SELAMAT DATANG DAN SELAMAT BERJUMPA

Rabu, 30 Desember 2009

TUHAN MENAMPAKKAN DIRI TURUN KE DUNIA, HIDUP DAN BERADA DALAM SITUASI MANUSIA

HR RY PENAMPAKAN TUHAN / ABC 
(Minggu, 3 Januari 2010)

Yes 60:1-6;
Ef. 3:2-3a.5-6;
Mat 2:1-12

Hari ini Gereja merayakan Penampakan Tuhan yang ditandai dengan munculnya bintang timur. Tanda bahwa telah lahir seorang pemimpin atau raja baru, Yesus Kristus yang akan menggembalakan umat manusia.

Berita kelahiran Yesus Kristus membuat dunia gempar mulai dari para gembala sampai dengan para bijak atau orang-orang majus dan Herodes penguasa saat itu. Baik para gembala maupun orang-orang majus mendapat bimbingan langsung dari langit dengan "bahasa" yang sesuai dengan cara berpikir masing-masing.
Tuhan berbicara lewat penampakan malaikat dan bala tentara surgawi kepada para gembala. Kepada para ulama yang ahli ilmu pengetahuan itu, Ia berbicara lewat isyarat bintang dan pemikiran. Bahkan Ia pun berbicara kepada mereka lewat orang yang memiliki niat tidak baik seperti Herodes.

Dengan hadirnya Bayi mungil bersahaja di Betlehem menunjukkan bahwa karya keselamatan Allah bagi dunia mulai tampak. Allah juga menampakkan kuasa-Nya untuk mengantar setiap orang menyambut serta menikmati keselamatan yang dibawa oleh Yesus. Tuhan sudah berkenan turun ke dunia menampakkan karya keselamatan-Nya, juga membuka jalan bagi siapa saja untuk mengantar kepada keselamatan itu. Keselamatan telah ditawarkan tinggal mereka yang mengetahui mau memahami dan menerima atau menolak keselamatan itu. Sebagian besar umat manusia yang menghuni bumi ini menerima dan menyambut-Nya, tetapi ada juga orang-orang yang seperti Herodes menolak-Nya.

Para majus menjadi saksi yang melihat sendiri Bayi Yesus, mereka memahami tanda-tanda dari langit dan mereka memihak raja yang baru lahir. Sekarang mereka menyadari bahwa muslihat Herodes yang ingin melacak di mana persisnya tokoh yang dianggapnya bakal menjadi saingannya itu. Para majus diperingatkan dalam mimpi supaya jangan kembali kepada Herodes. Mereka pulang membawa kegembiraan yang akan mereka bagikan kepada orang-orang lain.

Bagaimana dengan mereka yang ada di Yerusalem, terutama Herodes? Kendati dia sudah diberitahu akan hadirnya Sang Mesias, bahkan diyakinkan lagi oleh para imam kepala dan ahli Taurat, dia tidak mencari Mesias dan bersembah sujud kepada-Nya. Sebaliknya, justru berusaha untuk menghabisi-Nya, kendati harus mengorbankan banyak bayi yang tidak berdosa. Mereka kehilangan kepekaan akan cara-cara Tuhan berbicara kepada manusia, malah menganggapnya sebagai ancaman! Begitu juga para ulama di Yerusalem itu sebenarnya juga dapat mengetahui peristiwa itu, tetapi mereka tidak memahami maknanya. Di antara orang-orang yang mendengar kata-kata para gembala, hanyalah Maria sajalah yang berusaha mengerti. Maria "menyimpan semua perkataan itu dalam hatinya dan memikir-mikirkannya." Bunda Maria bersikap mau memahami misteri yang ada dalam kehidupannya. Orang-orang lain tetap terkagum-kagum dan terkejut saja.

Dalam Pesta penampakan Tuhan hari ini yang merupakan pesta Tuhan yang mau turun kepada manusia, yang hidup dan berada dalam situasi manusia, semoga dapat mengantar pada seluruh hidup kita hanya pada karya keselamatan-Nya. Keselamatan bagi umat manusia yang mau membuka mata hatinya kepada Juru Selamat yang telah turun ke dunia membawa damai sejahtera. (FX. Mgn)

Kamis, 24 Desember 2009

MENELADAN KELUARGA KUDUS

PESTA KELUARGA KUDUS, YESUS, MARIA, YUSUF / C
(Minggu, 27 Desember 2009)

1 Sam 1:20-22. 24-28;
1 Yoh 3:1-2. 21-24;
Luk 2:41-52

Hari ini kita merayakan pesta Keluarga Kudus Nazaret, Yesus, Maria dan Yusuf. Yusuf dan Maria adalah contoh yang sempurna sebagai keluarga dalam pasangan suami istri yang disukai Allah. Persembahan hidup mereka sempurna karena mereka mempunyai relasi yang erat satu sama lain dan kedekatan yang akrab dengan Allah. Terutama karena Yesus menjadi tempat bagi mereka membaktikan diri.

Kita pun dapat melakukan hal yang sama, jika kita menempatkan cinta kasih Allah sebagai dasar hubungan cinta kasih kita kepada keluarga. Spiritualitas kehidupan keluarga tampak lewat kasih yang senantiasa diberikan kepada sesama. Dalam keluarga kecil yang hidup dalam rumah sederhana pun sesungguhnya bisa melakukan hal-hal besar. Keluarga adalah tempat persemaian cinta kasih Allah. Di sanalah, seharusnya taburan benih cinta mendapat ruang pertumbuhan paling nyaman di dunia. Namun, mudahkah menyemai, menumbuhkan dan merawat cinta manusiawi melalui persekutuan cinta dalam sebuah keluarga?

Seringkali yang kita jumpai banyak keluarga tidak harmonis. Mencuatnya fakta kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) melalui media massa diiringi berita seputar perceraian para selebriti, tentu cuikup memberi gambaran untuk menjawab pertanyaan di atas. Belum lagi, banyak keluarga yang merasa gagal karena anak mereka tidak mandiri. Orang tua sering mengeluh kenapa anak saya tidak pernah bangun sendiri, kalau tidak dibangunkan orang tua? Anak saya belum bisa mengurus keperluannya sendiri, mencuci atau menyeterika pakaiannya? Semuanya masih dilakukan oleh orang tuanya. Alasannya, kasihan kalau terlambat bangun dan tidak sekolah. Terlambat kerja atau malah tidak kerja, bisa dipecat. Orang tua selalu tidak tega.
Tetapi kalau para orang tua mau jujur, kesalahan justru ada pada orang tua sendiri, karena anak terlalu dimanja. Memang, hidup dalam dunia yang sudah maju ini dan karena perbaikan ekonomi, membuat anak-anak dimanjakan oleh materi. Ada perasaan khawatir bila anaknya sampai gagal. Penyebab kegagalan justru dari orang tua karena berlebihan kekhawatirannya.

Lalu apa solusinya?
Orang tua harus mau memberi kesempatan anak-anaknya untuk belajar mandiri. Mulai belajar melakukan hal-hal yang kecil. Mungkin awalnya ada kesalahan dan tidak sempurna, tetapi bukan harus dilarang melakukan sesuatu. Bila kita mau belajar dari Keluarga Kudus Nazaret, Yesus pun pernah membuat khawatir orang tuanya ketika Ia tertinggal di Yerusalem selama tiga hari. Namun Maria dan Yusuf sabar mencari Yesus Putranya yang masih berada di Bait Allah, dan masih bersoal jawab dengan para guru agama. Lalu Maria mengajak pulang Putranya dan mendidiknya sampai dewasa. Meski begitu, Maria menyimpan semua hal itu di dalam hatinya. Maria membawa persoalan hidupnya ke dalam ruangan doa hening. Dalam ruangan doa hening itu, Maria selalu berdoa bagi kerja suami tercinta dan bagi karya agung Sang Putra terkasih. Melalui kehidupan doa batin, Maria terus memandang dan menyaring rahmat Allah yang menghinggapi orang-orang yang dikasihinya.

Sementara itu, Yusuf sang ayah dengan pekerjaannya sebagai tukang kayu, ingin menunjukkan hidup kontemplasi dalam tindakan. Dalam kerja, ia tidak banyak bicara. Dalam karya, Yusuf mampu memandang dan menyaring rahmat Allah yang bersembunyi di balik perhatian dan cinta istri serta Putera terkasihnya. Bagaimana kanak-kanak Yesus turut serta memakai peralatan tukangnya, turut berkreasi bersamanya, tentu menjelmakan senyum bangga pada Putera Allah yang dipercayakan berada dalam pengasuhannya.
Dalam keluarga yang dipenuhi daya hidup kontemplatif itu, tidak mengherankan bila akhirnya Yesus pun menangkap perutusannya menjadi seorang kontemplatif, baik dalam cinta maupun dalam karya-Nya. Ia dihidupi oleh cinta ibu dan bapa manusiawi-Nya. Hati-Nya bertemu dengan cinta manusiawi yang hidup di tengah-tengah keluarga sederhana Nazaret. Semakin mengertilah Ia, betapa hidup mencinta merupakan panggilan hidup-Nya, sekalipun hidup mencintai harus berani menderita.

Menghayati spiritualitas cinta Ilahi dalam Keluarga Kudus Nazaret, spiritualitas hidup yang tumbuh dan berkembang adalah kasih. Kasih Allah hadir dalam diri Yesus. Keluarga Kudus Nazaret mendapat kesempatan istimewa untuk bergaul dalam relasi manusiawi dengan Sang Kasih Ilahi. Begitu pula sebaliknya, Sang Kasih Ilahi mengalami perjumpaan dan relasi manusiawi melalui dekapan keibuan Maria, dan perhatian seorang bapa, Yusuf. Bagi keluarga-keluarga masa kini, tentu teladan Keluarga Kudus yang tetap erat dalam persekutuan dengan Kristus akan memberikan topangan istimewa. Sekalipun tantangan hidup keluarga masa kini tidak bisa dikatakan ringan. Dengan memandang teladan Keluarga Kudus dalam iman dan kasih akan memberikan kekuatan di tengah penderitaan dunia ini. (FX. Mgn)

Selasa, 22 Desember 2009

SABDA TELAH MENJADI MANUSIA

HR RY NATAL ABC
(Jumat, 25 Desember 2009)

Yes 52:7-10;
Ibr 1:1-6;
Yoh 1:1-5. 9-14

Sudah menjadi tradisi dalam merayakan Natal, orang saling mengunjungi dan memberikan salam damai natal. Dahulu masih banyak orang mengirimkan kartu ucapan Natal dan Tahun Baru, namun sekarang tidak dengan kartu natal lagi melainkan dengan pesan pendek (SMS), atau via e-mail.

Banyak orang kristani mengungkapkan kegembiraan Natal dan penuh syukur karena telah lahir Bayi Yesus dari rahim Bunda Maria, sebagai Penyelamat dunia. Dalam merayakan kedatangan Yesus Kristus Sang Raja Damai, seringkali dengan liburan ke luar kota, dengan pakaian yang indah dan pesta ria.
Namun jika kita mau jujur melihat kenyataan, barangkali banyak di antara kita yang tidak semuanya bisa menikmati suasana Natal yang membawa damai. Masih banyak saudara-saudara kita yang belum menikmati terang Kristus, yang sesungguhnya terang Kristus itu harus bercahaya di dalam kegelapan hati manusia.

