SELAMAT DATANG DAN SELAMAT BERJUMPA

Senin, 22 Februari 2010

SINAR KEMULIAAN KRISTUS MENERANGI SELURUH KEHIDUPAN MANUSIA


MG PRAPASKAH II / C
(Hari Minggu, 28 Februari 2010)
 
Kej 15:5-12. 17-18;
Flp 3:17-4:1
Luk 9:28b-36

Menurut pandangan banyak orang menjadi orang Katolik itu enak, hidupnya bahagia, tidak pernah mengalami kesulitan dan ekonominya mapan.

Pandangan ini sama seperti yang dialami Petrus, Yohanes dan Yakobus ketika mereka diajak Yesus ke atas gunung. Mereka seolah-olah jalan-jalan menikmati indahnya dan sejuknya hawa gunung. Namun mereka tidak sadar bahwa Yesus mengajak naik gunung itu untuk berdoa. Maka mereka sampai tertidur dan begitu bangun yang nampak Yesus dalam kemuliaan bersama Musa dan Elia.
Pengalaman ketiga rasul yang menemani Yesus naik ke atas Gunung Tabor adalah pengalaman rohani yang luar biasa. Di atas gunung itu, mereka menyaksikan kemuliaan Yesus, yang membuat hati mereka bahagia dan ingin tetap tinggal di situ bersama-Nya. Maka Petrus ingin mendirikan tiga kemah; satu untuk Yesus, satu untuk Musa dan satu lagu untuk Elia.
Dengan permohonan tersebut, tanpa Petrus sadari ingin mengurung atau menghalangi kepergian Kristus ke Yerusalem untuk menderita dan wafat. Petrus ingin agar Yesus, Musa dan Elia tetap tinggal di atas gunung itu bersama dengan mereka. Sepertinya Petrus ingin mengalihkan perhatian tujuan percakapan antara Yesus dengan Musa dan Elia, sehingga dia dapat berlama-lama menyaksikan kemuliaan Kristus.
Tapi, Yesus tidak membiarkan mereka larut dan ’terbius’ dengan pengalaman yang indah itu. Mereka harus ’turun gunung’ untuk melanjutkan tugas perutusan; dan hal itu seringkali berarti menyangkal diri dan memanggul salib demi mendapatkan pengalaman kemuliaan Yesus yang abadi.

Bagaimana pandangan kita sendiri?
Sikap Petrus tersebut juga mencerminkan sikap kita pada umumnya. Kita lebih senang jikalau Tuhan selalu bersama dengan kita pribadi daripada Tuhan berkarya melaksanakan misi-Nya ke lingkup yang lebih luas. Kita pun sering terjebak dalam godaan berupa kenikmatan-kenikmatan duniawi sesaat, dan lupa akan kehidupan lebih jauh ke depan yang lebih mulia. Di balik keberhasilan dan kelimpahan rezeki yang kita terima, membuat jauh dari Tuhan dan sesama. Tanpa kita sadari masih banyak sesama kita yang masih memanggul beratnya salib kehidupan. Di sekitar kita masih banyak yang miskin, menderita sakit, terbuang dan lemah yang sangat memerlukan uluran tangan kita.

Maukah kita menjadi sesama bagi orang miskin?
Mereka yang miskin juga memiliki keinginan yang sama dengan kita yaitu merasakan kemuliaan. Mereka ingin juga menikmati kebahagiaan dan merasakan nikmatnya hidup bersama di dunia yang sementara ini. Sebab karya keselamatan Allah yang terpancar dalam kemuliaan Kristus adalah untuk menerangi seluruh aspek kehidupan semua orang.

Bagaimanakah sikap kita sekarang?
Marilah kita yang hidup dalam kasih dan iman kepada Kristus, memancarkan cahaya kasih-Nya di tengah-tengah sesama yang menderita dan butuh keselamatan. (FX. Mgn).

 

Senin, 15 Februari 2010

BERTOBAT DARI DOSA DAN KETERIKATAN DUNIAWI DENGAN BERBUAT AMAL KASIH


MG PRAPASKAH I / C 
(Hari Minggu, 21 Februari 2010)
Ul 26:4-10;                 
Rm 10:8-13;
Luk 4:1-11

Dalam masa Prapaskah Gereja mengajak kita semua untuk mawas diri, untuk mengendapkan diri dan bertobat. Karena kita menyadari bahwa, sepanjang masih diberi kesempatan hidup, manusia berpeluang melakukan dosa dan sulit untuk menghindari godaan-godaan.

