SELAMAT DATANG DAN SELAMAT BERJUMPA

Senin, 25 Juli 2011

BELAS KASIH MENDORONG SIKAP MURAH HATI

MINGGU BIASA XVIII (A)
Minggu, 31 Juli 2011

Yes 55:1-3;
Rm 8:35.37-39;
Mat 14:13-21

Ketika mendengar kabar buruk atau malapetaka menimpa orang lain entah itu karena kecelakaan atau kematian, reaksi kita berbeda-beda. Dari yang biasa-biasa saja, masa bodoh atau tak mau tahu; dan ada juga tergerak hatinya oleh belas kasih, ikut merasakan penderitaan orang lain. Belas kasih bisa menggerakkan hati dan pikiran seseorang untuk berbuat sesuatu kepada orang lain. Belas kasih bisa mendorong orang untuk bersikap murah hati.

Kisah Yesus menggandakan lima roti dua ikan itu juga karena tergerak hati-Nya oleh belas kasih pada saat melihat orang banyak yang seperti domba tanpa gembala. Pada saat itu mereka merasa tidak mempunyai pemimpin, di mana mereka membutuhkan bimbingan dan perlindungan. Para murid tidak bisa berbuat apa-apa di daerah terpencil dan sunyi melihat ribuan orang yang perlu dikasih makan. Menghadapi banyak orang menderita dan kelaparan, Yesus yang berbelas kasih tergerak hati-Nya untuk menolong mereka. Yesus mengajak para murid-Nya untuk memberi mereka makan, karena mereka ini letih lesu setelah seharian mengikuti-Nya mendengarkan wejangan-wejangan dan penyembuhan. Yesus tidak mau membiarkan mereka kelaparan dan terlantar tanpa pengharapan hidup.
Maka Yesus mengambil apa yang ada yaitu roti dan ikan, lalu Ia menengadah ke langit sambil mengucap syukur, seraya memberkatinya dan memecahkannya. Yesus menggandakan roti dan ikan itu cukup banyak bagi mereka semua yang hadir. Kepada para murid, Yesus memerintahkan untuk membagi-bagikan makanan kepada orang-orang banyak itu. Dalam kerjasama antara Yesus dan para murid itulah, akhirnya semua orang memperoleh makanan untuk hidupnya. Semuanya selamat.

Peristiwa penggandaan roti dan ikan dalam warta gembira hari ini melambangkan “Tubuh dan Darah Kristus” atau Komuni Kudus yang kita terima setiap kali kita berpartipasi dalam Perayaan Ekaristi. Dengan menerima Komuni Kudus tersebut berarti kita disatukan dengan Yesus Kristus dan dengan demikian kita juga dipanggil untuk meneladan cara hidup dan cara bertindak-Nya. Antara lain membagikan sebagian harta benda atau kekayaan kita kepada saudara-saudari kita, terutama bagi mereka yang miskin dan berkekurangan alias sungguh membutuhkan. Dengan kata lain sebagai warga Negara yang berdasarkan Pancasila kita dipanggil untuk hidup sosial, dengan menghayati sila kelima yaitu “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat”.

Bagaimana dengan kita?
Di sekitar hidup kita masih banyak orang menderita, karena menjadi korban ketidakadilan sosial. Masih banyak orang membutuhkan dukungan, pendampingan dan perhatian dari kita untuk bisa kembali memperoleh semangat hidup. Mereka banyak yang frustasi karena bergumul dengan penyakit akut. Karena pemutusan hubungan kerja membuat mereka putus asa. Mereka membutuhkan dukungan dan semangat untuk bangkit. Semoga kita tergerak oleh belas kasih untuk membantu mereka menyiapkan masa depan mereka.  (FX. Mgn)