Apakah merayakan Natal harus dengan hura-hura?
Pertanyaan itu bagi kita sebagai para pengikut-Nya harus kembali pada Sang Sabda yang telah menjadi manusia, yaitu Yesus. Yesus lahir di dunia dalam kesederhanaan-Nya dengan tugas utama menyelamatkan umat manusia, membawa kedamaian dengan cahaya terang ilahi. Kita semua mempunyai tugas yang dasar utamanya adalah Yesus sendiri, dengan memahami kedatangan Yesus ke dunia ini untuk mendamaikan manusia dengan sesamanya dan mendamaikan manusia dengan Allah sendiri, agar manusia hidup bahagia dan damai sejahtera.
Sesudah manusia memperoleh cahaya terang Kristus dan berdamai dengan Allah mulailah berdamai di dalam keluarga. Itu berarti mensyukuri kehadiran setiap pribadi di dalam keluarga. Sebab keluarga merupakan persekutuan hidup antar pribadi. Keluarga yang bahagia jika suami, isteri, anak-anak mengalami hidup yang tenteram dan damai.
Kemudian berdamai dengan sesama. Berdamai dengan sesama berarti berusaha menemukan wajah Allah dalam diri setiap orang, sebab Allah menciptakan semua manusia menurut citra-Nya. Berdamai dengan sesama berarti juga berdamai dengan mereka yang selama ini berseberangan dengan kita karena perbedaan pandangan dan keyakinan. Mau berdamai dan minta maaf dengan saling memaafkan atau mengampuni.
Dengan saling mangampuni kita akan hidup bahagia, damai sejahtera selamat lahir batin, jasmani dan rohani dengan sesama sebagai saudara. Melalui terang Kristus kita akan bertumbuh menjadi komunitas pembawa damai dan diharapkan mampu membuka mata dan telinga kita terhadap lingkungan hidup di sekitar kita. Kiranya kita dapat melihat dan mendengar bahwa masih cukup banyak orang yang menderita serta membutuhkan uluran kasih atau bantuan.

Maka kalau kita meneladan Sang Penyelamat Dunia, Allah yang turun ke dunia menjadi manusia sama dengan kita kecuali dalam hal dosa. Ia yang telah `menanggalkan ke Allah-an-Nya' atau kebesaran-Nya dengan rela mengorbankan nyawa-Nya demi umat manusia. Belajar dari Dia yang rela berkorban, maka kita pun dipanggil untuk dengan rela dan senang hati mau berbagi dan peduli terhadap sesama. Mau `membagikan' sebagian harta/uang, tenaga dan perhatian kita bagi saudara-saudari kita yang sedang menderita sakit, yang kehilangan harta bendanya dan kehilangan anggota keluarganya karena bencana alam, yang kehilangan pekerjaannya karena pemutusan hubungan kerja.
Marilah kita menutup tahun 2009 ini dengan penuh syukur dan dengan hati yang damai sejahtera. Mengawali tahun 2010 dengan hati yang damai juga, dalam terang cahaya Kristus dan semoga berkah Natal melimpah kepada kita.

KOPI KENTAL GULANYA BATU: "SELAMAT NATAL DAN TAHUN BARU” (FX. Mgn)

Selasa, 15 Desember 2009

MARIA MENGUNJUNGI ELISABET

MG ADVEN IV / C
(Minggu, 20 Desember 2009)

Mi 5-2-5a;
Ibr 10:5-10;
Luk 1:39-45

Mengunjungi sahabat, orang tua pada saat libur atau hari raya adalah kesempatan bisa berkumpul bersama dan melepas rindu. Namun kunjungan Bunda Maria ke rumah Elisabet bukan sekedar kesempatan mereka untuk berkumpul atau melepas rindu, tetapi merupakan kunjungan dan perjumpaan dua orang perempuan yang menjadi tonggak sejarah penyelamatan. Karena perjumpaan itu tidak hanya sekedar bertemunya antar kedua wanita itu, tetapi juga merupakan perjumpaan janin yang ada dalam rahim ke dua calon ibu itu. Perjumpaan Maria dan Elisabet merupakan perjumpaan dua pribadi yang sama-sama percaya akan karya Allah dalam diri mereka, akan kasih Allah dalam hidup mereka. Perjumpaan dua pribadi yang sama-sama kepenuhan Roh Kudus. Perjumpaan dua wanita yang sama-sama menantikan bayinya berkat campur tangan Allah sendiri. Kehadiran ke dua janin di dalam rahim kedua wanita itu akan membuat banyak orang bersukacita dan bergembira serta membuat takjub karena terjadi di luar kelaziman. Elisabet istrinya Zakharia, yang sudah dinyatakan mandul akan melahirkan anak laki-laki baginya yang diberi nama Yohanes Pembaptis. Demikian juga perawan Maria tunangan Yusuf harus mengandung dari Roh Kudus juga melahirkan anak laki-laki dan dinamai Yesus. Yohanes Pembaptis mewakili dunia Perjanjian Lama dan satu lagi, Yesus menjadi tanda Perjanjian Baru. Sungguh menarik, keduanya laki-laki pilihan Allah. Lebih menarik lagi kehadiran Maria di rumah Elisabet membuat bayi dalam kandungannya melonjak kegirangan. Tanda penyambutan yang hangat atas kedatangan Juru Selamat yang dijanjikan Allah. Lonjakan bayinya Elisabet menandakan bahwa bayi yang dikandungnya ikut gembira menyambut Yesus yang masih di dalam kandungan Bunda Maria. Bagaimana dengan kita? Dalam penantian terakhir pada minggu adven keempat ini diharapkan dapat membuat kita semua bersukacita dan membuka hati bagi kehadiran Tuhan. Ungkapan syukur akan kehadiran Tuhan dalam diri kita dengan mau melakukan banyak hal yang dinyatakan kepada sesama serta Tuhan sendiri. Suasana hati yang penuh kegembiraan dan suasana hati penuh keakraban. Apakah perjumpaan kita dengan orang lain benar-benar bisa membahagiakan? Tampaknya kegembiraan seperti itu hanya dapat sungguh kita alami, bila dalam penantian ini kita memang percaya akan kedatangan Tuhan, seperti yang diungkapkan Bunda Maria dan Elisabet. Kegembiraaan itu hanya terjadi bila kita sungguh percaya akan kasih dan karya Tuhan dalam hidup kita. Perjumpaan kita dengan Tuhan dalam masa penantian ini menjadi masa yang baik untuk lebih mau bertemu dan berkomunikasi serta menyapa sesama sebagai yang dicintai Tuhan. Masa yang membuat kita selalu percaya dan berharap akan datangnya Tuhan Pembawa Damai Sejahtera. Masa di mana hidup kita merasa bahagia dalam penyertaan dan kasih Tuhan. (FX. Mgn)

Selasa, 08 Desember 2009

BERBAGI KEPADA SESAMA SEBAGAI UNGKAPAN TOBAT


MG ADVEN III / C 
(Minggu, 13 Desember 2009)

Zef 3:14-18a;
Flp 4:4-7;
Luk 3:10-18

Masa penantian kedatangan Tuhan dalam minggu adven ketiga ini membawa sukacita dan pengharapan dengan ditandai pada keluarga-keluarga kristiani serta di gereja memasang lilin merah jambu yang dinamai juga lilin "Sukacita". Warna merah jambu menyimbolkan sukacita pengharapan yang tidak tertahankan lagi karena kelahiran Tuhan sudah sangat dekat. Kedatangan Tuhan yang membawa warta kegembiraan dan keselamatan.
Warta kegembiraan ini juga terpancar pada orang banyak yang mau datang dan mendengarkan pewartaan Yohanes Pembaptis di tepi sungai Yordan. Dalam pewartaannya Yohanes Pembaptis menyerukan pertobatan, bukan hanya ditujukan pada kelompok Saduki dan Farisi saja tetapi kepada semua orang. Bertobat tidak cukup dengan menyesal, tetapi diwujudnyatakan dengan perubahan hidup yang lebih baik. Perlu tindakan nyata. Itulah yang ia ajarkan kepada orang-orang yang datang kepadanya untuk minta dibaptis.
Kemudian mereka masing-masing bertanya, “Apa yang harus kami dilakukan?” Yohanes Pembaptis menganjurkan beberapa hal yang harus segera dilakukan. Berbagilah kepada mereka yang membutuhkan, pakaian, makanan, uang dsb. Kepada penarik pajak dia berkata, “Jangan menarik lebih dari yang sudah ditentukan untukmu.” Dan kepada para prajurit, dia berkata, “Jangan merampas dan memeras”. Yohanes Pembaptis menekankan kepada semua orang sesuai dengan tugasnya agar bertindak adil dan jujur, jangan merampas hak orang lain dan jangan memeras.
Pertanyaan tadi berlaku juga untuk kita semua saat ini dalam mempersiapkan diri untuk perayaan Natal. Apakah yang harus saya perbuat sebagai ungkapan tobat: seorang anak, orang tua, pegawai, pedagang, pemimpin Gereja, warga Gereja, pemimpin masyarakat, warga masyarakat, penegak hukum, militer, wakil rakyat, atau apa saja sesuai dengan tugas dan jabatan kita. Mau dan rela berbagi kepada sesama sebagai tanda tobat berupa: tenaga, pikiran, perhatian, waktu, uang, atau apa saja. Mau berdamai dengan memaafkan dan minta maaf.
Dari seruan dan semua nasihat yang disampaikan Yohanes Pembaptis tadi membuat orang banyak berpikir, apakah dia itu Mesias. Namun Yohanes Pembaptis dengan jujur mengatakan kepada orang banyak bahwa bukan dia Mesias itu, dia hanyalah saksi-Nya. Yohanes Pembaptis hanya mewartakan kabar baik tentang kedatangan Tuhan kepada orang banyak. Kabar baik yang diwartakannya agar bisa mendorong orang lain untuk mencari tahu apa yang harus mereka perbuat. Mereka dimotivasi untuk solider dengan orang yang tak punya, bertindak adil terhadap siapapun.
Lalu … Apakah dalam masa persiapan kedatangan Tuhan sekarang ini, orang makin terdorong untuk mencari tahu apa yang sebaiknya mereka perbuat untuk menolong sesamanya manusia, terutama yang berkekurangan atau diperlakukan tidak adil secara terus menerus ? Ataukah, semakin gampang orang berkata: “Ah, kenapa mesti repot, itu masalah mereka sendiri, untuk apa mencampuri hal itu?
Semoga semua orang mau hadir sebagai motivator kepada orang banyak untuk semakin peduli terhadap sesamanya manusia dan kepada Tuhan. Kesediaan, kesederhanan, kejujuran dalam kata dan tindakan serta pengertian yang ditampilkan kepada semua orang, turut menentukan mutu persiapan kita menyambut kedatangan Tuhan. (FX. Mgn)

Jumat, 04 Desember 2009

BERTOBAT MENYONGSONG KEDATANGAN TUHAN

MG ADVEN II / C
(Minggu, 6 Desember 2009)

Bar 5:1-9;
Flp 1:4-6.8-11;
Luk 3:3-6

Seringkali kita ini menipu diri sendiri dengan mengatakan tidak berdosa. Tetapi kalau menyadari sungguh-sungguh setiap kali masih diberi kesempatan hidup di dunia ini, manusia cenderung melakukan dosa. Sangat tepatlah Yohanes Pembaptis mengingatkan semua orang agar “bertobat dan memberikan diri dibaptis dan Allah akan mengampuni dosamu …”

Bagi orang yang berdosa atau bersalah dan tidak mengindahkan suara hatinya, akan berusaha mati-matian untuk menutupi dosa-dosanya dan mengatakan bahwa: “Saya sama sekali tidak berdosa.” Namun bagi orang yang berdosa tetapi masih peka akan bisikan suara hati nuraninya tentu pikiran dan hatinya akan tidak tenang karena merasa jauh dari Tuhan. Sadar, bahwa perbuatan yang dilakukan benar-benar bertentangan dengan hati nurani dan merupakan pelanggaran di hadapan Allah. Selain berdosa kepada Allah juga merugikan orang lain dan diri sendiri karena upah dosa adalah maut.
Sebagai orang beriman harusnya menyadari atas dosa-dosanya, menyesali semua kekeliruan dan bertobat serta berusaha untuk berdamai dengan Allah. Bertobat atau “kapok” berarti tidak akan berbuat dosa lagi. Ditandai dari perubahan sikap dan perilaku sebagai tanda penyesalan dan berkabung.

