SELAMAT DATANG DAN SELAMAT BERJUMPA

Senin, 27 Agustus 2012

MG BIASA XXII (B) Minggu, 2 September 2012



MENGUTAMAKAN KEHIDUPAN ROHANI DARIPADA KEHIDUPAN LAHIRIAH

Ul 4:1-2.6-8;   
Yak 1: 17-18.21b.22-27;      
Mrk 7:1-8.4-15.21-23

Pendapat umum yang salah kaprah tetapi dianggap benar dan menjadi tradisi karena dilakukan terus-menerus oleh banyak orang. Ada beberapa contoh kebiasaan-kebiasaan yang ”salah kaprah” yang dilakukan manusia, misalnya: ”Yang penting ke gereja hari Minggu, sebab kalau tidak berangkat, tidak enak sama tetangga dan teman-teman”. Jadi ke gereja bukan suatu kebutuhan tetapi kebiasaan, tidak enak dilihat tetangga kalau tidak ke gereja hari Minggu.
Tardisi menyunatkan anak laki-laki karena di sekitar lingkungan hidup kita; Anak laki-laki harus disunat, yang sebenarnya menyunat anak laki-laki demi kesehatan.
Dalam menghadiri undangan pesta makan bersama harus mengikuti mereka dengan acara cuci tangan bersama; tidak enak kalau tidak ikut rame-rame melakukan seperti mereka. Penekanannya bukan cuci tangan agar bersih tetapi tidak enak kalau tidak ikut melakukan bersama. Itulah yang terjadi, seringkali kita mengutamakan ”tangan” daripada hati.
Demikian juga dalam kehidupan beragama kita lebih mengutamakan yang nampak bagi manusia daripada dihadapan Allah. Seringkali kita mengutamakan ”tangan” daripada hati. Melakukan sesuatu asal kelihatan baik di depan manusia, bukan di dihadapan Allah. Jika kita mengutamakan ”tangan”, maka dengan sendirinya – kita akan semakin sibuk dengan ”tangan” Kita sibuk merawat penampilan lahiriah; sementara, secara sadar atau tidak, kita lupa akan hati dan memang tidak cukup waktu untuk merawat hati.
Injil hari ini, mengajak kita bermenung sejenak: Apa yang diutamakan dalam kehidupan beragama kita? Tangan yang kotor atau hati yang kotor? Tangan yang bersih atau hati yang bersih? Yesus mengingatkan kita semua sebagai pengikut-Nya agar mengutamakan ”hati’ bukan ”tangan” atau penampilan lahiriah yang penuh dengan kemunafikan. Yesus mengkritik penghayatan keagamaan kaum Farisi dan Ahli Taurat yang berhenti pada masalah lahiriah manusia semata, sementara agama yang benar seharusnya memperhatikan batin manusia.

Pertanyaannya buat kita?
Sebagai pengikut-Nya, apakah kita sudah melaksanakan kehendak-Nya dalam mengimani Yesus, atau sekedar ikut-ikutan karena tradisi? Dengan mengikuti kehendak Tuhan yang menyelamatkan atau mengikuti hukum dan tradisi yang dibuat manusia yang belum tentu berguna bagi perkembangan manusia?
Semoga kita menjadi kritis dalam melaksanakan hukum dan tardisi, sebagaimana Yesus mengkriritisi terhadap hukum dan tradisi di sekitar hidup-Nya. (FX. Mgn)

Senin, 20 Agustus 2012

MG BIASA XXI (B) Minggu, 26 Agustus 2012



TUHAN, KECUALI HANYA KEPADA ENGKAU,
KEPADA SIAPAKAH KAMI AKAN PERGI?

