SELAMAT DATANG DAN SELAMAT BERJUMPA

Minggu, 28 Maret 2010

IA BANGKIT DARI ANTARA ORANG MATI


HARI RAYA PASKAH (C)
Kebangkitan Tuhan
Hari Minggu, 4 April 2010

Kis 10:34a. 37-43;
Kol 3:1-4;
Yoh 20:1-9

Para murid masih terbengong-bengong ketika menerima khabar dari Maria Magdalena bahwa makam Yesus kosong. Mereka mulai kacau, kok hanya sampai begini menjadi pengikut Yesus; Apakah hanya sampai di sini saja pergaulan mereka dengan Yesus. Mereka mulai membicarakan bahwa orang Yahudi ganas dan bengis, kejam dan sadis. Hati mereka mulai kecut dan takut, hidup mereka menjadi tanpa arah.
Meski begitu melalui pemberitahuan Maria Magdalena, Petrus dan Yohanes tergerak hatinya untuk membuktikan dan melihat makam Yesus. Petrus sebagai pemimpin yang senior para rasul, yang pertama kali masuk, kemudian Yohanes murid yang paling dikasihi Yesus. Kedua murid, Petrus dan Yohanes ketika melihat makam sudah kosong dan yang mereka lihat hanya ada kain kafan dan tudung yang tergulung. Yohanes sedikit percaya kalau Yesus sudah bangkit, namun keduanya belum sepenuhnya percaya bahwa Yesus benar-benar bangkit. Ada kemungkinan jenazah Yesus dicuri orang.

Masih dalam proses untuk menjadi percaya akan kebangkitan Yesus. Mereka belum sepenuhnya memahami dan mengerti bahwa Tuhan Yesus telah bangkit, karena para murid belum mengerti Kitab Suci. Maria Magdalena memiliki perasaan yang kuat mengenai Yesus tetapi tidak paham. Petrus begitu bersemangat tetapi juga tidak paham, tetapi Yohanes segera mengerti.
Iman dan kepercayaan akan Tuhan yang bangkit ternyata tidaklah selesai satu kali peristiwa. Para murid pelan-pelan ditempa oleh pengalamannya untuk menjadi semakin percaya. Kepercayaan mereka pelan-pelan berkembang dari keragu-raguan, mulai percaya, sampai akhirnya menjadi paham dan percaya penuh sewaktu mereka dipenuhi Roh Kudus.

Iman kepercayaan kita pun membutuhkan waktu untuk berkembang. Iman membutuhkan proses untuk semakin mendalam. Bila saat ini iman kita belum begitu kuat, tidak perlu khawatir dan sedih. Kita masih terus harus mengembangkannya dengan semangat kasih Tuhan. Kita percaya bahwa kebuasan maut tidak mungkin mengalahkan hidup. Percaya bahwa Yesus yang mati di kayu salib tidak mungkin mati selamanya tetapi dibangkitan Bapa. Percaya bahwa cinta Allah kepada kita tidak mungkin dicabut siapa pun, juga oleh dosa sekalipun. Asal kita dekat dengan Tuhan, hidup kita akan diresapi dan diteguhkan hidup Kristus yang bangkit. Kekuatan-Nya membangkitkan semangat dan menjadi kekuatan serta menjadi topangan hidup kita. Marilah kita bersyukur dan merayakan kebangkitan Kristus dan kebangkitan kita. SELAMAT HARI RAYA PASKAH. ALLELUYA. (FX. Mgn)

Sabtu, 27 Maret 2010

IA TIDAK ADA DI SINI, IA TELAH BANGKIT

SABTU SUCI – MALAM PASKAH (C)
Tirakatan Kebangkitan Tuhan
Hari Sabtu, 3 April 2010

Kel 14:15 – 15:1;
Rm 6:3-11;
Luk 24:1-12

Peristiwa wafatnya Yesus di kayu salib cukup menggetarkan hati yang menyaksikan dan mengalaminya. Peristiwa yang membuka hati dan menumbuhkan kesedihan, ketakutan dan penyesalan. Kesedihan bagi yang merasa dekat dengan Dia, ibunda-Nya, para rasul dan para pengikut-Nya. Peristiwa sedih, takut dan menyesal menyelimuti banyak orang.