Senin, 18 Juli 2011

YESUS KRISTUS ADALAH MUTIARA PALING BERHARGA YANG MENJADI HARTA KEKAYAAN HIDUP KITA

MINGGU BIASA XVII (A)
Minggu, 24 Juli 2011

1 Raj 3:5.7-12;
Rm 8:28-30;
Mat 13:44-52 (Mat 13:44-46)

        Ketika kita bekerja keras dengan membanting tulang siang dan malam mengumpulkan harta kekayaan, dengan tujuan agar keluarga kita tidak menderita hidupnya lebih-lebih pada hari tuanya. Dengan banyak uang dan harta kekayaan yang melimpah kita bisa berbuat apa pun. Tetapi apakah benar materi menjadi jaminan kebahagiaan dan merupakan kekayaan hidup?
Memang materi sangat dibutuhkan manusia selama di dunia, tetapi kita harus menyadari bahwa di dunia ini hanya sementara. Kebahagiaan yang kita nikmati di dunia ini tidak abadi. Lalu kebahagiaan yang seperti apa? Tentu saja kebahagiaan yang abadi dan harus kita miliki dan kita cari. Mencarinya ibarat mencari harta berharga yang terpendam di ladang atau seorang pedagang yang mencari mutiara yang berharga. Untuk menemukan harta yang terpendam di ladang atau mutiara yang berharga itu harus mencarinya dengan perjuangan dan pengorbanan. Mutiara indah  paling berharga dan Harta terpendam yang sangat berharga itu adalah Yesus sendiri sebagai harta kekayaan hidup kita.
Bila Yesus kita anggap sebagai kekayaan hidup yang sangat berharga, maka mesti ada kerelaan untuk memberi dan meluangkan waktu bertemu dengan Yesus. Dengan apa? Melalui doa pribadi, kelompok atau bersama dalam keluarga atau seluruh warga jemaat seperti dalam Misa Kudus.    Inilah yang harus kita cari lebih dulu sebagai kekayaan hidup.
Seperti Raja Salomo yang berkelimpahan materi dalam mencari kekayaan hidup, ketika ditanya Tuhan ‘mau minta apa’? Salomo bukan minta materi, bukan kepopuleran yang ia minta, melainkan; ‘kebijaksanaan’ dalam arti mampu melihat mana yang benar dan menindak mana yang salah dengan tepat. Salomo mohon kepada Tuhan agar bisa memimpin rakyatnya seturut kehendak Tuhan, yaitu memimpin dengan adil dan bijaksana, serta membuat rakyatnya hidup bahagia dan damai sejahtera.

Bagaimana dengan kita?
Sebagai pengikut-Nya kita pun dituntut untuk berusaha bisa berbuat yang sama sesuai dengan posisi kita masing-masing. Entah sebagai keluarga, pendidik, pemimpin umat atau karyawan. Berusaha hidup yang biasa-biasa saja, tidak aneh-aneh atau rendah hati. Dalam pekerjaan, lingkungan hidup kita dan terutama dalam diri kita sendiri. Sebab di sanalah Allah hidup dan di sanalah Allah tinggal serta di sanalah Allah menampakkan diri.
Karena Yesus telah menjadi harta kekayaan hidup kita yang paling berharga, sudah sewajarnya kita dengan rela dan tidak segan-segan untuk menghidupi dan mewujudkan ajaran-ajaran-Nya sebagai mutiara yang sangat berharga.
Semoga kita mampu mendahulukan kekayaan hidup abadi daripada kekayaan materi yang tidak menjamin kebahagiaan hati, seperti pesan Yesus: “Carilah Kerajaan Allah lebih dahulu, maka semua yang lain akan ditambahkan. (FX. Mgn)

Senin, 11 Juli 2011

SEMOGA KITA BISA LEPAS DARI BELITAN RUMPUT KEHIDUPAN

MINGGU BIASA XVI (A)
Minggu, 17 Juli 2011

Keb 12:13.16-19;
Rm 8:26-27;
Mat 13:24-30

     Dalam Injil hari ini Yesus membuat perumpamaan tentang gandum sebagai benih yang baik dan ilalang sebagai benih yang buruk merujuk dua gambaran yang kontras antara orang-orang benar dan orang-orang jahat. Jika demikian, sebagai orang beriman kita termasuk dalam kategori “gandum” ataukah “ilalang”?