Yos 24:1-2a.15-17.18b;               
Ef 5:21-32;                           
Yoh 6:60-69

Masih soal Roti Hidup. Sebelumnya Yesus mengatakan carilah roti kehidupan kekal, yaitu roti yang membuat kenyang abadi. Bekerjalah bukan untuk makanan yang bisa binasa, melainkan untuk makanan yang bertahan sampai kepada hidup yang kekal yang diberikan Allah dari surga.
Mereka tetap berteriak-teriak minta roti karena sudah tidak ada yang dimakan. Dan kini Yesus mengatakan: ”Akulah roti hidup yang turun dari surga”, maka orang-orang Yahudi makin bersungut-sungut dan membuat mereka mundur termasuk para murid karena tidak menangkap dan salah paham. Apalagi ketika Yesus mengatakan, ”Akulah Roti Hidup yang turun dari surga, barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal dalam Aku dan Aku dalam dia.” Bagi para murid Sabda ini keras, siapa yang mampu menerimanya. Mereka menangkapnya disuruh makan daging dan minum darah manusia. ”Mana mungkin”. Sebab dalam ajaran mereka tidak diperbolehkan makan dan minum darah orang lain.
Karena itulah banyak orang mulai meninggalkan Dia; hanya tinggal beberapa murid saja yang masih bertahan. Lalu Yesus menantang mereka, ”Apakah kamu tidak mau pergi juga?” Dalam ketidak mengertiannya Petrus menjawab: ”Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Sabda-Mu adalah perkataan hidup dan kekal, dan kami telah percaya bahwa Engkau Kristus, Putra Allah”
Itulah iman Petrus yang sungguh besar, walau tidak mengerti dalam ketidakjelasan makna, namun dengan jujur Petrus mengatakan ’ya’ kepada Tuhan. Makna makan daging-Nya dan minum darah-Nya baru dipahami dengan jelas saat Yesus di puncak salib. Pada puncak salib itulah para murid mulai agak mengerti bahwa Tuhan telah wafat, menyerahkan tubuh dan darah-Nya kepada manusia. Sabda itu menjadi jelas setelah kebangkitan dan kedatangan Roh Kudus, mereka semakin paham bahwa semua itu dilakukan oleh Yesus demi keselamatan semua orang. Kesaksian Petrus saat itu membuat semua orang percaya hanya kepada Yesuslah orang akan menerima penebusan dan keselamatan kekal yang dijanjikan Allah. Semuanya semakin jelas bahwa salib dan penderitaan Yesus sungguh diperuntukkan bagi keselamatan semua orang.

Bagaimana dengan kita?
Dalam kehidupan sehari-hari pun kita menghadapi tekanan dan salib, yang membuat iman kita sering krisis. Menghadapi keadaan demikian kita harus memilih, pergi meninggalkan Tuhan atau tetap tinggal dalam Tuhan dan mempercayakan persoalan kita kepada-Nya. Jawabannya, ya seperti pilihan Petruslah; kita tetap bertahan dan tinggal bersama Dia, mempercayakan dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan, sama seperti Yosua tetap memilih dan menyembah Tuhan Allah kita. Dari kesaksian Petrus ini membuat kita yang sulit menangkap bahwa makan daging dan minum darah-Nya yang adalah sumber keselamatan kita, berarti menerima dan mengimani Yesus. Dengan jawaban Petrus itu, kita diajak mengimani bahwa Yesus tetap hadir dalam Sabda dan Sakramen Mahakudus. Sabda dan Roti yang Kudus itu sungguh memberi kekuatan dan ketabahan hati kita. (FX. Mgn)


Senin, 13 Agustus 2012

MG BIASA XX (B) Minggu, 19 Agustus 2012



“EKARISTI ADALAH SANTAPAN KUDUS”