Mereka menganggap setelah kematian Yesus, semua menjadi selesai. Bahkan ajaran-ajaran-Nya ikut terkubur bersama kematian-Nya. Dan apa arti semuanya itu? Seakan-akan semuanya hanya kenangan. Maka mereka hanya berpikir singkat pergi ke makam melihat kubur-Nya.
Para wanita itu Maria Magdalena, Yohana dan Maria ibunda Yakobus pagi-pagi benar pergi ke makam dengan membawa rempah-rempah. Namun betapa terkejutnya para wanita yang datang ke makam itu tidak menemui jenazah Yesus. Kemungkinannya jenazah Yesus dicuri orang?

Kendati para murid termasuk para wanita, pernah diberi tahu bahkan sampai tiga kali, bahwa Anak Manusia akan menanggung sengsara sampai mati dan tiga harinya dibangkitkan kembali, mereka tetap tidak mengerti apa maksud kata-kata Yesus itu. Hal itu baru teringat ketika mereka diingatkan dua malaikat, “Mengapa kamu mencari yang hidup di antara orang mati? Dia tidak lagi di sini. Dia sudah bangkit.”

Tegoran malaikat itu mengingatkan wanita itu ketika Yesus sewaktu di Galilea. Setelah mereka teringat akan nubuat Yesus itu, wanita-wanita itu langsung memberitahukan kepada kesebelas murid dan semua saudara yang lain. Dengan demikian, warta kebangkitan Yesus dari para wanita itu bukan didasarkan pada kubur kosong semata, tetapi pada perkataan malaikat, ingatan dan pemahaman mereka tentang nubuat Yesus sendiri. Para rasul tidak percaya dan menganggap omong kosong pembetahuan wanita itu. Meski demikian, Petrus, salah seorang dari kesebelas rasul, tampaknya mau menguji pemberitahuan wanita itu dengan cepat-cepat pegi ke kubur Yesus dan menjenguk ke dalamnya. Ketika mereka hanya melihat kain kafan dan tidak menemukan mayat Yesus, ia termangu-mangu. Petrus tidak membenarkan pemberitahuan wanita-wanita itu dan mengakui bahwa Yesus telah bangkit tetapi hanya merasa terheran-heran apa yang terjadi.

Apakah kita juga seperti para rasul yang mendengar dengan telinga, tetapi tidak dengan hati? Semoga kita percaya bahwa Yesus telah dibangkitkan dari alam maut takkan wafat lagi. Seperti kata Paulus, “Jika Yesus tidak bangkit, sia-sialah iman kita.” Tidak ada satu pun manusia di dunia yang bisa membuktikan ada kehidupan setelah kematian, selain Yesus yang telah bangkit kembali. Kebangkitan Yesus menjadi jaminan nyata bahwa kematian bukanlah akhir segala-galanya, sebab setelah mati orang akan hidup kembali. Iman ini pula yang menyelamatkan kita. Dan semoga kita juga mau menimba pengalaman iman perempuan-perempuan tadi yang awalnya ada keragu-raguan, namun kemudian memperoleh jawaban pasti dari para malaikat: “Ia tidak ada di sini, Ia sudah bangkit!” ALLELUYA.  (FX. Mgn)

Jumat, 26 Maret 2010

IA RELA MENDERITA DAN MENYERAHKAN HIDUP-NYA DEMI KESELAMATAN MANUSIA


JUMAT AGUNG
Memperingati Sengsara dan Wafat Tuhan
Hari Jumat, 2 April 2010

Yes 52:13 – 53:12;
Ibr 4:14-16; 5:7-9;
Yoh 18:1 – 19:42

Yesus yang selama hidupnya setia kepada Bapa-Nya dan cinta-Nya dicurahkan kepada manusia, harus wafat karena dosa manusia.

Di saat-saat akhir hidup-Nya para sahabat-sahabat-Nya satu-persatu meninggalkan Dia. Pada saat Ia kesepian membutuhkan teman semuanya pergi menjauh daripada-Nya. Tentu sangat menderita dan pedih hati-Nya, takala perjamuan malam Yudas meninggalkan Dia. Yudas mencium Dia untuk menunjukkan kepada para serdadu bahwa Dialah orangnya. Tidak hanya itu Petrus murid kesayangan-Nya menyangkal Dia, bahkan sampai tiga kali, “Aku tidak kenal orang itu.”
Ketika Dia diadili secara tidak adil, Ia dicemohkan oleh banyak orang, disiksa dengan bengis dan diperlakukan seperti seorang penjahat. Tak satu pun murid-Nya mendampingi atau membela-Nya. Tentu Ia sangat kecewa tatkala banyak orang berubah pikiran dengan begitu cepat, tatkala Ia harus menjadi pesakitan. Tadinya menyanjung-Nya sebagai Raja, tetapi saat itu semua berteriak, “Buang, buang saja! Salibkan Dia!” Hal ini tentu membuat hati-Nya gundah dan perang batin, seolah-olah Bapa-Nya pun meninggalkan Dia, “Ya Bapa, mengapa Engkau meninggalkan Daku.”