Bermacam-macam godaan yang menghadang hidup ini terutama godaan ”jasmani”. Godaan jasmani berupa kenikmatan duniawi, uang atau harta membuat banyak orang lupa diri dengan korupsi dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya. Apa lagi ada kesempatan dan mempunyai kekuasaan, lalu timbul keinginan memanfaatkan kesempatan itu untuk memperoleh materi dengan cepat dan mudah. Sekarang ini banyak sekali orang tergoda untuk memperoleh jabatan atau pangkat agar memungkinkan untuk segera memiliki semuanya itu dengan jalan pintas. Kecenderungan mengikuti godaan ”jasmani, pangkat atau jabatan” membuat sesama kita tidak bisa memperoleh kesejahteraan hidup. Dari semuanya itu tanda lunturnya kesetiaan pada Tuhan dan iman.

Bagaimana dengan kita?
Belajar dari pengalaman Yesus ketika Ia puasa 40 hari lamanya, Ia terasa lapar dan haus, setan menggoda-Nya dengan menyuruh Yesus mengubah batu menjadi roti. Yesus mengatakan, ”Manusia hidup bukan dari roti saja.” Sabda ini, mengingatkan kita agar dalam hidup ini jangan hanya mengejar materi berupa kekayaan, kenikmatan, dan kesenangan-kesenangan semata. Hal ini, karena orang tidak akan puas dan berhenti soal itu. Setelah memperoleh kelimpahan materi akan menerima tawaran godaan yang lain, yaitu kekuasaan dan pangkat atau jabatan.
Yesuspun mendapat tawaran kemuliaan dan kekuasaan dari Iblis jika Ia mau menyembah Iblis. Tetapi Yesus menolaknya, ”Hanya kepada Tuhan Allahmu engkau menyembah dan berbakti.”
Dari sini kita menjadi tahu tidak ada sesembahan lain kecuali hanya kepada Allah. Iman kita dipertanyakan, sejauh mana kesetiaan kita pada Yesus dan mengikuti kehendak-Nya? Kesetiaan pada Tuhan dan iman kita kepada-Nya seringkali diuji, ketika kita hanya menuruti keinginan-keinginan duniawi berupa materi, kekuasaan dan kedudukan lalu lupa pada Tuhan?
Seringkali kita tergoda untuk tidak setia dan berbakti kepada Tuhan, misalnya ada rasa malas ke gereja, malas mengikuti pertemuan lingkungan, karena merasa tidak ada yang kita dapatkan.

Bagaimana mengatasi godaan-godaan itu?
Dalam masa Prapaskah Gereja mengajak kita semua untuk mawas diri, untuk mengendapkan diri dan bertobat. Menyadari bahwa Tuhan sangat memperhatikan umat-Nya, maka diharapkan kita menanggapinya dengan membuka diri, dan berusaha untuk mengatasi godaan-godaan serta memberi kesempatan hidup kepada sesama dan berbuat amal kasih, melakukan ulah tapa dan mati raga dengan berpuasa sebagai bentuk pertobatan. Berpuasa, kita bukan hanya sekedar menahan rasa lapar dan haus jasmani. Tetapi rasa lapar jasmani yang kita alami dalam berpuasa itu, hanya merupakan sarana atau alat yang membantu kita menyadari bahwa sebagaimana orang yang tidak makan dan minum akan merasakan kelemahan dan ‘penderitaan’. Sebab setiap orang yang terpisah dari Yesus akan mengalami penderitaan dan kesusahan dalam hidup mereka.

Dengan berpantang dan berpuasa, Gereja mengajarkan kepada kita untuk mau menunjukkan bela rasa kita kepada orang-orang yang menderita, dengan menyisihkan harta dan kekayaan kita kepada mereka yang kekurangan. Dengan berbagi kepada mereka diharapkan kita memiliki kerelaan hati untuk menanggung sedikit penderitaan dalam hidup dengan menahan lapar dan haus. Agar orang-orang yang selalu merasakan kelaparan dan kehausan dalam hidupnya bisa merasakan nikmatnya mengunyah dan menelan makanan serta meneguk air. Itu artinya bahwa berpuasa baru bermakna bila apa yang tidak dimakan atau tidak diminum selama kita berpuasa itu dengan rela dan sukacita diberikan kepada mereka yang selama ini tidak bisa menikmati makanan dan minuman. Tanpa tindakan memberikan apa yang tidak dimakan dan apa yang tidak diminumnya untuk orang-orang yang kelaparan dan kehausan sebenarnya kita belum menjalankan puasa, tetapi hanya sekedar tidak makan dan minum saja.