Bila dalam Minggu Adven I yang lalu kita diajak melihat kelahiran Yesus di Betlehem dengan gambaran kedatangan Anak Manusia di akhir zaman, maka dalam Minggu Adven II ini kita didorong melangkah maju lebih lanjut dengan bantuan Yohanes Pembaptis untuk berdamai dengan Allah. Berdamai dengan Allah yang juga mendorong untuk berdamai dengan sesama, dengan tidak hanya melihat kesalahan orang lain tetapi mau melihat kesalahan sendiri.
Yohanes Pembaptis mengingatkan kita semua melalui baptisan tobat, baptisan yang menandai tekad untuk membuka lembaran baru. Lembaran baru, yaitu sikap bertobat dengan mempersiapkan diri dan meluruskan jalan bagi kedatangan Tuhan sebagai Pennyelamat yang memberikan pengampunan dan kedamaian.

Dalam menyongsong kedatangan Tuhan, kita diajak mendengarkan pesan nabi Barukh agar jangan tenggelam dalam kegelisahan dan kesedihan, tetapi supaya menanggalkan pakaian berkabung serta berbesar hati karena kita semua akan dekat kembali dengan Allah. Kita semua diajak agar berani menanggalkan sikap menghukum diri dan membiarkan diri dituntun Allah sendiri agar mendekat kepada-Nya kembali. Ada kerohanian segar yang disampaikan Yohanes Pembaptis yang mengajarkan bahwa Yang Ilahi bukan lagi sebagai yang akan datang menghukum dan memperhitungkan dosa-dosa kita melainkan sebagai Dia yang akan membawa kembali umat-Nya menuju kebahagiaan bersama-Nya. Ia bukan lagi yang menuntut dan hanya memandang serta memperhitungkan dosa-dosa kita, melainkan Ia datang menguatkan manusia. Kehidupan serta tindakan Yohanes Pembaptis menjadi kesaksian akan warta tadi.
Ia mengajak orang melihat ke arah lain, ke arah datang-Nya Dia yang akan mengajar kita semua merasakan kasih-Nya. Ia bukan lagi yang jauh, melainkan yang mau mendekat dan peduli akan manusia dengan segala kelemahannya. Sehingga kita semua mampu hidup terus kendati sering jatuh karena kerapuhan kita. (FX. Mgn)

Rabu, 25 November 2009

MENYAMBUT KEDATANGAN TUHAN DENGAN BERJAGA-JAGA DAN BERDOA

MG ADVEN I / C
(Minggu, 29 November 2009)

Yer 33:14-16;
1 Tes 3:12 – 4:2;
Luk 21:25-28.34-36

Mulai minggu ini kita memasuki masa adven, masa persiapan rohani menyongsong perayaan Natal. Selama 4 minggu kita menyemarakkan masa adven ini. Dalam masa adven pertama ini merupakan masa penantian dan merenungkan misteri kedatangan mulia Kristus pada akhir zaman.
Tanda-tanda kedatangan-Nya digambarkan, sebagai hari yang menakutkan, alam semesta akan bergoncang dan membuat manusia mati ketakutan. Tetapi penginjil Lukas memberikan harapan baru: Pada saat itu juga orang "akan melihat Anak Manusia datang dalam awan dengan segala kekuasaan dan kemuliaan-Nya" “Jika semuanya itu mulai terjadi, bangkitlah, angkatlah mukamu, sebab pembebasanmu sudah dekat.” Hal ini mendorong kita untuk selalu berpengharapan dengan bersiap siaga menyambut kedatangan-Nya.

Bagaimana persiapan kita?
Bagi kita kedatangan Tuhan tidak harus membuat kita takut dan cemas, tetapi kita sambut dengan suka cita dan siap siaga. Kita sambut dengan iman dan harapan. Dalam kegembiraan menyambut kedatangan Tuhan tidak menekankan pentingnya persiapan hal-hal materi, tetapi lebih persiapan hati dan iman. Malah dalam Injil diungkapkan dengan tegas, “Jagalah dirimu, supaya hatimu jangan sarat oleh pesta pora dan kemabukan serta kepentingan-kepentingan duniawi, dan supaya hari Tuhan jangan dengan tiba-tiba jatuh ke atas dirimu seperti suatu jerat.” Tetapi berjaga-jagalah senantiasa sambil berdoa, supaya kamu tahan berdiri di hadapan Anak Manusia. Demikian juga dalam bacaan kedua, Paulus menegaskan pentingnya kita hidup tidak bercacat dan kudus pada waktu kedatangan Tuhan kita.

Lalu langkah apa yang tepat dalam menyambut kedatangan-Nya pada masa adven pertama ini, agar hidup kita berkenan kepada Allah?
Menjalani kehidupan sehari-hari seperti biasa dengan siap siaga, menanti dengan gembira, optimisme dalam pengharapan, sikap tobat dan berpaling kepada Allah. Bertobat artinya, menata hati dan pikiran, perkataan dan perbuatan serta menerima Yesus sebagai Juru Selamat kita. Dengan demikian pesan kedatangan-Nya bukan sebagai malapetaka dan bencana melainkan sebagai berkat. Sebab kedatangan-Nya bukan mau menghakimi tetapi sebagai Penyelamat. Ia datang untuk menunjukkan kepada kita bahwa Allah mencintai manusia dan menginginkan manusia selamat.

Untuk itu marilah kita berdiri di hadapan Anak Manusia dan tidak takut apa-apa dengan membuka hati untuk keselamatan yang ditawarkan Tuhan. Keterbukaaan hati yang memungkinkan Tuhan diterima dan didengarkan. Keterbukaan hati itulah juga yang memungkinkan kita berkomunikasi dengan Allah, dan hidup dengan pengharapan bukan dengan ketakutan dan kecemasan dalam Yesus Kristus sebagai pribadi pembaharu peradaban manusia. (FX. Mgn)

Kamis, 19 November 2009

HR RY KRISTUS RAJA SEMESTA ALAM/B. Minggu, 22 November 2009


Dan 7:13-14;
Why 1:5-8;
Yoh 18:33b-37
Setiap akhir tahun liturgi kita merayakan Hari Raya Kristus Raja Semesta Alam. Apa makna hari raya ini bagi penghayatan iman kita? Sungguhkah Kristus berkuasa dan pantas menjadi Raja atas alam semesta? Dan apa konsekuensinya manakala kita mengakui Kristus sebagai raja kita?

Menurut pandangan banyak orang, seorang raja selalu dilihat sebagai seorang yang mempunyai kekuasaan yang luar biasa, raja yang tinggal di istana yang megah, memiliki pasukan khusus, kaya raya dan hidupnya mewah. Namun Yesus mempunyai pandangan yang berbeda. Ini terungkap ketika Pilatus menanyai Yesus, apa betul Ia itu raja orang Yahudi?
Yesus pun mengakui bahwa Ia adalah Raja, namun kerajan-Nya bukan dari dunia sini. Raja yang wilayah kekuasaan dan pemerintahannya tidak dibatasi oleh dunia. Dia bukan raja yang akan memegang kekuasaan seperti Daud, walau memang Ia keturunan Daud. Raja yang memerintah dengan cinta kasih. Yang Ia lakukan adalah membantu yang lemah dan miskin. Ia menggandakan roti untuk 5000 orang, mengusir roh jahat, menyembuhkan segala penyakit dan menghidupkan orang mati. Ia mau menjadi raja di hati setiap orang. Ia datang sebagai Raja yang membawa dan mengajarkan kebenaran ilahi kepada dunia. Ia mengajarkan agar para pemimpin tidak munafik tetapi melayani rakyatnya. Ia datang ke dunia untuk bersaksi akan kebenaran.

Itulah sebabnya Ia menjadi penghalang bagi orang-orang yang sedang berkuasa dan mereka-mereka yang tidak sepenuhnya hidup menurut kebenaran. Maka dapat dimengerti bahwa Yesus yang sepenuhnya hidup dari kebenaran dan membela kebenaran, lebih dimusuhi dan diharapkan kematian-Nya. Mereka menjerat-Nya dengan tuduhan palsu dan membunuh-Nya. Tampaknya, “kebenaran” dapat membuat hati orang lain tertekan. Tetapi menarik, bahwa kebenaran ini akhirnya menang. Walau Ia dihukum mati dan Ia mati di kayu salib, namun dengan kebangkitan-Nya, justru Yesus dijadikan Raja untuk semesta alam, yaitu Raja yang membawa kebenaran dan keadilan kepada umat manusia melalui darah-Nya. Ia menjadi Raja justru melalui penyaliban-Nya.

Injil mewartakan Yesus sebagai Mesias dari Tuhan. Dalam arti itu, ia memiliki martabat raja. Namun demikian, wujud martabat itu bukan kecermelangan duniawi melainkan kelemahlembutan, kesederhanaan, kemampuan ikut merasakan penderitaan orang dan mengajarkan kepada orang banyak, siapa Ia itu sesungguhnya.
Dengan merayakan Kristus Raja Semesta Alam, dirayakan juga kebesaran manusia, kebesaran martabat manusia sejati yakni manusia seperti yang dikehendaki Pencipta. Raja yang lahir dalam kemanusiaan yang sederhana, tapi yang juga mendapat perkenan Yang Maha Kuasa. Yesus menjadi Pribadi yang penuh kuasa, berwibawa dalam perkataan dan perbuatan. (Mrk 1:27; Luk 4:32; Luk 24:19). Perkataan dan perbuatan-Nya membuat orang lain menemukan kebenaran sejati, membuat banyak orang tertarik kepada-Nya dan menjadi pengikut-Nya. (FX. Mgn)

Rabu, 11 November 2009

MENYONGSONG AKHIR ZAMAN DENGAN MENGANDALKAN SABDA TUHAN DAN MENGIKUTI KEHENDAK-NYA

MG BIASA XXXIII/B
Dan 12:1-3; Ibr 10:11-14; Mrk 13:24-32

Peringatan yang disampaikan Yesus tentang datangnya akhir zaman yang ditandai dengan siksaan-siksaan dan perubahan alam, banyak yang menanggapi dengan membuat ramalan-ramalan kapan akan terjadi, namun belum pernah satupun ramalan itu terbukti.
Kita percaya, bahwa dunia ini akan berakhir. Kapan datangnya semua orang tidak tahu, Putra Manusia pun tidak tahu, hanya Bapa sendiri yang tahu.

Memang kalau kita memperhatikan bacaan pertama hari ini, akhir zaman digambarkan sebagai saat penghakiman. Demikian pula Sabda Yesus dalam Injil menyebut gejala-gejala alam yang akan menyertai datangnya akhir dunia, sangat mengejutkan dan menakutkan. Apa yang disampaikan Yesus bisa membuat ketegangan dan kegelisahan hati. Hal ini ada kesan bahwa penghakiman terakhir akan segera tiba.
Di balik gambaran yang menakutkan itu, Yesus sebenarnya mau berpesan kepada para murid dan kita semua sebagai pengikut-Nya supaya berjaga-jaga dan penuh pengharapan. Bila saat itu tiba, agar kita siap dan dengan ikhlas meninggalkan segala-galanya untuk ikut bersama-Nya.