Saat tergantung di kayu salib, Ia menahan sakit, lapar dan haus yang tak terperikan setelah memanggul salib menaiki bukit Golgota. Dan dari atas kayu salib dengan wajah yang tegar dan pasrah kepada Bapa-Nya, Ia mengatakan: “Ampunilah mereka, karena mereka tidak tahu apa yang dilakukannya.” Dari perkataan-Nya itu menunjukkan bahwa Dia sungguh mencintai manusia. Mencintai para murid-Nya yang meninggalkan Dia. Mencintai orang-orang yang mencemohkan dan mengejek Dia dan orang-orang yang menyalibkan Dia. Ia tetap setia pada Bapa-Nya yang seakan-akan meninggalkan Dia sendirian, dan sabda-Nya “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu, Kuserahkan hidup-Ku.” Kemudian Ia menundukkan kepala dan wafat.

Bisa kita rasakan betapa besar cinta-Nya kepada manusia, kepada kita sekalian. Ia telah menjalani tugas penebusan. Kini dosa kita telah ditebus-Nya. Kendati kita sangat berdosa, Ia tetap mengampuni dan menerima kita semuanya. Ia rela menderita dan menyerahkan hidup-Nya demi keselamatan manusia. Semoga dengan cinta-Nya tak terbatas kepada manusia, kita semua mau bersyukur kepada-Nya dan meniru semangat-Nya. (FX. Mgn)

Kamis, 25 Maret 2010

SALING MELAYANI DAN MENGASIHI

KAMIS PUTIH
Mengenangkan Perjamuan Tuhan
Hari Kamis, 1 April 2010

Kel 12:1-8.11-14;
1Kor 11:23-26;
Yoh 13:1-15

Dalam Kamis Putih ini kita diajak untuk merenungkan dua hal penting, yaitu makna perjamuan malam terakhir dan pembasuhan kaki para murid yang dilakukan oleh Yesus.

Cinta-Nya yang begitu besar kepada para murid, sebelum Ia pergi diwujudkan dengan makan dan minum bersama. Bahkan makan dan minum-Nya diangkat menjadi tanda diri-Nya sendiri, yang selalu ingin bersama dengan para murid. Bukan itu saja, cinta Yesus kepada para murid-Nya diwujudkan dengan membasuh kaki mereka.
Menurut tradisi Yahudi mencuci kaki adalah sebuah bentuk penghormatan seseorang terhadap orang yang dianggap mempunyai status atau jabatan lebih tinggi atau lebih terhormat. Ketika Yesus mencuci kaki para murid, jelas ini melawan adat, maka ditolak oleh Petrus. Dia yang adalah murid merasa tidak pantas  dihormati gurunya sedemikian rupa. Kendati ditolak Petrus, Ia tetap melakukan-Nya bahkan Dia mengingatkan kalau Petrus tidak mau dicuci kakinya maka dia  tidak akan masuk dalam bagian komunitasnya.

Apa maknanya?
Yesus melakukan sebuah perbuatan pasti ada tujuannya. Tindakan mencuci kaki merupakan salah satu bentuk pengajaran bagi para murid. Ini adalah keteladanan mengenai penghormatan. Ia memberi contoh kepada para murid-Nya agar saling menghormati dan bersikap rendah hati.