Marilah dalam masa Prapaskah ini berhenti berpikir dari hal-hal duniawi semata, dengan berpantang dan berpuasa serta berbuat amal kasih kepada sesama yang kekurangan dan menderita, sebagai tanda bahwa kita menolak godaan dan ajakan setan. Seperti Yesus yang digoda setan agar Ia menjatuhkan diri dari puncak bukit, tetapi Ia menolaknya dengan mengatakan: ”Jangan engkau mencobai Tuhan, Allahmu”. (FX. Mgn)

Kamis, 11 Februari 2010

BERPUASA SEBAGAI SIKAP TOBAT KEMBALI KE JALAN ALLAH


RABU ABU: 
PANTANG DAN PUASA /ABC
(Hari Rabu, 17 Febr 2010)

Yl 2:12-18;                  
2 Kor 5:20. 6:2;               
Mat 6:1-6. 16-18

Mulai hari Rabu ini, kita sebagai umat Katolik sedunia memasuki masa pantang dan puasa sebagai persiapan merayakan paska, kebangkitan Tuhan kita Yesus Kristus.

Berpuasa, sesungguhnya untuk melatih rohani kita agar spiritualitas kita makin terbuka untuk menghayati pertobatan sebagai sikap hidup. Pertobatan yang dimaksud adalah agar kehidupan kita makin berkenan di hati Tuhan dan setia memelihara kesucian hidup. Itu sebabnya makna pertobatan bukan terletak pada upacara lahiriah dan kebiasaan keagamaan, melainkan pada pertobatan hati. Nabi Yoel berkata: “Koyakkanlah hatimu dan jangan pakaianmu”. Jadi yang dikehendaki oleh Tuhan dalam berpuasa adalah “hati yang mau dikoyakkan” sehingga kita menyesali dengan sungguh semua kesalahan dan dosa kita.
Percuma saja mengoyakkan pakaian tanda menyesali kesalahan dan dosa, tetapi ternyata hati tetap keras dan hidup kita terus bergelimang dalam dosa. Bahkan tindakan mengoyakkan pakaian dalam pengertian ini hanya sekedar suatu bentuk kepura-puraan belaka, yang artinya sama dengan kemunafikan. Manakala kita dipanggil untuk mengoyakkan hati adalah ajakan agar kita mengalami kasih dan pengampunan Allah yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

Saat kita berpuasa juga dapat kita pakai sebagai sarana untuk melatih dan mempertajam spiritualitas dan iman yang kita miliki. Sehingga setelah berpuasa, seharusnya kita dapat mengalami perubahan hidup; agar hidup kita menjadi lebih arif dalam menghadapi berbagai persoalan dan pemasalahan yang terjadi. Sebagai sikap pertobatan, maka dalam melakukan puasa seharusnya kita makin memiliki spiritualitas yang penuh kasih dan pengampunan kepada sesama. Karena itu saat kita berpuasa tidak boleh memiliki motivasi lain, selain sikap iman yang mau merendahkan diri secara total di hadapan Allah. Melalui puasa, kita ingin mengekspresikan sikap pertobatan. Sikap ini kita lakukan karena sikap bertobat harus dinyatakan dalam perbuatan, bukan sekedar rangkaian kata-kata yang saleh.

Itulah sebabnya pada masa ini juga disebut masa bertobat, yang berarti bangun dari kedosaan dan mulai membangun hidup baru selaras dengan iman akan Yesus Kristus. Dari situ pula bunda Gereja mengajak kita semua pada masa puasa ini untuk bertobat, kembali ke jalan Allah.
Selain itu dalam menghayati sikap pertobatan, Yesus mengingatkan kita tidak boleh melakukan puasa secara demonstratif sehingga orang banyak mengetahui dan memberi pujian saat kita sedang berpuasa. Sebab makna pertobatan yang dikehendaki oleh Yesus adalah “spiritualitas yang tersembunyi”. Maksud dari “spiritualitas yang tersembunyi” adalah sikap rohani yang tidak mencari nama, pujian atau penghargaan manusia. Karena itu Yesus berkata: “Ingatlah, jangan kamu melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat mereka, karena jika demikian, kamu tidak beroleh upah dari Bapamu yang di sorga”.