Bagaimana mempersiapkan hal itu?
Masalah akhir zaman, sebaiknya kita tidak perlu memikirkan kapan itu terjadi. Yang perlu bagaimana kita mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Setiap hari merupakan hari yang kita siapkan, kita rencanakan, kita isi dalam Tuhan. Jika kita selalu mengikuti kehendak-Nya dan menjalankan Sabda Allah dengan penuh iman adalah merupakan persiapan menyongsong datangnya akhir zaman. Dengan membuat niat untuk terus-menerus bertobat, memperbaiki diri, mendekatkan diri kepada Tuhan, selalu berdoa dan tekun berbuat baik merupakan sikap berjaga-jaga. Berjaga-jaga dengan penuh pengharapan, karena saat yang akan tiba adalah saat pengampunan dan saat keselamatan.

Dengan mengikuti kehendak-Nya dan mengandalkan Sabda-Nya, kita akan siap memasuki hidup abadi bersama Dia. Seperti pesan-Nya bahwa langit dan bumi akan berlalu tetapi Sabda-Nya tidak akan berlalu. Di samping berjaga-jaga, kita harus yakin dan selalu bersyukur atas belas kasih Allah dalam Yesus Kristus yang selalu mengalir deras dalam diri kita. Inilah sumber pengharapan iman kita. (FX. Mgn).

Jumat, 06 November 2009

MEMBERI BERDASARKAN IMAN, BUKAN MEMBERI DENGAN HITUNG-HITUNGAN

MG BIASA XXXII/B
1 Raj 17:10-16;
Ibr 9:24-28;
Mrk 12:38-44

Cinta kasih akan nampak bila dinyatakan dalam tindakan. Seringkali kita berbicara tentang cinta kasih, tetapi begitu untuk membuktikan kita pikir-pikir dulu dan berhitung dulu. Semua pengeluaran uang harus dengan perhitungan yang cermat. Apa lagi pada masa keuangan seret, wajar jika orang membuat skala prioritas. Yang dianggap terpenting didahulukan, yang lain terpaksa diabaikan.

Seperti sikap janda di Sarfat ketika Nabi Elia datang minta dibuatkan roti. Mulanya ia menolak karena tepung miliknya tinggal segenggam lagi. Hanya cukup untuk dimakan berdua bersama anaknya. Ini prioritas pertama! Namun, Elia memberinya janji ilahi. Jika sang janda berani membalik prioritasnya dengan mendahulukan pemberian untuk sang hamba Tuhan, tepung itu tak akan habis. Janji ini tampaknya tak masuk akal, tetapi sang janda mengimani. Mukjizat pun terjadi. Ia bisa memberi, tetapi tetap berkecukupan!

Begitu juga janda miskin yang memberikan seluruh harta milknya dua keping uang ke dalam peti persembahan bukan berarti ia tidak dengan perhitungan. Janda miskin itu mengorbankan segala milik duniawinya sebagai kesaksian atas imannya akan Sabda yang memberi kehidupan secara lebih jujur. Dalam kemiskinannya ia menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan dan dengan begitu ia mengungkapkan imannya yang mendalam. Ia memberikan segala-galanya yang ia miliki kepada Tuhan karena menganggap Tuhan lebih penting daripada keperluan hidupnya sendiri.

Demikian juga, Allah yang mau mengambil resiko mengorbankan Putra-Nya sendiri, agar manusia bersedia mengorbankan dirinya. Manusia dituntut mau mengorbankan yang mereka miliki. Dengan tidak segan-segan mempersembahkan yang kita miliki kepada Tuhan, maka pada saatnya Tuhan akan memberikan yang lebih banyak dan berarti bagi hidup kita. Tuhan akan memberikan berlipat ganda, bila kita rela mempersembahkan yang kita miliki kepada-Nya.

Semoga cerita tentang dua janda tadi menggerakkan kita untuk memberi dan berbagi untuk kehidupan orang lain. Memberi berdasarkan iman bukan memberi dengan hitung-hitungan. Karena Allah telah memberi kehidupan kita dengan segala kemurahan-Nya dan berkat-Nya tanpa perhitungan. Allah tidak pernah menarik dan meminta kembali. Bahkan Allah justru meminta kita untuk membagi-bagikan pemberian-Nya itu kepada sesama yang membutuhkannya. (FX. Mgn)

Rabu, 28 Oktober 2009

PERINGATAN ARWAH SEMUA ORANG BERIMAN (TGL 2 NOV)

Kerahiman Allah dalam diri Yesus mengalir deras dalam jiwa penjahat yang berbahagia itu.

2 Kor 4:14-5:1;
Mzm 130:1-2. 4. 5-6a. 6-7. 8;
Lk 23:33. 39-43

Kematian merupakan saat yang pasti dan dialami oleh setiap orang. Apa pun usaha kita, juga dokter dan tabib untuk mempertahankan nyawa saudara-saudara kita bahkan yang paling kita kasihi, kalau sudah saatnya akan berpulang ke hadirat Tuhan. Maut memberi kenyataan bahwa hidup mempunyai keterbatasan. Hidup kita mempunyai awal dan mempunyai akhir.

Namun demikian bagi orang kristiani tidaklah sendirian menghadapi kematian itu. Kematian merupakan awal kehidupan baru, karena orang kristiani mempunyai kekuatan khusus, yaitu Kristus. Allah yang telah membangkitkan Tuhan Yesus akan membangkitkan kita juga bersama-sama dengan Yesus. (2 Kor 4:14). Allah telah menyediakan kediaman di surga bagi kita, tempat kediaman kekal yang bukan buatan tangan manusia. (2 Kor 5:1).
Dan Kristus sendiri berjanji akan membawa ke surga bagi yang percaya dan mau bertobat. Seperti dalam Injil dikatakan seorang penjahat yang bertobat dan percaya kepada Yesus, memohon: “Yesus ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai Raja.” Maka pada saat itu juga Yesus berkata: “Sekarang juga kamu akan bersama Aku di Firdaus.” (Luk 23:43).
Yesus tidak hanya mengingat penjahat itu, tapi membawa serta orang tersebut ke dalam firdaus hari ini! Dialah orang yang pertama kali memasuki Firdaus bersama Yesus. Ungkapan si penjahat: ”Kita memang selayaknya dihukum, sebab kita menerima balasan yang setimpal dengan perbuatan kita, tetapi orang ini tidak berbuat sesuatu yang salah." (Luk 23:41). Ini merupakan kesadaran diri sebagai yang salah tanpa pembenaran diri, berhati remuk redam, dan berharap akan belas kasih Allah. Itulah yang membuat Kerahiman Allah dalam diri Yesus mengalir deras dalam jiwa penjahat yang berbahagia itu.
Pertobatan penjahat tadi mengingatkan kita, bahwa kita pun harus bertobat. Pertobatan membawa kita kembali kepada Yesus. Pertobatan membawa kita ke suatu suasana damai dan bahagia bersama-sama dengan Yesus di surga.

Bagi mereka yang telah mendahului kita.
Bagi mereka yang sudah meninggal dan sudah diterima Tuhan, kita percaya bahwa mereka akan menikmati kerajaan abadi di surga yang diliputi suasana gembira dan bahagia. Dan kita percaya, bahwa mereka juga bisa menjadi pengantara doa-doa kita yang masih di dunia ini.
Di sisi lain bagi mereka yang belum diterima Tuhan dan masih menunggu pemurnian jiwanya di api pencucian, menjadi kewajiban kita yang masih di dunia ini mendoakan mereka mohon belas kasih Allah.
Maka pada peringatan semua arwah orang beriman ini, mereka yang sudah meninggal atau yang sudah mendahului kita: keluarga kita, orang tua, anak, saudara atau kerabat kita akan memperoleh idulgensi penuh, kalau kita doakan setiap hari selama peringatan arwah beriman mulai tanggal 2 s/d 8 November. Selanjutnya, kalau kita doakan pada hari-hari lain akan memperoleh idulgensi sebagian.
Pada saat yang sama sudah menjadi tradisi, kita juga bisa berziarah makam leluhur dan membersihkan makamnya serta berdoa bagi mereka. Karena kita percaya persahabatan kita dengan yang meninggal tidak berhenti pada mereka ketika masih hidup di dunia, tetapi berlanjut pada kehidupan lain atau kehidupan baru di akhirat. Itulah sebabnya Gereja percaya akan “persekutuan orang kudus.” (FX. Mgn)

Senin, 26 Oktober 2009

HARI RAYA SEMUA ORANG KUDUS

ORANG KUDUS,
HIDUP MENURUT SABDA BAHAGIA

Why 7:2-4. 9-14;
1 Yoh 3:1-3;
Mat 5:1-12a

Siapakah yang berbahagia?
Menurut Sabda Bahagia, mereka adalah ”orang-orang yang miskin di hadapan Allah ... yang dianiaya karena kebenaran ... yang dicela dan dianiaya karena Kristus ...” Dan menurut pemazmur, ”orang-orang yang bersih tangannya dan murni hatinya, yang tidak menyerahkan diri kepada penipuan ... dan yang mencari wajah Allah.” Orang-orang seperti itulah yang berbahagia dan mereka semua telah menjadi orang-orang kudus, yang hari ini kita rayakan.

Keinginan menjadi orang kudus ada tetapi kenyataan hidup kita berbeda. Sejujurnya kita ini tidak layak di hadapan Tuhan maupun dengan sesama. Kita penuh dosa, kelemahan dan kekurangan. Menyadari hal ini orang seperti kita ini berpikir; mungkinkah bisa menjadi orang kudus?
Namun kalau kita memperhatikan para kudus awalnya mereka juga bukan tanpa cacat dan cela. Mereka mempunyai kelemahan dan kekurangan. Mereka mengalami jatuh bangun dalam perjalanan hidupnya, yang pada akhirnya mereka menyadari dan mengerti akan karya Allah dalam kehidupannya. Mereka bertobat dan menyerahkan diri kepada Tuhan. Karena Tuhan memanggil orang berdosa bukan orang yang ”sudah suci”. Para kudus itu berbahagia karena mereka telah memelihara iman dan mengikuti Kristus sampai akhir.

Bagaimana dengan kita?
Harus diakui, semua orang pasti menginginkan hidup bahagia, kaya dan banyak uang. Dengan kekayaan bisa menikmati kebahagiaan hidup. Bagaimana orang miskin bisa bahagia? Menurut Sabda Bahagia tadi bertentangan dengan kenyataan dan harapan kita. Apa yang disampaikan dalam Sabda Bahagia itu berat, tidak mudah dan menuntut perjuangan yang tidak ringan.
Tetapi bila kita bisa ”bersemangat miskin” dan berserah kepada Tuhan secara penuh akan lebih tenteram hidup kita. Kita tetap gembira meski hidup sederhana karena yang kita pegang adalah Tuhan. Orang yang pasrah dan menyerahkan diri kepada Tuhan itulah yang berbahagia menurut Kitab Suci. Harapan dan cintanya hanya tertuju kepada Allah. Allah menjadi pusat utama dan pertama dalam kehidupannya sebagai manusia.