Bagaimana dalam kehidupan sehari-hari?
Dalam tata dunia membuat aneka pembedaan. Dunia mengelompokkan manusia dalam bermacam tingkatan. Pembagian ini berdasarkan kelahiran, jabatan, kekayaan dan seterusya. Ada orang yang terlahir sebagai bangsawan, maka dia secara  otomatis menempati sebuah posisi tertentu. Dia menjadi lebih unggul dibandingkan dengan orang lain. Pada jaman dulu budaya Jawa sangat ketat mempertahankan kebangsawanan. Orang yang terlahir sebagai bangsawan tidak boleh bergaul dengan orang yang bukan bangsawan atau yang lebih rendah. Apalagi mereka menikah dan sebagainya. Namun sekarang gelar kebangsawanan tidak lagi mendapatkan penghormatan, maka orang berusaha mencari aneka gelar akademik, kekayaan dan jabatan untuk memperoleh penghormatan. Orang sangat bangga bila di depan atau belakang namanya ada aneka gelar akademik atau aneka jabatan.
Disinilah sering kali timbul kesulitan besar. Pada umumnya orang hanya menghormati orang yang dianggap mempunyai status atau kasta yang sederajat atau yang lebih tinggi. Penghormatan hanya berjalan dari bawah ke atas. Dunia mengajarkan penghormatan adalah hak orang yang lebih tinggi martabatnya. Orang yang mempunyai jabatan, kekayaan atau kekuasaan. Orang miskin dan terpingggirkan hanya wajib menghormati namun dia tidak mendapat penghormatan. Rakyat wajib menghormati presiden, sebaliknya presiden tidak mempunyai kewajiban menghormati rakyatnya. Bahkan tidak jarang orang yang dianggap punya kekuasaan tinggi, jabatan tinggi dan sebagainya dapat sewenang-wenang menindas orang yang dianggap lebih rendah. Penghormatan seolah-olah hanya berlaku dari bawahan pada atasan.

Bagaimana seharusnya?
Maka dalam Kamis Putih ini kita diingatkan kembali untuk lebih rendah hati, saling melayani dan mengasihi. Mau belajar dari Yesus, saling menghormati dan tidak membeda-bedakan. Seperti yang telah dilakukan oleh Yesus. Dialah Guru dan Tuhan yang mau merendahkan diri dan memberi contoh nyata dengan membasuh kaki yang semestinya pekerjaan itu dilakukan oleh seorang hamba.
Cinta bagi Yesus diungkapkan dalam tindakan dan pelayanan. Cinta sejati bagi Yesus bukanlah menguasai yang dicintai, melainkan melayani yang dicintai-Nya. Inilah juga yang diharapkan Yesus kepada para murid-Nya dan oleh kita sebagai pengikut-Nya, yaitu mencintai dalam wujud melayani orang lain. Karena semua manusia adalah citra Allah dan bermartabat sama. Dari situlah Yesus telah memberi contoh kepada para murid agar saling melayani dan saling menghormati dengan tindakan simbolis membasuh kaki para murid-Nya.

Marilah kita meneruskan semangat Yesus dalam sabda-Nya pada akhir perjamuan, “Bila Aku, Tuhan dan Gurumu membasuh kakimu, kamu pun harus membasuh kaki satu sama lain. Aku memberikan teladan kepadamu supaya kamu berbuat seperti tadi Kuperbuat untukmu.” (FX. Mgn)

Senin, 22 Maret 2010

RAJA YANG RENDAH HATI DAN MAU MENDERITA DEMI KITA



MG PALMA (C)
Minggu Sengsara
Hari Minggu, 28 Maret 2010 

Yes 50:4-7;
Flp 2:6-11;
Luk 22:14-23:56 
atau 23:1-49

Betapa kesal dan marah hati kita, bila tidak bersalah tetapi dipaksa mengaku salah dan berurusan dengan pengadilan?

Hal ini terjadi pada diri Yesus yang dihadapkan kepada Pilatus untuk diadili. Yesus tidak bersalah tetapi harus mengaku salah, dituduh menghasut rakyat dengan ajaran-ajaran-Nya. Walau tidak terbukti bersalah tetapi karena desakan orang banyak Ia harus menghadapi hukuman mati dan memanggul salib, mendapat siksaan, cercaan, cambuk duri dan dicemooh, dihujat serta diludahi. Yesus diperlakukan sebagai penjahat tetapi Ia tidak marah dan kesal, tetapi hanya diam.
Ia sebenarnya Raja yang sangat rendah hati yang cukup dengan berkendara keledai, namun Ia dielu-elukan rakyat dengan lambaian daun palma. Ia serupa dengan Allah, tetapi Ia telah menghampakan diri-Nya sebagai seorang hamba. Bahkan Ia merendahkan diri dan taat sampai mati. Mati di kayu salib. Ia adalah Raja yang rela menerima hukuman mati di kayu salib karena kecintaan-Nya kepada manusia. Semua yang Ia lakukan demi keselamatan manusia. Ia menebus dunia dan mempersatukan umat manusia menjadi kawanan yang amat disayangi-Nya.
Dari sebab itu Yesus diagungkan Allah dan dianugerahkan nama yang paling luhur, agar  semua makhluk di surga, di bumi dan di bawah bumi, tunduk dan hormat kepada-Nya. Supaya semua orang mengakuinya, bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan, untuk memuliakan Allah Bapa.