     Seringkali kita akan menjawab dengan mantap bahwa kita termasuk kelompok “gandum”, sedangkan mereka yang berada di luar komunitas kita segera kita golongkan sebagai kelompok “ilalang”? Kita sebagai orang Kristiani sering menganggap diri sebagai warga Kerajaan Allah, sedangkan mereka yang berada di luar iman Kristiani secara otomatis termasuk sebagai warga kerajaan dunia.
     Hal ini orang mulai saling curiga satu sama lainnya bahkan saling tuduh: “Kamu orang jahat! Kalau aku baik! Kelompokku yang paling benar dan kelompok lain adalah salah.” Kemudian membuat pemisahan dengan tidak mau bergaul satu sama lainnya, bahkan memusuhi yang tidak sependapat dan tidak sama dengan aturan kita. Karena itu penilaian siapakah orang yang termasuk “gandum” dan siapakah orang yang termasuk “ilalang” menjadi tidak mudah. Di dalam kehidupan kita sendiri ternyata tidak senantiasa mampu menjadi “gandum yang baik”. Kita lupa bahwa dengan bermacam-macam paham, aliran dan pendapat itu akan memperkaya warna kehidupan, ibarat pelangi.

     Selanjutnya melalui perumpamaan-Nya Yesus menghendaki agar gandum dan ilalang dibiarkan tumbuh bersama, demikian juga hal baik dan buruk juga bertumbuh bersama dalam hidup kita. Dalam hal ini Yesus justru mau mengajar agar kita harus senantiasa rendah-hati dan tidak mudah menghakimi orang lain untuk menggolongkan orang lain sebagai kelompok “ilalang”. Karena bisa terjadi, kita yang menggolongkan diri sendiri sebagai “gandum” ternyata justru kita dinilai oleh Tuhan sebagai “ilalang”. Mengapa hal itu bisa terjadi? Karena tanaman “ilalang” dan “gandum” yang dimaksudkan oleh Yesus pada awal pertumbuhannya sering tidak tampak perbedaannya. Namun baru saat gandum mulai berbulir, petani mulai mengetahui dengan persis manakah yang termasuk kelompok tanaman ilalang dan manakah yang termasuk kelompok gandum. Bila kita tidak menghasilkan buah sebenarnya kita telah menempatkan diri dalam kelompok “ilalang”.
     Memang dalam kehidupan menggereja dan bermasyarakat sering kali menghadapi berbagai tantangan antara keinginan untuk berbuat baik sesuai kehendak Tuhan, namun di sisi lain godaan dan keinginan berbuat tidak baik juga sangat kuat. Dalam diri kita merasa bahwa terdapat gandum dan rumput tumbuh bersama. Kadang-kadang setia pada ajaran Tuhan, tetapi kadang-kadang juga tidak. Dalam kehidupan di masyarakat, kita ini berbaur dengan yang baik dan yang jahat. Ibarat gandum yang baik dan rumput belit-membelit. Manusia yang dari awalnya diciptakan Tuhan baik adanya kemudian menjadi terkontaminasi dengan hal-hal jahat. Dan jelas sangat sulit dipisahkan sekarang. Karena dengan memisahkan sekarang sama saja dengan mematikan kita dan mematikan kebebasan kita untuk tetap memilih mengembangkan ”gandum atau rumput” itu.
     Kita semua sadar, bahwa dalam hidup ini kebaikan dan kejahatan kerap kali bercampur, seperti gandum dan rumput tumbuh bersama. Melihat hal ini kita diharapkan bersabar dan toleran dengan membiarkan tetap menjalani hidup bersama dan berdampingan dengan orang-orang lain. Dengan demikian iman kita akan tertantang untuk maju hingga saat penyaringan terakhir di mana gandum dan rumput dipisahkan. Karena itu Tuhan membiarkan rumput dan gandum tumbuh bersama sampai musim panen tiba. Gandumnya disimpan di lumbung-Nya, sedangkan rumputnya dibakar.