Betapa sering kita menyaksikan sikap pertobatan dipraktikkan hanya sebagai suatu demonstrasi kerohanian di hadapan umum, agar semua orang dapat melihat dan memberi pujian tentang bagaimana saleh kehidupan keagamaan semata. Apabila melakukan demonstrasi rohani yang demikian, sesungguhnya sudah mendapat upah atau hasilnya, yaitu pujian dari manusia. Tetapi sikap yang demikian tidak akan pernah mendapat penghargaan dan pujian dari Allah, sebab Allah sebagai Bapa hanya melihat yang tersembunyi. Allah hanya peduli kepada orang yang sungguh-sungguh merendahkan diri dan bertobat secara tulus serta mengasihi Allah tanpa syarat. Karena itu makna pertobatan yang benar di hadapan Allah bukanlah suatu publikasi berupa simbol-simbol sikap rohani yang ditampilkan secara sengaja dengan berdiri di tikungan-tikungan jalan, mengucapkan kalimat doa yang panjang bertele-tele, atau menampilkan wajah yang kusam karena sedang berpuasa.

Makna pertobatan adalah sikap hati yang mau berubah di hadapan Allah, yang mana efek perubahan hidup itu dapat dirasakan oleh setiap orang di sekitarnya.  Sikap bertobat semakin nyata dalam kehidupan rohani, seperti dalam berdoa dan berpuasa dengan kesungguhan hati, sikap yang tulus dan berserah kepada Tuhan dalam semangat spiritualitas yang tersembunyi. Jadi puasa dan berdoa sebenarnya hanyalah awal dari sikap bertobat, tetapi perubahan hidup merupakan wujud yang sesungguhnya dari pertobatan.

Masa puasa juga disebut masa Prapaska, masa untuk mempersiapkan perayaan paska, perayaan kebangkitan Tuhan, perayaan kemenangan Tuhan atas maut. Pesta kemenangan, bahwa kita yang disatukan dengan Tuhan Yesus dalam kematian-Nya, juga akan menerima kebangkitan bersama Dia. Pesta yang menandakan kemenangan kebaikan atas kejahatan. Kemenangan  kuasa Tuhan atas kuasa jahat. Maka untuk merayakan kemenangan itu kiranya cara yang sangat tepat adalah menyatukan hidup bersama Dia. Hidup bersama Dia berarti hidup dalam semangat-Nya, yaitu mengasihi Bapa dan sesama kita.

Marilah kita semakin dapat menghayati makna hari Rabu Abu sebagai sikap pertobatan agar hidup kita seluruhnya tidak lagi dibelenggu oleh kuasa dunia ini. Menjalani hidup dalam pertobatan, berbuat kasih dan pengampunan Allah secara nyata kepada setiap orang. Berpuasa dengan tulus, agar spiritualitas kita makin menjadi jernih sehingga kita makin dapat merasakan dengan penuh empati setiap orang yang sedang menderita dan kelaparan. Seperti dalam bacaan hari ini nabi Yoel berbicara tentang berpuasa dan Matius mengungkapkan sebaiknya kita berpuasa. Kita diajak berpuasa dengan tulus dan perbuatan baik yang kita lakukan, bukan karena agar dilihat orang tetapi motivasi kita selalu karena Tuhan. (FX. Mgn).

Senin, 08 Februari 2010

BERBAHAGIALAH ORANG MISKIN DAN CELAKALAH ORANG KAYA?