Benarkah kita masih mengakui bahwa Dia adalah Raja, bila kita mengalami perlakuan yang serupa dengan yang dialami Yesus? Mungkinkah malah makin ”kuncup” hati kita? Tidak!
Bila kita memperhatikan perkataan kepala pasukan yang berdiri dekat Dia disalib, kepala pasukan itu memberi kesaksian bahwa: ”Sungguh, orang ini adalah orang suci.” Dari situ kita semua mesti berbangga, bahwa benar Ia adalah Putra Allah. Dia yang menyertai kita, ketika kita memikul salib penderitaan hidup. Dia yang mampu memberi semangat untuk bangkit kembali bila kita jatuh. Di mana kita hidup dalam suasana penderitaan, sering mengalami tuduhan-tuduhan palsu karena kebencian dan iri hati, mengalami ketidakadilan sosial karena semua orang hanya menomorsatukan harta dan haus kekuasaan.

Marilah dalam keadaan seperti sekarang ini kita tetap percaya dan mempercayakan diri kepada Dia yang selalu memberi solusi ketika hati kita ”kuncup” karena ketakutan menghadapi pencobaan, sambil berucap: ”Sungguh, Dia itu putra Allah.” Dialah Tuhan yang selalu beserta kita. (FX. Mgn)

Senin, 15 Maret 2010

MELIHAT DIRI DAN MEMBINA DIRI


MG PRAPASKAH V (C)
Hari Minggu, 21 Maret 2010

Yes 43:16-21;
Fil 3:8-14;
Yoh 8:1-11

Dalam diskusi ringan membahas masalah dosa; salah seorang peserta diskusi bertanya kepada yang lain. “Adakah di antara kita ini yang tidak berdosa?’ Semua menjawab: “Wah tidak ada!” Kalau begitu semuanya berdosa. (Rm 3:23) Dari percakapan itu saya jadi sadar bahwa, ”Ketika saya melihat kesalahan orang lain, pada saat yang sama saya sadar bahwa kesalahan saya lebih besar daripada kesalahan mereka.”  

Sebenarnya agar manusia tidak jatuh dalam dosa telah banyak sekali dibuat peringatan dan rambu-rambu hidup berupa peraturan, undang-undang dan hukum. Saking banyaknya malah menggoda kita untuk melanggarnya. Ingat saja! Sejak larangan memakan buah dari pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat, oleh Hawa dilanggar. Itu merupakan pelanggaran pertama yang dilakukan oleh manusia. Kemudian Allah menurunkan Sepuluh Perintah Allah; Jangan membunuh, jangan berzinah, jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi dusta, jangan mengingini … dst. Itu pun dilanggar juga. Seolah-olah ada kesan peraturan diciptakan untuk dilanggar.

“Masih ingatkah kita bunyi Sepuluh Perintah Allah?” Bisa jadi karena kita memang malah sudah lupa bunyi “Sepuluh Perintah Allah.” Apa lagi mentaati. Maksudnya diturunkan Sepuluh Perintah Allah bagi kita, yang penting bukan menghafal bunyi Sepuluh Perintah Allah itu, tetapi diharapkan mentaati perintah itu agar kita tidak berbuat salah. Tetapi kita lebih melihat kesalahan orang lain daripada kesalahan sendiri. Atau malah mencari-cari kesalahan orang lain?
Seperti dalam Injil tadi menyebutkan, para ahli Taurat dan orang-orang Farisi membawa kepada Yesus, seorang perempuan yang kedapatan berbuat zinah. Menurut hukum Taurat perempuan itu harus dirajam dengan dilempari batu sampai mati. Mereka minta pendapat Yesus, apa yang harus dilakukan. Ini ditanyakan sekedar untuk mencobai Yesus. Dalam hatinya mereka berpikir bahwa Yesus itu kan orang baik hatinya dan taat beragama. Apakah Yesus akan merajam wanita itu sesuai dengan hukum Taurat atau membebaskan wanita itu? Kalau Yesus memerintahkan supaya dirajam saja sesuai dengan hukum Taurat, maka Yesus bisa dianggap seorang pembunuh, kejam dan bengis, munafik serta tidak sesuai dengan kata-katanya yang manis dan lembut. Atau sebaliknya bila Yesus mengatakan jangan dirajam, kasihan biarkan dia pulang, maka Yesus dianggap guru palsu dan tidak menurut hukum Taurat, Ia dianggap melanggar aturan.
Yesus tidak menghukum wanita itu sesuai dengan hukum Taurat atau kasihan tetapi Ia membebaskan wanita itu berdasarkan suara hati-Nya. Kepada mereka, Ia memberi jawaban yang diplomatis bahwa di antara kalian yang tidak berdosa agar melempari wanita itu dengan batu. Rupanya mereka menyadari bahwa tak satu pun di antara mereka yang tidak berdosa, maka satu per satu meninggalkan wanita itu. Kepada wanita itu, Ia mengajaknya berbuat baik dan berkata: ”Pulanglah dan mulai sekarang jangan berbuat dosa lagi”

