SELAMAT DATANG DAN SELAMAT BERJUMPA

Senin, 26 September 2011

JADILAH PENGGARAP YANG BAIK DI KEBUN ANGGUR TUHAN

MINGGU BIASA XXVII (A)
Minggu, 2 Oktober 2011

Yes 5:1-7;
Flp 4:6-9;
Mat 21:33-43

Di desa ada kerjasama saling menguntungan antara pemilik tanah dan penggarap dengan sistem bagi hasil. Setelah panen tiba, pemilik dipanggil untuk menyaksikan dan menerima bagian hasil panennya. Biasanya pemilik memperoleh bagian separuhnya dan separuh bagian lagi untuk penggarap. Namun ada juga penggarap yang tidak jujur dan serakah dalam pembagian hasil panen. Lalu pemilik akan mencabut hak garap baginya, kemudian diberikan kepada penggarap lain.
Dalam bacaan Injil hari ini juga mengatakan bahwa para penggarap kebun anggur diberi kepercayaan oleh Sang Pemilik kebun anggur, namun mereka tidak bisa dipercaya. Penggarap menyalahgunakan jabatan atau kekuasaan yang diperolehnya untuk mengelola kebun anggur. Karena keserakahannya, setelah panen tiba malah ingin memiliki semua hasil panennya. Para hamba yang diutus tuannya untuk mengambil hasil panennya diusir dan dibunuh. Bahkan Anak Pemilik kebun anggur pun dibunuhnya.
Perumpamaan tentang penggarap kebun anggur, dipakai Yesus untuk menyindir kaum Farisi dan para imam Yahudi. Mereka menolak kehadiran Yesus sebagai Dia yang diutus Bapa. Penolakan utusan Allah oleh bangsa Israel sudah banyak terjadi terhadap para nabi sebelumnya, sehingga Yesus tidak berlebihan jika mengumpamakan mereka bagaikan para penggarap yang jahat. Kaum Farisi dan para imam mengetahui isi Kitab Suci. Mereka mengenal para nabi. Namun, pengetahuan dan pengenalan mereka tidak sampai membawa mereka kepada Yesus yang sekarang telah hadir di hadapan mereka. Mereka malah mau membuang-Nya.
Akibatnya mereka mendapat dua hukuman seperti dalam perumpamaan yang disampaikan Yesus tentang para penggarap kebun anggur yang melanggar kontrak dengan pemilik kebun anggur tadi. Pertama, tempat tinggal mereka akan dihancurkan. Hal ini terlaksana dengan penghancuran kota Yerusalem dan Bait Allah. Kedua, adalah pencabutan hak garap kebun anggur itu dan selanjutnya akan diberikan kepada penggarap lain yang lebih bonafid yang akan menghasilkan buah-buah yang melimpah. “Ia akan datang, dan membinasakan penggarap-penggarap itu, lalu mempercayakan kebun anggurnya kepada orang-orang lain.” Siapakah orang-orang lain itu? Orang-orang lain itu adalah kita, para pengikut Kristus dari berbagai bangsa di seluruh dunia. Lalu apakah kita lebih baik atau lebih buruk daripada bangsa Israel untuk menggarap kebun anggur Tuhan?
Harus diakui, sampai saat ini masyarakat kita masih tidak jauh berbeda dengan penggarap-penggarap kebun anggur yang jahat. Makin banyak yang menyalahgunakan kekuasaan untuk memperkaya diri dan kelompoknya. Bahwa masyarakat kita tampaknya sulit lepas dari belitan nikmat korupsi. Korupsi rasanya sudah mengakar dalam dan membudaya. Pemerintah yang seharusnya memiliki wewenang untuk membersihkan korupsi ternyata kesulitan karena korupsi sudah menggurita dan melilit mereka sendiri.
Apakah kita ikut terbawa arus budaya korupsi ataukah kita mau melawan arus? Jawabannya kembali kepada hati nurani kita masing-masing. Beranikah mengambil resiko dikucilkan, dibenci dan tidak dianggap kalau tidak mengikuti arus? Beranilah berbeda dengan resiko tidak diperhitungkan, tetapi akan diperhitungkan Tuhan seperti kesimpulan yang diambil Yesus dalam perumpamaan: “Batu yang dibuang oleh tukang-tukang bangunan telah menjadi batu penjuru.” Pengorbanan Yesus yang tadinya mereka anggap sia-sia ternyata menjadi batu sendi pembangunan umat Allah. Yesus yang tadinya ditolak oleh bangsa Yahudi, namun justru Dialah yang ternyata kemudian menjadi Penyelamat dan Penebus. Bukan hanya untuk orang-orang Yahudi saja tetapi seluruh umat manusia!
Marilah menjadi penggarap yang baik di kebun anggur Tuhan dan marilah tidak menyalahgunakan kepercayaan saat menjalankan tugas apa pun yang dipercayakan kepada kita. (FX. Mgn)