Marilah kita kita kembali merenungkan Sabda Bahagia itu, dengan mengambil contoh pada mereka yang telah memperoleh kebahagiaan di surga:
Seperti Fransiskus Asisi berbahagia karena ia telah memilih hidup miskin dan hidup bersama orang miskin untuk menebarkan kasih Allah dengan melayani banyak orang. Kita juga bisa belajar pada Ibu Teresa yang sepanjang hidupnya dibaktikan kepada orang miskin, orang sakit dan para gelandangan. Santa Monica berbahagia yang selama hidupnya menangis dan berduka karena kelakuan anaknya. Ia berdoa dan memohon kepada Tuhan agar anaknya bertobat, dan akhirnya ia menyaksikan bertobatnya Santo Agustinus anaknya.
Kita pun bisa berbahagia kelak, bila setiap hari mencari kebenaran sejati karena haus akan kebenaran dan berusaha hidup menurut kebenaran dalam Sabda Bahagia itu. (FX. Mgn)

Selasa, 20 Oktober 2009

GURU, SEMOGA AKU MELIHAT

MG BIASA XXX/B
Yer 31:7-9; Ibr 5:1-6;
Mrk 10:46-52

Seringkali kita menjumpai orang yang merasa kecil hati, rendah diri dan selalu minta dikasihani karena cacat tubuhnya. Seperti Bartimeus yang buta, ia terpaksa mengemis dan menantikan belas kasihan orang. Tetapi ada juga orang cacat tubuhnya lebih percaya diri dan mampu melakukan aktifitas layaknya orang yang normal, tidak mau diperlakukan istimewa. Dalam hal ini harus diakui bahwa orang yang tidak bisa melihat malah mempunyai banyak kelebihan daripada orang yang bisa melihat. Mereka mampu mengenali orang lain dan jalan walau tidak bisa melihat, karena mengandalkan perasaan dan pendengarannya.

Dalam Injil dikatakan bahwa Yesus dalam perjalanan-Nya bersama murid-murid-Nya dan diikuti banyak orang, keluar Yerikho menuju Yerusalem. Rombongan Yesus terhenti karena jalannya terhalang oleh para pengemis yang minta sedekah.
Ketika mendengar bahwa Yesus lewat di situ maka Bartimeus berseru: ”Yesus, anak Daud kasihanilah aku!” Para rombongan menegurnya supaya ia diam, namun Bartimeus semakin keras berseru: ”Anak Daud kasihanilah aku!”

Melihat hal ini Yesus tergerak hati-Nya dan memanggilnya, dan bertanya: ”Apa yang kamu minta, Aku lakukan?” Jawab Bartimeus: ”Tuhan, supaya aku melihat.” Yesus berkata: ”Pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau!” Maka ia melihat. Ia dibukakan mata hatinya sehingga melihat cinta kasih Tuhan. Bartimeus melihat sendiri bahwa Tuhan yang memberikan hidup baru baginya. Berkat imannya, Bartimeus telah sembuh dari kebutaan. Kemudian Bartimeus memilih untuk mengikuti Yesus ke Yerusalem, sebagai saksi bagi orang lain untuk menjumpai Yesus.

Bagaimana dengan kita?
Kadang kita yang ”melek” ini malah ”buta” seperti para murid yang sudah sekian lama bergaul dengan Yesus, dan setiap hari bersama Yesus tetapi tidak mengenal-Nya. Sebaliknya Bartimeus yang dianggap buta oleh semua orang, dapat melihat dan percaya bahwa Yesus adalah Mesias. Seringkali kita ini dianggap orang kristiani yang umum. Sekedar ikut macam-macam kegiatan Gereja, tetapi belum mengenal Yesus secara pribadi. Kita menghafal banyak ajaran iman Gereja dan mengerti tradisi Gereja tetapi belum menjadi keyakinan pribadi.

Semoga penyembuhan Bartimeus adalah juga penyembuhan bagi kita dan para murid yang lain, sehingga mereka mangakui bahwa Yesus adalah Mesias. Dan marilah kita datang kepada Yesus mohon disembuhkan, mohon dijamah dan dibukakan hati kita. Dengan melihat Tuhan tentu akan membuat kita juga dapat melihat sesama kita secara jelas akan kesulitan dan keterbatasan mereka. Dengan melihat Tuhan akan memurnikan iman kita kepada-Nya, yaitu iman sejati yang dapat melihat Yesus adalah Mesias. (FX. Mgn)

Selasa, 13 Oktober 2009

IA DATANG UNTUK MELAYANI DAN MENYERAHKAN NYAWANYA BAGI SEMUA ORANG

MG BIASA XXIX/B
Yes 53:10-11; Ibr 4:14-16;
Mrk 10:35-45

Tidak ada orang yang menginginkan penderitaan. Semua manusia menginginkan kehidupan yang baik, posisinya yang enak dan dihormati banyak orang. Seperti keinginan Yakobus dan Yohanes untuk bisa duduk di samping Yesus pada hari kemuliaan-Nya kelak.
Dalam keinginan Yakobus dan Yohanes ini, rupanya ada kesan bahwa Yesus tidak segera mengiyakan. Yesus tidak ingin para murid-Nya melupakan jalan penderitaan yang harus ditempuh sebelum menerima anugerah kemuliaan kekal. Selain itu, Ia tidak mau merebut hak Bapa-Nya. Bapa sendirilah yang akan menentukan kepada siapa anugerah itu diberikan, yang menurut-Nya dipandang-Nya layak. Anugerah hanya bisa diandalkan dari kebaikan hati Allah.

Dalam hal ini rupanya para murid masih belum paham. Mereka lupa bahwa Yesus pernah mengatakan: ”Barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah menjadi hamba untuk semuanya. Barangsiapa ingin menjadi besar, hendaklah ia menjadi pelayanmu.” demikian Tuhan menasihati para murid-Nya yang masih berebut kedudukan. Dan tambah-Nya, ”Karena Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.” Mengapa? Karena Tuhan sangat mencintai manusia dan ingin agar semua orang menemukan keselamatan Allah.

Bagaimana dengan kita?
Seringkali kita pun dalam melakukan perbuatan baik disertai harapan-harapan tertentu. Dibalik segala macam perbuatan kita tersembunyi keinginan memperoleh pahala, minta hak istimewa, posisi yang baik dan jabatan yang enak serta tempat terhormat. Kita lupa bahwa tempat terhormat itu bukan tujuan utama tetapi sarana untuk bisa saling melayani. Perbuatan baik akan berkurang nilainya jika tidak disertai sikap pelayanan yang tulus dan rendah hati.

Lalu pelayanan bagaimana yang harus kita lakukan bagi sesama?
Pelayanan yang bukan sekedar menawarkan harta, tetapi pelayanan yang kalau perlu mengorbankan hidup, waktu dan tenaga kita. Pelayanan yang tidak hitung-hitungan. Pelayanan berarti memberikan waktu yaitu mau mendengarkan keluhan orang lain dan pendapat orang lain. Pelayanan juga dapat berupa mendoakan. Misalnya mendoakan orang sakit agar mereka teguh imannya, bangkit kembali semangatnya dan berharap bahwa Tuhan mengasihinya.

Dengan melayani tentu ada resiko yang kita hadapi; lelah, tidak bisa santai, menuai kritik, bahkan malah dicela orang. Namun kita tidak perlu takut untuk melayani, sepanjang tidak ada pamrih-pamrih apa pun.
Seperti para pejuang kemerdekaan yang rela gugur di medan perang, agar bangsanya dapat hidup merdeka. Kita melihat banyak orang harus menjalani sengsara di penjara atau dibrangus kreativitasnya, karena memperjuangkan kebebasan dan keluhuran nilai manusia. Mereka rela menderita karena memperjuangkan keadilan, demi kebaikan hidup orang-orang kecil. Mereka-mereka ini seperti Yesus, rela mengorbankan nyawa-Nya untuk menjadi tebusan bagi banyak orang. (FX. Mgn)

Senin, 05 Oktober 2009

JUALLAH SEMUA HARTA MILIKMU DAN IKUTLAH AKU.

MG BIASA XXVIII/B
Keb 7:7-11;
Ibr 4:12-13;
Mrk 10:17-30

Lebih mudah seekor unta melewati lubang jarum daripada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah. (Mrk 10:25)
Terbayang dalam pikiran kita tentang jarum jahit yang lubangnya sangat kecil dan sempit. Hal itu, tidak mungkin seekor unta besar dan tinggi dapat melewati lubang jarum jahit.
Perkataan Yesus tentang lebih mudah seekor unta melewati lubang jarum daripada seorang kaya masuk dalam Kerajaan Allah, menggambarkan betapa sulitnya seorang kaya mengikuti kehendak Tuhan, karena orang kaya dan kekayaannya menjadi halangan terbesar untuk melaksanakan perintah Allah.

Seperti dalam Injil tadi seorang pemuda kaya telah melakukan hal-hal yang baik sesuai dengan hukum Taurat, bertanya kepada Yesus apa syaratnya supaya memperoleh hidup yang kekal. Pemuda kaya tadi diperintahkan Yesus agar menjual seluruh harta bendanya dan membagikannya kepada orang miskin, kemudian mengikuti Dia. Mendengar perintah itu, pemuda kaya tadi mukanya muram dan kecewa berat lalu pergi dengan sedih karena ingat akan hartanya yang banyak harus ditinggalkan. Keputusannya jadi berubah total berbalik dari Yesus, sebab ia lebih mencintai hartanya daripada hidup kekal yang tadinya menjadi pusat perhatiannya. Berarti ia gagal dipanggil ke dalam Kerajaan Allah yang menuntut penyangkalan diri total. (Mrk 8:34)

Hal demikian itu mungkin juga terjadi pada diri kita kalau sudah menyinggung soal harta milik. Kita sangat terikat akan harta kekayaan dan sulit sekali keluar dari lilitan duniawi. Lebih tertarik mencintai harta daripada mencintai Yesus untuk hidup yang kekal. Lebih mudah berbalik meninggalkan Yesus daripada meninggalkan harta yang kita cintai. Apa lagi kalau untuk berkorban dan berbagi kepada sesama, itu merupakan gagasan yang tidak menarik.

Tuntutan Yesus untuk menjual harta milik dan membagikan kepada orang-orang miskin bukan berarti Ia membenci orang kaya dan hanya memihak orang miskin tetapi Ia mengharapkan agar orang memandang kekayaan sebagai sarana untuk menunjang hidup fisik. Harta kekayaan duniawi tidak boleh dipandang sebagai jaminan hidup kekal. Memang kekayaan tidak dengan sendirinya membuat orang jahat dan buruk, sepanjang orang mampu menggunakannya dengan tepat dan tidak hanya mengandalkan hidupnya melekat pada kekayaannya. Bahkan orang kaya bisa membantu semua orang menjadi sejahtera bila memiliki rasa syukur atas kelimpahan kekayaannya karena ia melihat Kerajaan Allah.

Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa hanya yang tidak lekat pada harta duniawi dan mengandalkan Allah, entah kaya atau miskin akan masuk ke dalam Kerajaan Allah. Dengan kata lain yang menentukan seseorang bisa masuk dalam Kerajaan Allah dan memperoleh hidup kekal bukan soal kaya atau miskin harta tetapi sikap seseorang terhadap hartanya itu. Meskipun orang miskin harta tetapi lekat pada harta miliknya yang memang hanya sedikit itu maka ia tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Allah. Sebaliknya orang kaya yang tidak menggantungkan diri pada kekayaannya semata dan rela berbagi kepada sesama yang membutuhkan, orang itulah yang akan masuk ke dalam Kerajaan Allah.
Marilah kita memilih pekerjaan atau status hidup yang tepat demi masa depan agar memperoleh anugerah hidup kekal dalam Kerajaan Allah dan layak menjadi pengikut-Nya. (FX. Mgn)

Senin, 28 September 2009

APA YANG TELAH DIPERSATUKAN ALLAH, JANGANLAH DIPISAHKAN MANUSIA.

MG BIASA XXVII/B
Kej 2:18-24; Ibr 2:9-11;
Mrk 10:2-16

Pengalaman orang tua kita dulu ketika mau menikah ya menikah saja. Modalnya hanya “niat dan nekad”. Namun hidup perkawinannya selamat dan abadi sampai usia lanjut. Tidak banyak alasan seperti pasangan orang muda sekarang.