Pertanyaan bagi kita?
Kita sebagai pengikutnya sebenarnya tidak jauh berbeda dengan orang-orang Farisi dan ahli Taurat; tidak melihat kesalahan sendiri tetapi mencari-cari kesalahan orang lain. Kita semua pendosa, berbuat seperti perempuan itu menjual diri dan nilai-nilai hidup kita, untuk mendapatkan harta kekayaan yang melimpah dengan cepat. Untuk memperoleh tujuan politik dengan mengorbankan orang lain. Untuk mendapatkan pangkat dan jabatan tertentu dengan melanggar nilai-nilai kehidupan dan menghalalkan segala cara yang bertentangan dengan hati nurani kita dengan sengaja. Semua itu tidak sesuai dengan harapan Tuhan.
Namun harus diingat bahwa Yesus tidak tinggal diam dan membiarkan kita jauh dari pada-Nya. Karena Ia sebagai penyelamat kita, akan menerima kita kembali sebagai anak hilang sepanjang kita mau bertobat dan berbalik kembali kepada-Nya. Tuhan mau menerima kita kembali dan tidak mengingat-ingat masa lalu kita, asal kita mau memperbaiki hidup dengan rendah hati. Tidak mengingat-ingat kesalahan orang lain tetapi melihat kekurangan diri sendiri. Itulah kecintaan Tuhan kepada manusia.
Ia mencintai kita yang tidak jauh berbeda dengan orang-orang Farisi dan perempuan yang kedapatan berzinah tadi. Sekalipun kita berdosa, Tuhan tidak menghukum kita sebagaimana Yesus tidak menghukum perempuan itu. Dia sabar memberi kesempatan kepada kita, ‘pulanglah dan mulai sekarang jangan berbuat dosa lagi’. Sebab Yesus datang untuk menolong dan mengangkat kita, Ia datang untuk menyembuhkan dan menerangi kegelapan hati kita.

Lalu bagaimana dengan kita?
Apakah kita merasa tidak punya dosa? Kalau kita berdosa, maukah mengakui kedosaan kita dan mohon ampun kepada-Nya? Sadarkah kita bila ternyata kalau melanggar Perintah Allah itu menolak cinta kasih? Yang dampaknya merugikan sesama?
Berrefleksi atas kisah pengampunan terhadap perempuan berzinah tadi, marilah dalam masa Prapaskah ini kita mawas diri dan berusaha untuk hidup baik. Melihat diri dan membina diri. Menyadari segala kekurangan kita sebagai daging yang lemah dan sering jatuh ke dalam dosa. Kita serahkan sepenuhnya segala dosa kita kepada Tuhan dan mohon ampun kepada-Nya, dengan menghadap imam di kamar pengakuan. Ia akan mengampuni kita sesuai dengan kewenangan dan jabatannya dalam Sakramen Tobat. (FX. Mgn)

Selasa, 09 Maret 2010

ALLAH ITU MAHABAIK, IA MENCINTAI ”PENDOSA” YANG MAU DATANG KEPADA-NYA


MG PRAPASKAH IV (C)
Hari Minggu, 14 Maret 2010

Yos 5-9a. 10-12;
2Kor 5:17-21;
Luk 15:1-3.11-32

Kebaikan Allah terhadap manusia ciptaan-Nya, nampak jelas dalam tindakan Putra-Nya Yesus Kristus ketika menerima para pendosa yang mau mendekat kepada-Nya. Hal itu membuat kaum Farisi dan Ahli Kitab bersungut-sungut, karena Yesus bergaul dan makan bersama-sama dengan mereka para pemungut pajak dan pendosa lainnya.