Ams 9:1-6;
Ef 5:15-20;
Yoh 6:51-58

      Ketika Yesus mengatakan, Akulah roti hidup yang turun dari surga, maka orang-orang Yahudi makin tidak sepaham dengan-Nya. Apalagi ketika Yesus mengatakan;”Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, maka kalian tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam kalian”, maka orang-orang Yahudi itu semakin ribut dan bertengkar dengan sesama mereka. Dalam hal ini Yesus ingin menjelaskan bahwa diri-Nya adalah sungguh-sungguh makanan dan minuman yang diberikan kepada manusia.
      Mereka semakin marah dan bingung, karena selalu berpikir akan makanan dan minuman yang membuat kenyang perutnya. Mereka tidak bisa membayangkan bagaimana Yesus dapat memberikan daging dan darah-Nya untuk dimakan orang? Mana  mungkin orang disuruh makan daging orang dan minum darah orang? Bukankah haram kalau makan darah? Apalagi daging dan darah manusia! Dalam pikiran mereka tidak bisa menangkap makna terdalam dari pernyataan Yesus. Mereka tetap tertutup untuk mempercayai Yesus. Mereka tidak menangkap keselamatan dalam diri Yesus.

      Bagaimana dengan kita?
      Kita pun sulit menangkap pernyataan Yesus, bagaimana kita harus makan daging-Nya dan darah-Nya, kalau nkita tidak bisa menerima pernyataan itu dengan iman. Mungkin kita sendiri juga merasakan iman kita belum besar seperti orang-orang Yahudi pada saat itu. Pada hal bagi Yesus pemberian diri-Nya itu jelas bahwa makan tubuh-Nya dan minum darah-Nya adalah berrarti orang harus percaya kepada-Nya dan mau hidup bersama Dia. Pemberian diri itulah yang memang harus Ia berikan pada saat Yesus disalib, suatu pemberian diri secara penuh bagi keselamatan manusia yang percaya.
   Menerima Yesus berarti menjalani hidup yang sesuai dengan kehendak-Nya, bukan hidup yang sia-sia dengan tidak mengenal Allah. Maka marilah mengenal Kristus dengan ajaran-Nya, dengan menanggalkan manusia lama dan mengenakan manusia baru yang benar dan kudus. Mengerti kehendak Allah yaitu hidup dengan kebaikan, kelembutan hati dan hidup dengan penuh kesabaran seorang terhadap yang lain.
      Ini bisa kita maknai dan rasakan ketika kita sambut Tubuh Kristus dalam Ekaristi yang menyelamatkan kita. Menerima Roti yang akan diberikan-Nya adalah diri-Nya, yang dikorbankan demi kehidupan dunia. Ekaristi adalah santapan kudus, Tubuh dan Darah Kristus, makanan yang bukan hanya mewngenyangkan batin atau rohani tetapi juga menyembuhkan serta mengampuni dosa kita dan mengenyangkan sampai kehidupan kekal. Bila kita sambut Roti itu, Kristus akan hidup dalam diri kita selama-lamanya. (FX. Mgn)