Pasangan pernikahan di zaman modern ini terlalu banyak berhitung dan pertimbangan tetapi dengan mudahnya mereka bercerai dan kawin lagi. Menurut perhitungan mereka asal sudah memiliki materi yang cukup, rumah atau apartemen yang nyaman, pekerjaan yang mapan, dianggap memenuhi syarat untuk mengarungi biduk pernikahan. Tetapi mereka lupa mempersiapkan mental dan psikis; mereka tidak siap ketika dalam perjalanan rumah tangganya menghadapi rintangan. Kemudian sifat-sifat negatifnya yang tadinya tidak nampak sekarang muncul. Mulailah perang kata-kata, ”ternyata dia kasar”, ”dia pemarah bahkan menyakiti dan maunya berkuasa saja”. Dan yang lain juga mengungkapkan, ”ternyata dia pemalas”, ”hanya bersolek dan tidak bisa masak”, ternyata ... dst.

Seringkali yang menjadi persoalan dalam rumah tangga karena perbedaan pendapat dan tekanan ekonomi, kemudian dengan mudah mereka mengambil jalan pintas bercerai. Mereka lupa bahwa dalam perkawinan Kristen tidak ada perceraian; karena itu seorang suami yang menceraikan istrinya, kecuali karena zinah lalu kawin lagi dengan perempuan lain, lelaki itu berzinah (Mark 10:11). Demikian juga sebaliknya bagi istri menceraikan suaminya kemudian kawin dengan laki-laki lain, juga dianggap berbuat zinah (Mark 10:12). Dalam hal ini Yesus menolak dengan tegas dispensasi yang diberikan Musa mengenai perceraian (Ul 24:1-4). Seperti ajaran-Nya, Yesus menegaskan bahwa apa yang dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia (Mark 10:7-9).

Mencermati hal itu, pentingnya pasangan memahami tujuan perkawinan; yaitu melalui perkawinan agar manusia dapat menikmati kebahagiaan, memperoleh ketenteraman dalam hidupnya dan memiliki hidup yang seimbang. Mau saling berbagi dan saling mamahami kekurangan masing-masing. Semua persoalan hidup, susah atau senang dihadapi bersama suami dan istri. Berjalan dan maju bersama dalam untung atau malang. Untuk itu menurut Tuhan tidak baik manusia itu seorang diri saja, maka Tuhan memberi penolong yang sepadan dengan dia. Bagi pria ataupun wanita beranggapan kalau masih sendiri itu belum sempurna. Kemudian manusia mengharapkan pasangan hidup yang sepadan dan sederajat untuk saling melengkapi, saling menyempurnakan dan saling membahagiakan diri mereka. Kesempurnaan itu ditemukan dalam perkawinan.

Di dalam perkawinan itu ada satu segi pandangan yang menyatakan, bahwa seorang suami maupun seorang istri menuntut cinta yang mutlak dan tak terbagi dari pasangannya. Cinta itu menyeluruh dan tidak bisa diceraikan sepanjang hidup. Laki-laki dan perempuan itu menyatu erat dalam perkawinan. Keduanya menjadi satu daging.
Dari situlah sejak awal Tuhan menciptakan pria bagi wanita, dan wanita bagi pria. Satu tak terpisahkan itulah cita-cita Allah mengenai perkawinan. Dari perkawinan yang monogam itulah mereka saling menemukan, saling melengkapi dan bersama-sama membangun diri. Bukan begitu ada masalah lekas bercerai, tetapi harus berusaha mengampuni dan berbaikan lagi demi keutuhan rumah tangga. (FX. Mgn)

Senin, 21 September 2009

RAHMAT DAN KESELAMATAN BERLAKU BAGI SIAPA PUN YANG BERKENAN KEPADA TUHAN

MG BIASA XXVI/B
Bil 11:25-29; Yak 5:1-6;
Mrk 9:38-43.45.47-48

”Tidak seorang pun yang telah mengadakan mukzijat demi nama-Ku, dapat seketika juga mengumpat Aku. Barang siapa tidak melawan kita, ia ada di pihak kita”. Demikian Yesus menegor para murid-murid-Nya, yang tidak senang karena ada orang di luar kelompok mereka berbuat kebaikan.
Yesus sebagai pencetus cinta kasih dan tokoh kebaikan berharap semua juga melakukan, meskipun bukan pengikut-Nya. Ia mengatakan, bahwa ada juga kebaikan di luar kelompok-Nya.

Sementara ini, pandangan dan penilaian kita suka keliru. Sering kali kita menganggap yang bisa melakukan kebaikan adalah kelompok kita sendiri. Orang lain seolah-olah tidak bisa melakukannya. Malahan yang terjadi mereka kadang-kadang kebaikannya jauh dari yang kita duga.

Mencermati hal itu usaha-usaha kita untuk semakin mendalami warta Injil dan meyakini kehendak Tuhan dalam menyelamatkan kita, perlu kita bina dan wujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Mewujudkan kebaikan Tuhan dan kehendak-Nya untuk bekerja sama dengan siapa saja, membuka diri dan bersaudara dengan siapa pun juga untuk kebaikan. Berjuang demi kebaikan manusia dan dunia kita hidup tidak harus menolak kelompok lain.
Dengan melihat orang lain berbuat baik, ide atau gagasan itu pasti datangnya dari Pribadi yang kita ikuti. Jika orang lain yang bukan pengikut Yesus bisa berbuat baik, bukankan ini merupakan peringatan atas kealpaan kita. Mestinya harus bisa melakukan kehendak-Nya dengan berbuat lebih banyak dan lebih nyata sesuai dengan iman kita. Di mana banyak orang mengalami kesulitan untuk bisa memenuhi kebutuhan hidupnya, di situlah kita dituntut membuktikan iman kita dengan lebih peduli kepada sesama hidup. Tidak harus iri atau mengecam mereka yang lebih dahulu tanggap dan berbuat baik.

Dalam hal ini Yesus menegor dengan keras bila kita malah menjadi halangan bagi orang lain untuk berbuat baik. Yesus menghendaki supaya para pengikut-Nya rela menghindarkan diri dari kejahatan agar lebih layak menerima anugerah keselamatan dalam Kerajaan Allah. Karena rahmat dan keselamatan berlaku bagi siapa pun juga yang berkenan kepada Tuhan.

Marilah kita terbuka pada kebaikan orang lain. Justru kebaikan mereka menjadi pendorong bagi kita untuk semakin berbuat baik. Semoga rahmat Tuhan selalu beserta kita. (FX. Mgn)

Senin, 14 September 2009

IA MENJADI PELAYAN KESELAMATAN UMAT MANUSIA.

MG BIASA XXV/B
Keb 2:12. 17-20; Yak 3:16 – 4:3;
Mrk 9:30-37

Dengan terus terang Yesus menyatakan bahwa diri-Nya akan mengalami penderitaan dan mati di kayu salib. Yesus mengatakan lebih tegas lagi bahwa Ia akan dibunuh oleh tangan manusia dan tiga hari sesudahnya akan bangkit.
Kali ini, Yesus ingin mempersiapkan iman dan mental para murid untuk menghadapi goncangan jika apa yang dinubuatkan-Nya itu terjadi. Ia juga memberi gambaran yang tepat kepada para murid-Nya bagaimana seharusnya yang mereka lakukan dalam Kerajaan-Nya.

Pernyataan itu malah membingungkan dan membuat khawatir para murid. Mereka segan menanyakan hal itu karena masih trauma sejak Yesus memarahi Petrus yang tidak memikirkan kehendak Allah tetapi hanya memikirkan kehendak manusia. (Mrk 8:33). Dalam pemikirannya para murid masih mempersoalkan siapa yang terbesar di antara mereka. Rupanya waktu itu persoalan status, gengsi dan ambisi melanda para murid-Nya. Mereka masih mengharapkan suatu kerajaan dunia dan politis. Namun Yesus menyatakan bahwa dalam Kerajaan-Nya kelak orang yang terdahulu harus menjadi yang terakhir dan menjadi pelayan semua orang.

Bagaimana dengan kita?
Dalam pemikiran kita pun sulit menangkap pernyataan Yesus itu bila menerimanya secara harafiah. Kita bisa menangkap pesan itu bila menerimanya secara iman. Harapan Yesus bagi pengikut-Nya agar menjadi pelayan di antara semua, maksudnya kita harus saling melayani. Pelayan, bukan berarti status atau posisi sebagai pesuruh atau bawahan tetapi peran kita dalam melayani sesama. Yang menjadi masalah sekarang ini, gengsi dan ambisi juga menjadi masalah bagi kita. Seringkali kita memandang rendah suatu pekerjaan dan memandang rendah orang lain karena kedudukannya. Inginnya memimpin dan memerintah. Kalau kita datang ke rumah orang tertentu seolah-olah menjadi turun derajat kita. Bila kita mengerjakan pekerjaan pembantu membuat rendah diri kita.

Dalam hal ini kita lupa bahwa Yesus sendiri sudah memberi contoh kepada kita; Ia mau melepaskan satus dan keilahian-Nya. Ia menjadikan diri-Nya pelayan keselamatan umat manusia. Yesus telah memberi pengajaran kepada kita begitu pentingnya kesetiaan dan kerendahan hati dalam pelayanan. Sebagai Sang Putra Ia setia pada Bapa-Nya dan taat melaksanakan kehendak-Nya. Seperti yang dilakukan Yesus dalam sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya.

Marilah kita berjalan bersama dalam Tuhan saling melayani bukan minta dilayani, dan tidak iri atau mementingkan diri sendiri agar kita memperoleh buah-buah yang baik yaitu kebenaran dalam damai. (Yak 3:16-17). (FX. Mgn)

Selasa, 08 September 2009

ENGKAULAH KRISTUS, ... PUTRA MANUSIA HARUS MENDERITA BANYAK.

MG BIASA XXIV/B
Yes 50:5-9a; Yak 2:14-18;
Mrk 8:27-35

Ketika Yesus bertanya kepada para murid, “Siapakah Aku ini menurut orang-orang banyak?” Petrus mewakili kawan-kawannya menjawab, Engkaulah Mesias!” Selama ini yang mereka lihat Yesus banyak membuat mujizat; menggandakan roti dan menyembuhkan orang sakit; Yang tuli dijadikan-Nya mendengar, yang bisu dijadikan-Nya berbicara. Di mata Petrus, Yesus adalah sosok pemimpin yang luar biasa. Menurut mereka, Dialah raja dan pemimpin Israel yang paling ditunggu-tunggu kedatangannya. Dengan mengikuti Yesus akan memperoleh masa depan yang enak dan menyenangkan. Begitulah yang terbayang dalam pikiran Petrus dan kawan-kawannya.

Kemudian Yesus mulai mengajar, bahwa Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan, hidup-Nya akan berakhir pada penderitaan, ditolak oleh bangsa-Nya sendiri dan dibunuh lalu bangkit sesudah tiga hari. Mendengar pernyataan Yesus itu, para murid pada kaget. “Kok berbeda dengan ajaran-Nya selama ini.” Biasanya Yesus berbicara dalam perumpamaan-perumpamaan, tetapi kenapa kali ini Yesus mengungkapkan secara terang-terangan tentang akhir hidup-Nya yang tragis. Petrus tidak menerima masa depan yang suram macam itu, lalu Petrus menarik Yesus ke samping dan menegor-Nya, “Kami mengikuti Engkau agar memperoleh kemuliaan dan kebahagiaan, bukan kesengsaraan!”
Melihat protes Petrus itu, Yesus marah dan berkata: “Enyahlah Iblis!” Tegoran keras Yesus tidak hanya ditujukan kepada Petrus semata tetapi kepada para murid, bahkan kepada semua orang yang ingin mengikut-Nya. Reaksi tegas Yesus menunjukkan betapa seriusnya perbedaan pendapat-Nya dengan Petrus. Mereka sama sekali tidak mengerti kehendak Allah. Hanya Yesus yang mengerti dan paham, bahwa Ia taat pada Bapa-Nya dan mau menderita disalib demi banyak orang.