Kemarahan kaum Farisi dan ahli Kitab dijawab Yesus dengan membuat perumpamaan. Ada seorang ayah yang mempunyai dua orang anak lelaki. Si bungsu meminta bagian harta miliknya untuk mulai hidup sendiri lepas dari orang tua. Kemudian ia merantau, tetapi ia tidak menjalani kehidupan yang benar. Anak bungsu itu malah berfoya-foya menghabiskan harta miliknya. Ketika ada kelaparan ia jatuh melarat, terpaksa hidup menderita sebagai budak. Akhirnya ia memutuskan kembali kepada ayahnya.
Ketika melihat anaknya dari kejauhan, sang ayah lari menjemputnya. Ia menyuruh orang-orang untuk memberinya jubah yang terbaik, cincin, dan sepatu. Tanda ia diakui kembali sebagai anak. Kedatangannya kembali juga dipestakan.

Sementara itu anaknya yang sulung pulang dari ladang dan mendengar bahwa adiknya yang bungsu pulang dalam keadaan melarat setelah menghabiskan hartanya malah dipestakan. Si Sulung marah, tak mau masuk ke rumah ikut pesta. Anak sulung itu bersungut-sungut, “Sudah bertahun-tahun saya bekerja tanpa melanggar perintah tapi tak satu kali pun mendapat kesempatan bersuka ria. Dan kini Si Bungsu yang pemboros dan tak berbakti malah dipestakan besar-besaran.” Tetapi ayahnya keluar membujuknya, agar Si Sulung masuk ke rumah dan ikut berpesta, dengan mengatakan, “Anakku, engkau selalu bersama-sama dengan aku, dan semua milikku juga kepunyaanmu …”

Bagaimana dengan kehidupan kita?
Kehidupan kita kerapkali tidak berbeda jauh dengan kehidupan anak sulung dan anak bungsu dalam perumpamaan tadi. Identitas kita secara formal adalah umat Allah, tetapi hati dan pikiran kita seringkali sama dengan kedua anak tadi. Kita merasa bahwa hidup kita lebih saleh, tidak berfoya-foya, setia melaksanakan kehendak Allah. Masalahnya, kita menjadi sangat marah ketika Allah berkenan mengampuni orang yang berdosa dan memberi karunia-Nya kepada orang-orang yang berdosa yang mau bertobat. Sering merasa diri lebih saleh dan hidup benar, tetapi pada sisi lain kita bersikap iri-hati terhadap kebaikan Allah yang dinyatakan kepada orang-orang yang kita anggap lebih buruk daripada kita? Ternyata kedua peran, baik sebagai anak bungsu maupun sebagai anak sulung bukanlah peran yang tepat untuk kita jalani.

Lalu peran apa yang harus kita lakukan?
Peran yang seharusnya kita lakukan dengan penuh kesadaran iman adalah kita mau berperan sebagai ayah dari kedua anaknya, baik sebagai ayah yang sulung maupun ayah yang bungsu, yaitu berusaha memiliki sikap seorang bapa: “memiliki kasih seorang bapa”
Sepanjang kita menghayati bahwa Allah di dalam Kristus adalah seorang Bapa yang penuh kasih, maka seharusnya kita dengan kuasa anugerah-Nya juga bersedia memerankan kasih seorang bapa yang selalu bersedia untuk mengampuni setiap orang yang bersalah kepada kita. Seperti kasih Allah senantiasa tidak bersyarat. Dia tetap mengasihi kita walaupun kita seringkali tidak setia dan menyakiti hati-Nya. Kasih Allah tersebut sangat berbeda dengan sikap anak-anaknya yang lebih cenderung memiliki kasih yang bersyarat! Dengan perkataan lain, kita akan gagal memerankan kasih seorang bapa ketika kasih kita masih bersyarat. Kita tidak akan dapat memberi pengampunan yang tulus kepada sesama atau musuh selama jenis kasih kita masih dengan syarat-syarat misalnya: “Saya bersedia mengampuni, jikalau dia mau meminta maaf terlebih dahulu”, atau: “Saya bersedia memaafkan kesalahannya, jikalau dia mau datang ke rumahku untuk meminta maaf”. Beranikah kita meluruskan hidup ini? Apakah kita masih dendam seperti si Sulung atau masih seperti si Bungsu yang memboroskan harta dan berfoya-foya?