Senin, 06 Agustus 2012

HR RAYA SANTA MARIA DIANGKAT KE SURGA Minggu, 12 Agustus 2012


KUNJUNGAN SESAMA IBU YANG SALING MENGUATKAN

Why 11:19a; 12:1.3-6a.10ab
1Kor 15:20-26
Luk 1:39-56

      Betapa bahagianya seorang ibu yang sedang hamil dikunjungi sesama ibu yang sedang hamil juga. Biasanya ibu yang sedang hamil tua harus istirahat di rumah, dan mereka ditinggal sendirian oleh suaminya yang sedang bekerja. Pertemuan kedua ibu yang sedang hamil itu bisa saling mencurahkan isi hatinya bagaimana kelak menghadapi persalinan.
      Demikian juga dalam Injil hari ini menceritakan tentang pertemuan dua orang wanita yang sedang mengandung dengan cara yang tidak biasa. Elisabet mengandung di hari tuanya, sedangkan Maria mengandung dari Roh Kudus sebelum berumah tangga. Sama-sama memiliki kandungan yang luar biasa maka mereka ingin saling menguatkan dan meneguhkan. Maria ingin menimba pengalaman pada Elisabet yang lebih dulu mengandung, demikian juga Elisabet sangat dikuatkan atas kehadiran ibu Tuhan. Kedua ibu itu betul-betul siap menghadapi persalinan kelak dengan tabah dan penuh syukur. Menurut pandangan manusia, baik Maria maupun Elisabet jelas kehilangan nama baik. Walau sekarang mengandung, tetapi Elisabet telah lama mendapat predikat perempuan mandul. Kemudian Maria mengandung tanpa suami. Namun Maria sangat paham akan keadaan dirinya, bahwa yang dikandungnya adalah Putra Allah. Demikian juga bayi dalam kandungan Elisabet adalah pemberian Allah.
       Melihat hal ini, Maria sangat peka dan tidak mau mempedulikan cemoohan orang. Maka ia menempuh perjalanan naik turun bukit untuk meneguhkan Elisabet. Kehadiran Maria sungguh membawa kehidupan baru bagi keluarga Zakharia, pamannya. Bukan hanya Elisabet dan Zakharia yang senang, bahkan bayi dalam kandungan Elisabet pun bergejolak kegirangan. Begitu girangnya Elisabet menjawab salam Maria dengan penuh semangat. ”Berbahagialah engkau dan anak yang sedang kaukandung.” Ucapan Elisabet dengan penuh kejujuran dan ketulusan. Ia merasakan betapa Allah sangat menyayangi Maria, seperti ia sendiri telah mengalaminya.
        Maria dengan gembira menerima salam itu, namun sebagai hamba Allah dalam kerendahan hatinya ia mengungkapkan kegembiraannya dengan memuji Allah yang telah mengaruniakan segalanya kepadanya. ”Jiwaku memuji Tuhan, karena Ia memperhatikan hamba-Nya, rahmat-Nya  terus mengalir dalam hidupku. Ia telah melimpahkan rahmat-Nya kepada orang yang lapar dan kecil.” Pertemuan yang saling membahagiakan dan membangkitkan semangat untuk memuji keagungan Tuhan. Sungguh suatu pertemuan dua pribadi yang akrab dan menggembirakan. Tuhan sendiri hadir dan menyatukan mereka.
    Perayaan Bunda Maria diangkat ke surga menunjukkan bahwa Tuhan sungguh serius dalam menyelamatkan umat manusia. Peran Bunda Maria dalam karya penyelamatan Yesus Kristus nyata dalam dirinya. Maria adalah seorang manusia biasa, tetapi karena cintanya pada Allah dan imannya yang begitu besar kepada-Nya, maka Maria sungguh dimuliakan seluruh jiwa dan raganya. Berkat kerendahan hatinya serta teladan hidupnya, sungguh pantas dan layak ia diangkat ke surga.
     
        Bagaimana dengan kita?
      Sebagai pengikut Yesus Kristus merasa bahwa Allah telah menyayangi kita sebagai anak-anak-Nya, seperti halnya Allah telah menyayangi Maria dan Elisabet. Ia juga menyayangi kita lewat Yesus Putra-Nya. Tentunya, kita pun harus berusaha hidup dan meneladani sikap Bunda Maria. Menjalani hidup dengan rendah hati dan peduli sesama manusia. Mau mengunjungi mereka yang sakit, yang tersisih dan yang tercabut dari lingkungannya. Berusaha membantu mereka yang mengalami kesulitan ekonomi. Masih banyak sesama kita yang merindukan kunjungan kita, serta membutuhkan dukungan dan bantuan kita. Dengan kepedulian kita mengunjungi mereka diharapkan bisa memunculkan dambaan hati untuk memuji Sang Pencipta, ”Jiwaku memuliakan Tuhan, karena Ia telah melimpahkan rahmat-Nya yang besar kepada kita.” 
Marilah kita menjalani hidup dengan meneladani sikap Maria dan setia kepada kehendak Allah. Dengan harapan kita pun akan boleh mengalami pemuliaan dan memperoleh keselamatan. (FX.Mgn)