MG BIASA VI / C      
(Hari Minggu, 14 Februari 2010)
Yer 17:5-8;                 
1 Kor 15:16-20;
Luk 6:17. 20-26
Orang miskin kok berbahagia? Menurut pikiran kita yang berbahagia itu ya orang kaya! Orang kaya kecukupan segala-galanya: sandang, pangan dan papan, sedangkan orang miskin mau makan saja seadanya dan baju hanya yang menempel di tubuh. Bagaimana mungkin orang miskin berbahagia? Lagian siapa yang mau miskin? Kebanyakan orang maunya ya kaya!
Tetapi memang harus diakui bahwa orang miskin makin banyak di antara orang-orang kaya dalam dunia yang sudah modern ini. Miskin harta membuat orang tidak berkuasa untuk memperbaiki hidupnya.  Karena tidak berkuasa, orang itupun tidak berdaya dan tipis harapannya untuk memperoleh bantuan orang lain. Orang miskin tidak memiliki jaminan hidup dan sumber pertolongan kecuali dari Allah. Mereka hanya mengandalkan kemurahan dan belas kasih Allah. Maka mereka hidupnya tergantung sepenuhnya kepada Allah. Orang seperti ini yang disebut miskin di hadapan Allah.
Orang miskin tentu menderita, tetapi bagi orang miskin menjadi luar biasa kalau orang miskin yang terhimpit aneka kesulitan itu, tetap bersikap rendah hati dan berusaha hidup seturut kehendak Allah. Inilah yang dimaksud Yesus, “Berbahagialah, hai kamu yang miskin, karena kamulah yang empunya Kerajaan Allah.” Yesus memuji orang miskin, orang yang lapar dan yang menangis. Bahkan kita diajak merasakan dan menemukan kebahagiaan melalui perjuangan hidup manakala kita dibenci karena iman kepercayaan kita kepada Sang Anak Manusia, atau dikucilkan, dicela dan nama baik atau harga diri kita diremehkan. Kita diajak bersikap rendah hati dan berhati murni serta pembawa damai, meski mengalami penganiayaan, celaan dan fitnah. Namun kita percaya, bahwa orang yang mau bersakit-sakit dahulu akan memperoleh keberhasilan di kemudian hari. Orang yang mengandalkan Tuhan adalah orang yang "terberkati." Segala daya dan upayanya akan memperoleh hasil dan bertumbuh subur karena diberkati Tuhan.
Lalu kenapa Yesus mengatakan, tetapi celakalah kamu, hai kamu yang kaya, karena dalam kekayaanmu kamu telah memperoleh penghiburan” Apakah Yesus hanya perhatian kepada orang miskin? Tidak! Ia juga perhatian kepada orang kaya. Yesus juga berbicara kepada orang kaya, yakni orang yang berkelebihan, orang yang tak merasakan kekurangan apa pun. Kepada orang kaya tidak dikatakan kalian tak memiliki Kerajaan Allah. Namun yang Ia katakan bahwa, kehidupan mereka itu tidak ada artinya bila puas dan merasa aman dengan mengandalkan kelimpahan hartanya semata. Mereka akan celaka dan tidak akan memperoleh penghiburan kelak karena sekarang telah memperolehnya. Orang kaya yang dimaksud ialah yang menyombongkan diri dengan kekayaannya, acuh tak acuh terhadap Allah dan sesama, atau malah menindas orang yang tak mampu.
Dalam menjalani hidup ini, kita dihadapkan dua sikap dasar yang saling bertolak belakang yaitu kemiskinan dan kekayaan. Bila sekarang kebetulan sedang dikaruniai rezeki baru sedikit, ya tak usah putus asa, nanti ada saatnya akan dikenyangkan dan tertawa. Bila sekarang kebetulan sedang dikaruniai rezeki melimpah, ya tidak usah sombong. Celakalah orang yang sekarang kenyang dan tertawa, karena nanti akan lapar dan berduka cita.
Dengan demikian bisa ditarik kesimpulan bahwa hanya yang mengandalkan Allah entah kaya atau miskin akan masuk ke dalam Kerajaan Allah. Dengan kata lain yang menentukan seseorang bisa memiliki Kerajaan Allah, bukan soal kaya atau miskin harta tetapi sikap dan pandangan mereka terhadap Allah. Meskipun orang miskin harta tetapi tidak pernah bersyukur, adanya hanya mengeluh dan merasa kurang terus, mereka tidak bakal memiliki Kerajaan Allah. Sebaliknya orang kaya yang tidak menggantungkan diri pada kekayaannya semata dan rela berbagi kepada sesama yang membutuhkan, maka orang kaya itu pun bisa memiliki Kerajaan Allah.
Marilah kita sikapi sabda bahagia tentang ‘berbahagialah orang miskin dan celakalah orang kaya’, dengan mewujudkan kasih, keadilan dan damai di antara sesama. Dan marilah kita hanya mengandalkan Tuhan dan menaruh harapan kepada-Nya. Karena orang yang percaya dan bergantung kepada-Nya akan memperoleh berkat Allah yang melimpah-limpah. Semoga. (FX. Mgn)