Semoga perumpamaan anak bungsu dan anak sulung tadi juga membantu mengerti kebesaran Tuhan. Ia mencintai si bungsu yang "pendosa" dan mengasihi si sulung "yang keras hatinya" itu, karena Allah itu mahabaik kepada orang-orang  yang merasa berdosa dan mau datang kepada-Nya. (FX. Mgn).

Senin, 01 Maret 2010

BERSYUKUR KARENA MASIH DIBERI KESEMPATAN BERTOBAT

MINGGU PRAPASKAH III (C)
Minggu, 7 Maret 2010

Kel 3:1-8a.13-15;
1Kor 10:1-6.10-12;
Luk 13:1-9

Masa Prapaskah adalah masa perlunya bertobat. Yesus menyerukan pentingnya pertobatan. Hidup tanpa pertobatan akan menderita dan tidak memperoleh kebahagiaan di akhir zaman. Buah dari penolakan pertobatan adalah ”penyiksaan” di akhir hidupnya. Apa maksudnya?

Apakah orang yang tidak mau bertobat, ”matinya” nanti akan mengalami penyiksaan dengan dikeroyok orang banyak dan dibantai beramai-ramai? Bukan! Gambaran penyiksaan tadi hanya ingin mengatakan bahwa, orang yang tidak mau bertobat akan kehilangan kegembiraan dalam perjalanan hidupnya. Sepanjang hidupnya tidak ada ketenangan dan kedamaian lagi.
Misalnya seseorang yang membunuh, berzinah, mencuri atau menipu, ketika perbuatannya ketahuan orang lain akan mengalami ketakutan dan keresahan. Contoh lain seseorang yang korupsi, awalnya mereka merasa senang karena bisa memperoleh kesempatan korupsi dan memperkaya diri. Tetapi setelah ketahuan bahwa kekayaan yang mereka nikmati itu dari hasil korupsi, mereka akan menuai perasaan malu dengan keluarga atau tetangga dan selalu dikejar-kejar rasa bersalah, rasa diawasi ke mana pun pergi. Untuk menutupi kesalahannya orang itu akan membuat pembenaran kesalahannya dan merancang penipuan lainnya, dengan tidak mengaku dan mencari pengacara. Bisa dibayangkan, orang itu bukan ketenangan yang diperoleh, melainkan kegelisahan dan kegundahan terus-menerus.

Bagaimana dengan diri kita?
Harus diakui bahwa, sekecil apa pun semua manusia pasti pernah bersalah. Tidak bisa orang membandingkan diri dengan orang-orang lain lebih bersalah, untuk membenarkan dirinya. Kalau kita masih diberi kesempatan hidup sekarang ini, berarti kita masih diberi kesempatan untuk bertobat. Ini seperti pohon ara yang masih diulur usianya hingga satu tahun, seperti Injil hari ini. Oleh pengurus kebun masih berusaha mencangkul sekeilingnya dan memupuk, mudah-mudahan mau berbuah.
Pohon ara adalah simbol diri kita masing-masing. Hidup kita diumpamakan pohon yang setiap hari dipelihara, dicintai, dibimbing dan diarahkan Tuhan. Tentu akan sedih bahkan marah pemilik pohon ini, bila pohon kehidupan kita tidak menghasilkan buah apa-apa. Seperti kata Yesus, mereka ini harus ditebang, dimusnahkan karena tidak ada faedahnya. Apa lagi kalau kita malah membanding-bandingkan kesalahan sendiri dengan hanya melihat kesalahan orang lain, ”seolah kesalahan saya lebih kecil daripada kesalahan mereka.” Yesus mengingatkan, ”Apakah kamu kira, kamu akan lebih baik dari nasib mereka? Kalau kamu tidak bertobat, kamu akan mengalami hal yang sama”

Lalu pertobatan yang bagaimana yang harus kita lakukan?
Dengan masih diberi kesempatan hidup ini, mestinya kita berani menyusun kembali kehidupan baru dengan membuat perubahan, meskipun dasarnya tetap hidup lama. Mulai membenahi hidup dan pohon kehidupan kita dengan menyirami, memberi pupuk dan mencabuti rumput yang tumbuh dalam pohon kehidupan kita agar menghasilkan buah. Memupuk pohon kehidupan kita dengan Sakramen Tobat, mohon bimbingan dan pengarahan agar hidup kita sejalan dengan kehendak Tuhan. Tidak harus menunggu kita sudah tua baru membenahi hidup; bisa terlambat. Kita bersyukur karena masih diberi kesempatan bertobat. (FX. Mgn)