     Tuhan sungguh sabar terhadap manusia, segalanya diarahkan kepada kebaikan. Tuhan masih sayang kepada kita dengan membiarkan serta menunggu kita sadar, dengan memberi kesempatan bertobat bila kita berdosa (Keb 12:19). Semoga kita selalu memohon kekuatan kepada-Nya agar bisa lepas dari belitan rumput kehidupan. (FX. Mgn)

Senin, 04 Juli 2011

JADILAH TANAH YANG BAIK UNTUK BERTUMBUHNYA BENIH YANG DITABUR ALLAH

MINGGU BIASA XV (A)  
Minggu, 10 Juli 2011

Yes 55:10-11;
Rm 8:18-23;
Mat 13:1-9

        Perumpamaan biji yang ditabur dan jatuh di tempat yang tepat akan tumbuh subur, tetapi bila jatuh di tempat yang tidak tepat akan gagal tumbuh dan tidak berkembang. Dalam hal ini Yesus hanya ingin mengatakan bahwa orang-orang yang menjadi pengikut-Nya bisa bermacam-macam dalam menerima dan mengembangkan sabda Allah dalam hidupnya. Setiap hari banyak yang mendengarkan sabda Allah, membaca Kitab Suci, bahkan mendiskusikan dengan teman-teman, tetapi ketika kecemasan melanda hidupnya lalu lari dari sabda Allah.

        Ketika saya masih suka marah dengan istri dan anak-anak, hanya karena persoalan sepele; dan ketika saya malas ke gereja, serta ketika saya menghindar dari tugas, itu sama dengan perumpamaan yang disampaikan Yesus bahwa biji yang ditabur dan jatuh di pinggir jalan lalu dimakan burung. Dan yang jatuh di tempat berbatu-batu kemudian mati kering karena tanahnya sedikit.
        Ketika saya pergi ke gereja tetapi kalau ditanya orang: “Mau ke mana pak?” Saya mengatakan, “Mau jalan-jalan, shopping.” Sama dengan perumpamaan benih yang ditabur dan jatuh di semak duri, lalu mati karena kalah dengan himpitan semak belukar yang makin besar. Hal demikian menunjukkan bahwa saya larut dan terpengaruh oleh kehidupan sekitar yang tidak mencerminkan sebagai orang Katolik.
        Tetapi kalau benih itu jatuh di tanah yang subur lalu berbuah banyak, itu menggambarkan bahwa sebagai pengikut Kristus tetap  setia dan taat serta tidak takut walau sebagai minoritas. Orang seperti itu bertanggungjawab terhadap kehidupan imannya. Mau hidup sederhana, menjauhi hal-hal yang tidak dikehendaki Tuhan dan tetap mempertahankan imannya walau menghadapi banyak tantangan.

        Dalam Injil hari ini bisa ditarik kesimpulan bahwa manusia harus bertanggungjawab terhadap iman yang telah diterimanya dari Tuhan. Ajakan, “Siapa bertelinga, hendaknya ia mendengarkan”, tetap terbuka untuk semua orang yang percaya dan ingin memperoleh kehidupan kekal. Dengan membuka hati dan telinga lebar-lebar akan sabda Tuhan kita semua berharap mampu menumbuhkan benih iman dan kerinduan untuk dekat dengan Gereja, dekat dengan sesama hidup dalam masyarakat. Dekatnya kita dengan masyarakat dan dekatnya kita dengan Gereja, akan menciptakan tanah yang subur bagi tumbuhnya benih yang ditabur Allah pada kehidupan manusia.
        Mungkin dalam menjalani kehidupan ini ada kegagalan-kegagalan tetapi kalau kita selalu mendengarkan sabda Allah dan tetap berharap kepada-Nya, niscaya semua usaha dan doa kita akan menjadi berkat bagi kita sendiri dan sesama. (FX. Mgn)