Pertanyaan Yesus kepada para murid tadi juga ditujukan kepada kita sebagai pengikur-Nya. Apakah kita hanya mau enaknya saja tetapi tidak mau susahnya? Pesan Yesus, “Bila mau mengikuti Aku, harus menyangkal diri dan memanggul salibnya.”
Itu bukan berarti sepanjang hidup kita harus menderita terus dan susah terus, tetapi kita harus sadar bahwa hidup di dunia ini sungguh tidak mudah. Diperlukan kesabaran dan ketabahan dalam menghadapi keruwetan dan permasalahan hidup ini.
Harus diakui memang, sekarang mencari sesuap nasi demi keluarga makin susah. Apa-apa mahal, lapangan kerja terbatas. Mau jadi pengamen atau pengasong dikejar-kejar “trantib”. Bahkan jadi pengemis pun sekarang ditangkap. Namun, kita sebagai pengikut-Nya ketika menghadapi penderitaan tidak harus tergoda untuk menyalahgunakan kekuasaan, korupsi misalnya. Di kehidupan masyarakat pun harus siap dikucilkan demi iman; dibenci banyak orang karena tidak sama dengan keyakinan mereka.
Itulah tantangan bagi kita dalam mengikuti Yesus yang menderita. Menghindar dari penderitaan berarti menolak rencana Allah atau hanya mengikuti kehendak Iblis. Dari situlah kita mau menerima Juruselamat yang menderita. Bila seseorang tidak mau menerima Juruselamat yang menderita, sama halnya menolak kehendak Allah, karena hanya Allah yang berhak dan menentukan satu-satunya jalan untuk mengatasi dosa dan kedurhakaan manusia dengan melalui pengorbanan diri Yesus di salib. Dengan salib-Nya, Yesus menjadi teladan kesabaran, kerendahan hati, keberanian, ketulusan dan kasih yang total. Kita yakin bahwa selama di dunia memanggul salib Kristus, tetapi kelak di sorga akan memperoleh kebahagiaan sejati. (FX. Mgn)

Sabtu, 05 September 2009

EFATA!, ARTINYA: TERBUKALAH!


MG BIASA XXIII/B
Yes 35:4-7a; Yak 2:1-5; Mrk 7:31-37

Bicara sedikit keras dikira memarahi, bicara pelan tidak dengar dan dikira "ngrasani". Begitulah susahnya kalau kita bicara dengan orang kurang pendengarannya. Bagi yang kurang pendengarannya susah, yang mengajak bicara ya susah. Orang yang terganggu pendengarannya sangat sulit untuk mendengarkan suara. Bahkan kalau gangguan pendengarannya sejak dari bayi membuat mereka gagu (gagap).
Seperti dalam Injil tadi Yesus berjumpa dengan seorang tuli dan gagap yang dibawa oleh beberapa orang kepada Yesus agar Ia mau menyembuhkan. Dalam penyembuhan itu, Yesus memisahkan dari kerumunan banyak orang. Rupanya Yesus ingin tahu seberapa besar keinginan orang itu untuk disembuhkan. Seberapa besar iman yang dimiliki orang itu. Yesus ingin menyapa dan berkomunikasi secara pribadi. Yesus ingin kontak dari hati ke hati dengan orang itu.
Melihat isyarat dan tanda-tanda yang disampaikan orang itu begitu kuat untuk disembuhkan oleh Yesus, maka Ia berkata, ”Efata! Terbukalah! Dan orang itu lalu bisa mendengar dan berbicara. Menyimak peristiwa penyembuhan tadi tampaknya Yesus sangat menghargai orang itu secara pribadi. Ia menerima orang itu secara penuh sebagai pribadi yang utuh.

Bagaimana dengan kita?
Dalam kehidupan sehari-hari kadang orang menjadi (dibuat) sakit karena direndahkan dan diperlakukan beda karena kekurangannya. Banyak orang menjadi sakit dan kecewa karena tidak dihargai dan didengar pendapatnya. Kita yang diberi telinga untuk mendengar malah sulit untuk mendengar dan tidak menaruh kepeduliannya terhadap hal di sekitarnya. Apakah kita juga tuli? Kita sebagai orang yang beriman kepada Yesus tetapi sering memandang muka. Membedakan orang karena penampilan. Kita lupa bahwa Allah memilih orang-orang yang dianggap miskin oleh dunia untuk menjadi kaya dalam iman dan jadi ahli waris Kerajaan Allah (Yak 2:1-5).
Marilah kita menyimak peristiwa penyembuhan orang tuli dan gagap tadi di mana Yesus sangat peduli kepada orang sakit. Ia menghargai dan menerima orang itu secara penuh sebagai pribadi yang utuh, sebagai pribadi yang dicintai Allah. Tanda bahwa Allah telah datang dengan pembalasan dan ganjaran. Orang buta akan dicelikkan dan telinga orang tuli akan dibuka. Orang lumpuh akan melompat seperti rusa dan mulut orang bisu akan bersorak sorai (Yes 35:4-6). (FX. Mgn)

Selasa, 25 Agustus 2009

TUHAN, KEPADA SIAPAKAH KAMI AKAN PERGI? ENGKAULAH KRISTUS PUTRA ALLAH.

MG BIASA XXI/B
Yos 24:1-2a.15-17.18b;
Ef 5:21-32; Yoh 6:60-69

Masih soal Roti Hidup. Sebelumnya Yesus mengatakan carilah roti kehidupan kekal, yaitu roti yang membuat kenyang abadi. Bekerjalah bukan untuk makanan yang bisa binasa, melainkan untuk makanan yang bertahan sampai kepada hidup yang kekal yang diberikan Allah dari surga. Mereka tetap berteriak-teriak minta roti karena sudah tidak ada yang dimakan. Dan kini Yesus mengatakan: ”Akulah roti hidup yang turun dari surga ”, maka orang-orang Yahudi makin bersungut-sungut dan membuat mereka mundur termasuk para murid karena tidak menangkap dan salah paham. Apalagi ketika Yesus mengatakan, ”Akulah Roti Hidup yang turun dari surga, barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal dalam Aku dan Aku dalam dia.”
Bagi para murid Sabda ini sungguh keras, siapa yang mampu menerimanya. Mereka menangkapnya disuruh makan daging dan minum darah manusia. ”Mana mungkin”. Sebab dalam ajaran mereka tidak diperbolehkan makan dan minum darah orang lain.

Karena itulah banyak orang mulai meninggalkan Dia; hanya tinggal beberapa murid saja yang masih bertahan. Lalu Yesus menantang mereka, ”Apakah kamu tidak mau pergi juga?” Dalam ketidakmengertiannya Petrus menjawab: ”Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Sabda-Mu adalah perkataan hidup dan kekal, dan kami telah percaya bahwa Engkau Kristus, Putra Allah”
Itulah iman Petrus yang sungguh besar, walau tidak mengerti dalam ketidakjelasan makna, namun dengan jujur Petrus mengatakan ’ya’ kepada Tuhan. Makna makan daging-Nya dan minum darah-Nya baru dipahami dengan jelas saat Yesus di puncak salib. Pada puncak salib itulah para murid mulai agak mengerti bahwa Tuhan telah wafat, menyerahkan tubuh dan darah-Nya kepada manusia. Sabda itu menjadi jelas setelah kebangkitan dan kedatangan Roh Kudus, mereka semakin paham bahwa semua itu dilakukan oleh Yesus demi keselamatan semua orang. Kesaksian Petrus saat itu membuat semua orang percaya hanya kepada Yesuslah orang akan menerima penebusan dan keselamatan kekal yang dijanjikan Allah. Semuanya semakin jelas bahwa salib dan penderitaan Yesus sungguh diperuntukkan bagi keselamatan semua orang.

Dalam kehidupan sehari-hari pun kita menghadapi tekanan dan salib, yang membuat iman kita sering krisis. Menghadapi keadaan demikian kita harus memilih, pergi meninggalkan Tuhan atau tetap tinggal dalam Tuhan dan mempercayakan persoalan kita kepada-Nya. Jawabannya, ya seperti pilihan Petruslah; kita tetap bertahan dan tinggal bersama Dia, mempercayakan dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan, sama seperti Yosua tetap memilih dan menyembah Tuhan Allah kita. Dari kesaksian Petrus ini membuat kita yang sulit menangkap bahwa makan daging dan minum darah-Nya yang adalah sumber keselamatan kita, berarti menerima dan mengimani Yesus. Dengan jawaban Petrus itu, kita diajak mengimani bahwa Yesus tetap hadir dalam Sabda dan Sakramen Mahakudus. Sabda dan Roti yang Kudus itu sungguh memberi kekuatan dan ketabahan hati kita. (FX. Mgn)

Rabu, 12 Agustus 2009

EKARISTI ADALAH SANTAPAN KUDUS

MG BIASA XX/B
Ams 9:1-6; Ef 5:15-20; Yoh 6:51-58

Tubuh-Ku benar-benar makanan dan darah-Ku benar-benar minuman

Ketika Yesus mengatakan, Akulah roti hidup yang turun dari surga, maka orang-orang Yahudi makin tidak sepaham dengan-Nya. Apalagi ketika Yesus mengatakan: ”Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, maka kalian tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam kalian” maka orang-orang Yahudi itu makin ribut dan bertengkar sesama mereka.
Dalam hal ini Yesus ingin menjelaskan bahwa diri-Nya adalah sungguh-sungguh makanan dan minuman yang diberikan kepada manusia.

Mereka menjadi marah dan bingung, karena selalu berpikir akan makanan dan minuman yang membuat kenyang perutnya. Mereka tidak bisa membayangkan bagaimana Yesus dapat memberikan daging dan darah-Nya untuk dimakan orang? Mana mungkin orang disuruh makan daging orang dan minum darah orang? Bukankah haram kalau makan darah? Apalagi daging dan darah manusia!
Dalam pikiran mereka tidak bisa menangkap makna terdalam dari pernyataan Yesus. Mereka tetap tertutup untuk mempercayai Yesus. Mereka tidak menangkap keselamatan dalam diri Yesus.

Kita pun sulit menangkap pernyataan Yesus, bagaimana kita harus makan daging-Nya dan minum darah-Nya, kalau kita tidak bisa menerima pernyataan itu dengan iman. Mungkin kita sendiri juga merasakan iman kita belum begitu besar seperti orang-orang Yahudi pada saat itu.

Pada hal bagi Yesus pemberian diri-Nya itu jelas bahwa makan tubuh-Nya dan minum darah-Nya adalah berarti orang harus percaya kepada-Nya dan mau hidup bersama Dia. Pemberian diri itulah yang memang harus Ia berikan pada saat Yesus disalib, suatu pemberian diri secara penuh bagi keselamatan manusia yang percaya.

Menerima Yesus berarti menjalani hidup yang sesuai dengan kehendak-Nya, bukan hidup yang sia-sia dengan tidak mengenal Allah. Maka kenallah Kristus, dengan ajaran-Nya, tanggalkanlah manusia lama dan kenakanlah manusia baru yang benar dan kudus. Mengerti kehendak Allah yaitu hidup dengan kebaikan, kelembutan hati dan hidup dengan penuh kesabaran seorang terhadap yang lain.

