segan menyingkirkan orang lain, tidak segan-segan menjatuhkan rekan kerja yang tidak bersalah, dan berprestasi.

Belajar dari pengalaman Yesus ketika berpuasa selama empatpuluh hari, Ia terasa lapar dan haus, setan menggoda-Nya dengan menyuruh Yesus mengubah batu menjadi roti. Yesus mengatakan, ”Manusia hidup bukan dari roti saja.” Sabda Yesus ini, mengingatkan kita agar dalam hidup ini jangan hanya mengejar materi berupa kekayaan, kenikmatan, dan kesenangan-kesenangan semata. Hal ini, karena orang tidak akan puas dan berhenti sampai di situ. Setelah memperoleh kelimpahan materi akan ada tawaran godaan yang lain yang menyusul, yaitu kekuasaan dan pangkat atau jabatan. Yesuspun mendapat tawaran kemuliaan dan kekuasaan dari Iblis, jika Ia mau menyembah Iblis. Tetapi Yesus menolaknya, ”Hanya kepada Tuhan Allahmu engkau menyembah dan berbakti.”
Yesus memberi teladan dengan berani menolak secara tegas, tawaran-tawaran yang menggoda yang datangnya dari dunia. Yesus berani mengatakan tidak, jika itu hanya demi kepentingan diri sendiri atau malah merendahkan Allah. Ada nilai lain yang perlu diperhatikan dalam hidup ini, ajaran kebaikan. Beranikah kita melawan kepentingan diri sendiri dan mengutamakan kepentingan Allah dan sesama?
Marilah kita mewujudkan niat puasa kita, dengan memohon kekuatan-Nya agar tidak tergoda setan seperti Adam dan Hawa yang tidak taat akan sabda Allah, tetapi marilah kita meneladan tindakan Yesus yang taat dan setia pada Bapa-Nya. (Mgn)

Kamis, 03 Maret 2011

BERPANTANG DAN BERPUASA SERTA BERBUAT BAIK

RABU ABU
Rabu, 9 Maret 2011

Yl 2:12-18;
2 Kor 5:20. 6:2;
Mat 6:1-6. 16-18

Mulai hari Rabu ini kita memasuki masa prapaskah, di mana kita semua mempersiapkan diri menyambut perayaan wafat dan kebangkitan Tuhan Yesus. Pada hari Rabu ini sering kita namai Hari Rabu Abu, di mana kita menerima tanda abu di dahi kita atau taburan abu pada kepala kita, sebagai tanda bahwa kita berasal dari abu dan nantinya akan kembali kepada abu.
Rabu Abu sebagai awal masa prapaskah, umat Katolik wajib berpuasa dan berpantang pada Rabu Abu dan Jumat Agung. Puasa berarti hanya makan kenyang satu kali sedangkan selebihnya makan sedikit sebanyak dua kali. Mereka yang berusia di bawah 18 tahun dan di atas 60 tahun hanya wajib berpantang dan biasanya pantang daging, pantang merokok, pantang jajan, pantang marah dst.
Masa prapaskah boleh juga kita sebut masa pengubahan diri menuju yang lebih baik. Masa untuk lebih mengarahkan hidup kita ke arah tindakan yang penuh kebajikan. Mulai berdisiplin diri dan berdamai dengan Tuhan, sesama dan diri sendiri. Masa untuk menempa diri dan mengarahkan diri pada kebaikan dengan ditandai pantang dan puasa. Pantang dan puasa sebagai tanda kita mau mengekang diri dari keinginan yang tidak teratur, sekaligus sebagai tanda bahwa kita sungguh menguasai diri kita. Bukan nafsu kita yang mengatur diri kita.
Dalam masa puasa ini merupakan saat yang tepat untuk berefleksi diri. Kita sebagai orang beriman bertanya pada diri sendiri: apa yang telah kita kerjakan dan apa yang masih perlu kita tingkatkan sebagai seorang beriman. Maka dalam masa puasa ini juga merupakan saat yang tepat untuk melihat kedosaan, kekurangan dan juga kelemahan yang mengganggu perjalanan hidup kita yang lalu. Sehingga kita dapat memperbaiki agar lebih maju. Itulah sebabnya pada masa ini juga disebut masa bertobat, yang berarti bangun dari kedosaan dan mulai membangun hidup baru selaras dengan iman akan Yesus Kristus. Dari situ pula Gereja mengajak kita semua pada masa puasa ini untuk bertobat dan berefleksi diri kembali ke jalan Allah.
Seperti dalam Injil hari ini Yesus dengan sederhana mengajak kita agar melakukan suatu tindakan yang baik dengan tujuan bukan sekedar biar dilihat orang atau dipuji orang, tetapi dalam berpuasa, berdoa ataupun berderma karena ingin memuliakan Tuhan dan membantu sesama yang membutuhkan.
Marilah kita memasuki masa prapaskah ini dengan penuh penyerahan diri kepada Tuhan dengan saling mendukung dan mendoakan. (FX. Mgn)