Senin, 01 Februari 2010

TUHAN MENGUTUS BUKAN KARENA KITA SEMPURNA

MG BIASA V / C 
(7 Februari 2010)
Yes 6:1-2a.3-8;   
1 Kor 15:1-11 atau          
15:3:3-8.11;             
Luk 5:1-11  
Dalam pembaptisan, kita sebagai makhluk berdosa diangkat oleh-Nya menjadi anak-anak Allah. Kita diperkenankan menyebut-Nya Bapa. Karena telah diangkat menjadi anak-anak-Nya, seharusnya kita berserah diri dan semakin rendah hati di hadapan Allah. Sebagai pengikut-Nya, sejauh mana kita telah melaksanakan kehendak-Nya?
Dari ketiga kutipan di atas, nampak tiga tokoh yang dengan segala kelemahan dan kekurangan mereka, menunjukkan nilai kesetiaan dan kesanggupan dalam melayani. Dalam diri nabi Yesaya, lalu dalam diri Paulus, juga Petrus. Nabi Yesaya yang karena dosa-dosa dan kelemahannya telah memperoleh rahmat Allah. Ketika Tuhan bertanya dan mengajak siapa yang akan diutus pergi mengikut-Nya, ia dengan tegas menjawab, “Inilah aku, utuslah aku!” Demikian juga Paulus dan Petrus berkat rahmat Allah, ia menjadi pewarta kebangkitan di antara bangsa-bangsa. Mereka menjadi lebih rendah hati dan setia di hadapan Tuhan.
Hal ini dapat kita lihat dengan jelas dalam diri Petrus yang merasa sungguh hina berada di dekat Yesus, memohon agar Yesus pergi menjauhi dirinya karena Petrus merasa tidak ada artinya di hadapan Tuhan (Luk 5:8). Namun Yesus tidak kemudian menjadi sewenang-wenang terhadap Petrus. Dengan nada simpatik Yesus menyapa Petrus, “jangan takut Petrus, lanjutkan tugasmu sebagai penjala. Namun bukan lagi penjala ikan, melainkan jalalah manusia agar mereka kauantarkan masuk ke dalam Kerajaan Allah’ (Luk 5:10). Petrus yang merasa hina diangkat dan disemangati dalam tugasnya sehari-hari, ia mengubah tugas duniawi menjadi tugas keilahian. Lalu Petrus mengikuti Yesus, walaupun pandangan dan cita-citanya masih harus diperbaiki dan masih harus belajar dari kegagalan-kegagalan, namun niat sudah ada.
Lalu bagaimana hubungannya dengan bacaan-bacaan di atas dengan hidup kita. Kita sadar bahwa sebagai orang Kristen merasa tidak pantas karena masih banyak kelemahan dan dosa untuk melaksanakan tugas nyata yang diserahkan Tuhan kepada kita. Tetapi Tuhan bukan hanya menggunakan orang-orang yang sempurna dan tanpa dosa untuk melanjutkan perutusan-Nya. Untuk itu hendaknya kita tidak harus berkecil hati, karena Tuhan selalu menyertai kita dalam mewartakan kabar gembira kepada banyak orang. Kita semua percaya kepada Allah dan kita yang telah disatukan dalam Yesus Kristus dengan baptisan, akan memperoleh kekuatan dari daya Injil-Nya.
Akan hal itu persatuan dengan Yesus Kristus, hendaknya nampak dalam segala tindakan kita sehari-hari. Kiranya bukan hanya dalam doa-doa saja, bukan hanya dalam ibadat saja, juga bukan hanya dalam pendalaman iman atau pertemuan lingkungan. Karena, itu semua hanya sebagai sarana. Tujuan utamanya adalah lebih mewujudnyatakan iman kita akan Yesus Kristus dan menghayati panggilan Katolik agar menjadi pribadi yang baik. Keluarga yang rukun, peduli kepada sesama dengan berbuat sosial untuk meningkatkan harkat manusia menjadi lebih tinggi, menjadi orang yang jujur, disiplin, peka, bela rasa, dan solidaritas.
Marilah menimba pengalaman Paulus, ia bukan saja mengimani tetapi ia juga mengajarkan dan mewartakan kabar baik kepada bangsa-bangsa (1 Kor 15:11). Dan marilah kita juga belajar dari pengalaman Petrus yang mau menanggapi ajakan Yesus, untuk ‘bertolak ke tempat yang dalam’, meninggalkan segala sesuatu, lalu mengikuti-Nya. (FX. Mgn)