Ini bisa kita maknai dan rasakan ketika sambut dalam ekaristi yang akan menyelamatkan kita. Menerima Roti yang akan diberikan-Nya adalah diri-Nya, yang dikorbankan demi kehidupan dunia. Ekaristi adalah santapan kudus, Tubuh dan Darah Kristus, makanan yang bukan hanya mengenyangkan batin atau rohani tetapi juga menyembuhkan serta mengampuni dosa kita dan mengenyangkan sampai kehidupan kekal. Bila kita sambut roti itu, Kristus akan hidup dalam diri kita selama-lamanya. (FX. Mgn)

AKULAH ROTI HIDUP

MG BIASA XIX/B
1 Raj 19:4-8;
Ef 4:30 - 5:2
Yoh 6:41-51

Akulah roti hidup yang turun dari surga.

Waktu itu Yesus mengatakan carilah roti kehidupan kekal, jangan hanya roti yang bisa binasa. Bekerjalah bukan untuk makanan yang akan dapat binasa, melainkan untuk makanan yang bertahan sampai kepada hidup yang kekal yang diberikan Anak Manusia. Mereka makin habis kesabarannya untuk minta roti karena mengalami bahaya kelaparan dan mereka masih ingin hidup. Dan kini Yesus mengatakan: ”Akulah roti hidup yang turun dari surga ”, maka orang-orang Yahudi makin bersungut-sungut karena tahu persis bahwa Dia itu jelas-jelas anak Yosef dan Maria.

Sejatinya apa yang dikatakan Yesus: ”Akulah Roti Kehidupan. Siapa pun yang makan roti ini tidak akan mati untuk selamanya” adalah pernyataan diri-Nya sebagai yang memberi hidup. Barangsiapa menerima Dia dalam hidupnya, dan menjadikan Dia sumber daya hidup, jelas akan memperoleh kehidupan yang kekal. Dia sungguh menjadi roti kehidupan bagi kita dan bagi banyak orang, seperti yang Ia katakan: ”Roti yang aku berikan adalah diriku sendiri, yang diberikan kepada dunia agar hidup.”
Perdebatan mengenai roti yang memberi daya fisik, sehingga orang lapar dikenyangkan dan tidak mati; berubah menjadi roti dalam pengertian iman, yaitu hidup kekal bersama Tuhan. Hidup beriman kepada Yesus sungguh hidup dalam semangat kebersamaan dan saling menguatkan satu sama lainnya.

Semoga kita sebagai pengikut-Nya, dan sebagai orang yang telah menerima Dia sebagai daya hidup menjadi ”roti kehidupan” bagi banyak orang. Melalui pemikiran dan tindakan kita memberikan inspirasi demi kehidupan orang lain agar lebih meningkat dan lebih baik. (FX. Mgn)

Minggu, 09 Agustus 2009

MARIA TELAH DI SANA SEBAGAI PENGANTARA DOA KITA

HR RY SP MARIA DIANGKAT KE SURGA
Why 11:19a; 12:-6a.10b
1 Kor 15:20-26
Luk 1:39-56

Seringkali kita lebih memperhatikan laki-laki daripada perempuan. Tidak menyadari bahwa semua orang dilahirkan oleh seorang perempuan. Seperti Yesus sendiri hadir di dunia ini dilahirkan seorang perempuan yaitu Maria. Sekarang ia sangat populer dan sangat dihormati oleh orang-orang Katolik, namun dalam perjalanan semasa hidupnya dahulu tidak lepas dari cobaan dan tantangan. Sebagai wanita zaman itu ia memperoleh tekanan dan mungkin cemohan oleh lingkungannya.
Maria seperti perempuan-perempuan yang lain sebagai calon seorang ibu yang baru pertama kali mengandung tentu ingin mencari tahu bagaimana ia harus merawat kandungannya dan bagaimana kelak menghadapi persalinan. Ia mengunjungi saudaranya Elisabet yang lebih dahulu mengandung enam bulan (Lk 1:36.

Keduanya mempunyai pengalaman hidup yang luar biasa. Elisabet suami Zakharia yang dianggap mandul harus mengandung di hari tuanya dan akan melahirkan Yohanes Pembaptis. Demikian juga Maria yang masih gadis harus mengandung Putranya dari Roh Kudus.
Kehadiran Maria di rumah Elisabet membuat mereka berbahagia dan bayi yang sedang dikandung Elisabet pun bergejolak gembira, seakan-akan mau menyambut saudaranya yang datang. ”Ibu Tuhanku kenapa engkau sampai datang kepadaku. Berbahagialah engkau dan anak yang sedang kaukandung.”
Maria pun hatinya sangat gembira dan jiwanya memuliakan Tuhan Allah Juruselamat. Maria dengan rendah hati bersyukur kepada Tuhan yang telah melakukan perbuatan-perbuatan yang besar dan telah mengaruniakan rahmat kepada semua orang yang takut akan Allah. Sungguh suatu pertemuan dua pribadi yang akrab dan menggembirakan. Pertemuan yang mengungkapkan kegembiraan dengan memuji keagungan Tuhan yang telah mengaruniakan segalanya kepada mereka.

Kita pun merasakan bahwa Kristus sebagai buah sulung menyayangi kita sebagai milik-Nya dan Ia juga memberikan Maria sebagai ibu kita. Dalam suasana dan semangat disayangi Tuhan itulah, diharapkan bahwa pertemuan kita dengan sesama manusia entah saudara atau orang lain dapat menimbulkan kegembiraan dan kebahagiaan dalam Tuhan.
Seperti ketika kita melakukan ziarah di tempat-tempat khusus. Kita semua merasa satu yang sama-sama disayangi Tuhan. Kita sama-sama mau belajar rendah hati, mau membuka hati kepada Tuhan melalui sesama kita. Kita sama-sama memuji dan memuliakan Tuhan serta memanjatkan doa-doa permohonan dari yang biasa hingga yang amat khusus kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Terkabul dan tidaknya permohonan kita selanjutnya terserah kepada Tuhan. Kita serahkan kepada Tuhan sama seperti Maria menyerahkan dirinya kepada Tuhan katanya: "Aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataanmu!" (Lk 1:38).

Maka sudah selayaknya Gereja merayakan Maria diangkat ke surga dengan seluruh jiwa dan raganya. Perayaan ini mengungkapkan apa yang kita imani sesuai yang diajarkan oleh Paus Pius XII pada tahun 1950. Peristiwa Maria diangkat ke surga dapat menjadi ungkapan kepercayaan akan masa depan kita semua, baik laki-laki atau pun perempuan pada suatu saat akan kembali kepada Tuhan di surga. Bersama Maria yang sudah di sana, adalah perempuan pertama sebagai pengantara doa kita. (FX. Mgn)

Selasa, 04 Agustus 2009

BERMURAH HATI


ARWAH I

2 Mak 12:43-46
“Sungguh suatu pikiran yang mursid dan saleh memikirkan kebangkitan.”

2 Kor 5:1.6-10
“Kita telah disediakan rumah di surga.”

Mat 25:31-46
“Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukan untuk Aku .”

Kematian.
Perjalanan kehidupan kita yang tak terelakkan adalah saat kematian. Maut itu kenyataan keterbatasan hidup kita. Hidup kita mempunyai awal dan mempunyai akhir. Dengan demikian segala sesuatu yang kita lakukan di dunia ini bersifat terbatas dan fana, tetapi bukan berarti sia-sia. Berhadapan dengan misteri kematian yang penuh kegelapan, ada kepastian bahwa Tuhan Yesus telah wafat dan mendahului kita agar kita dituntun oleh-Nya menunju Bapa dalam kebangkitan.

Mendoakan arwah sebagai ungkapan kasih.
Kematian tidak memutuskan hubungan kita dengan orang-orang yang sudah meninggal. Walaupun kita tidak bisa melihat mereka lagi, namun kita tetap merasa bersatu, mempunyai ikatan dengan mereka. Cinta kita kepada mereka tidak berhenti kendati kematian membuat kita dan mereka hidup dalam dunia yang berbeda. Kematian orang yang kita cintai bahkan membuat kita terdorong untuk makin mencintai. Kalau kita berdoa, itulah ungkapan kasih kita. Lebih-lebih bagi Saudara yang sekarang kita doakan, semoga ia memperoleh kebangkitan dan keselamatan kekal. Itulah makna kebersamaan kita dengan Saudara kita yang telah mendahului kita.

Hikmah dari kematian.
Kita semua satu saudara dalam iman tentu ingin tahu lebih jauh bagaimana keadaannya dan tempat tinggalnya yang baru sekarang? Menurut Rasul Paulus kita semua tidak perlu khawatir karena Tuhan telah menyediakan rumah yang layak dan nyaman di surga. Dengan disediakan rumah berarti Saudara yang telah mendahului kita telah menjadi keluarga Allah. Ia telah terpilih sebagai “domba” dari kelompok domba dan kambing dan memperoleh ganjaran kekal.

Bagaimana dengan kita?
Kita pun bisa masuk dalam kelompok domba, sepanjang kita selalu setia dan melakukan hal-hal yang dikehendaki Allah, yaitu memiliki pribadi kemurahan hati dan belas kasihan terhadap sesama. Dengan meringankan penderitaan orang lain sama halnya telah melayani Yesus dalam rupa manusia yang menderita. (FX. Mgn)

SATU HARUS JATUH MENGHASILKAN BANYAK BUAH


ARWAH II

Dan 12:1-3
“Semua orang yang sudah tidur dalam debu tanah akan bangun.”

Rm 6:3-4.8-11
“Kita yang mati bersama Kristus akan hidup bersama Kristus.”

Yoh 12:20-33
“Aku datang ke dunia untuk menarik semua orang datang kepada-Ku .”

Kematian yang pasti datang.
Peristiwa kematian memang tidak disukai setiap manusia. Seringkali jiwa kita berontak berhadapan dengan peristiwa kematian, lebih-lebih bila kematian itu menimpa anggota keluarga kita yang kita cintai. Kita lupa bahwa justru di balik peristiwa kematian ada kehidupan, yaitu kehidupan baru yang kekal.

Hikmah dari kematian.
Pernyataan Kristus tentang biji gandum yang mati memberi harapan kepada kita, yaitu: “Jika biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika mati, ia menghasilkan banyak buah.” Kristus sendirilah biji gandum itu: Ia rela mati agar menghasilkan banyak buah. Buah-buah itu ialah kita. Yesus pun langsung mengundang kita juga untuk ditaburkan di dunia ini, dan rela mati untuk menghasilkan banyak buah. Itulah misteri kesengsaraan yang subur. Rasul Paulus pun bersaksi, bahwa kita yang mati bersama Kristus akan hidup bersama Kristus. Kita yang dibaptis berarti mati bersama Kristus supaya boleh bangkit bersama Kristus. Dengan dibaptis yang menyatukan kita dengan Kristus, dosa kita dibenamkan dalam kematian Kristus kemudian hidup hanya bagi Allah. Seperti Kristus dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian pula kita mulai menjalani hidup yang baru di surga.

Kematian sebagai jalan menuju kehidupan kekal.
Dari situlah semua orang yang sudah tidur dalam debu tanah akan dibangunkan oleh Yesus dan kita yang sudah tertulis dalam kitab akan memperoleh hidup kekal. Yesus berkata, bahwa orang yang merelakan nyawanya di dunia ini demi Dia akan dipertahankan-Nya untuk hidup kekal dan dimuliakan Allah. Hal ini sesuai dengan janji-Nya bahwa setelah Ia ditinggikan dari bumi ini, kita akan ditarik untuk berbahagia bersama-Nya di surga.

Bagaimana dengan saudara kita?
Kematian, dengan ini bukan lagi suatu kemalangan dan kehampaan hidup, tetapi sebuah jalan menuju kehidupan baru yang bersama Allah. Kepergian Saudara ini patut dilihat sebagai suatu peristiwa iman dan rahmat Allah. Kita yakin bahwa dia sekarang disambut oleh Allah dalam kebahagiaan kekal. (FX. Mgn)