Senin, 19 September 2011

BUKAN MENURUTI KEHENDAK SENDIRI TETAPI MENGUTAMAKAN KEHENDAK ALLAH

MINGGU BIASA XXVI (A)
Minggu, 25 September 2011

Yeh 18:25-28;
Flp 2:1-11;
Mat 21:28-32

Gathul terkenal di kampungnya sebagai orang Katolik yang sangat menonjol. Dimanapun ia berada, tak malu-malu memperkenalkan diri dan menyebut dirinya sebagai pengikut Kristus. Dalam diskusi-diskusi tentang iman maupun Kitab Suci, ia sangat menonjol. Dia tak segan-segan mengritik saudara-saudaranya yang takut-takut memperkenalkan diri sebagai orang Katolik. Tetapi sayang di rumah ia berperilaku kasar dan main kuasa. Anak dan istrinya dianggap bawahannya. Bahkan di kalangan tetangga ia terkenal sebagai rentenir, yang meminjamkan uang dengan bunga yang mencekek leher.
Lain lagi dengan Soklipo. Di tempat kerjanya tidak ada yang tahu bahwa ia Katolik, karena ia tidak pernah menyatakan  secara terbuka sebagai orang Katolik. Yang penting bekerja dan tidak berbuat aneh-aneh. Berbuat baik dengan menolong orang lain tanpa menonjolkan dirinya. Di rumah ia juga disenangi keluarganya karena ia sangat pengertian terhadap istri dan anak-anaknya. Bahkan, di kampungnya ia dikenal sebagai orang yang murah hati dan entengan oleh tetangganya.
Perumpamaan yang disampaikan Yesus dalam Injil hari ini kurang lebihnya sama yang dilakukan Gathul dan Soklipo. Gathul dan Soklipo tadi merupakan dua contoh orang beriman bagaimana bersikap dalam menanggapi ajakan Tuhan dan mengejawantahkan imannya. Gathul secara formal menyatakan diri sebagai seorang Katolik, tetapi dalam hidupnya berlawanan dengan semangat kristiani. Sikap Gathul seperti perumpamaan “anak sulung” yang tampil sebagai orang baik, taat dan langsung menyanggupi perintah ayahnya tetapi tidak melaksanakannya. Sebaliknya Soklipo sikapnya serupa dengan “si bungsu” tampil sebagai pembangkang dan tidak taat, mudah menentang tanpa berpikir lebih dahulu, tetapi ia mau bertobat dan akhirnya melaksanakan perintah ayahnya. Soklipo, secara formal tidak menyatakan diri sebagai orang Katolik tetapi dalam hidupnya berperilaku sebagai pengikut Yesus yang mencintai sesamanya.
Menurut Yesus orang yang secara formal mengakui imannya tetapi tidak pernah melakukan apa yang ia yakini, sikap demikian dianggap tidak baik. Sedangkan sikap orang yang tidak menonjolkan agamanya tetapi melakukan kehendak Tuhan dengan berbuat kasih terhadap sesama, itulah yang berkenan di hadapan Tuhan. Orang mau melakukan kehendak Tuhan diperlukan keberanian yang besar dan kehendak kuat untuk melawan kehendaknya sendiri yang kadang-kadang sangat berlebihan. Semestinya tidak hanya mencari kepentingan diri sendiri atau sekedar mencari pujian-pujian yang sia-sia bila dalam mencintai sesama, tetapi diperlukan kerendahan hati seperti Tuhan sendiri. “Meskipun Ia setara dengan Allah, Ia tidak menyamakan diri-Nya dengan Allah, melainkan merendahkan diri-Nya sebagai hamba”.
           Perumpamaan tentang anak sulung dan anak bungsu yang diungkapkan Yesus dalam Injil hari ini mengingatkan saya yang masih harus belajar beriman. Tidak cukup berseru-seru, “Tuhan-Tuhan!” melainkan masih harus belajar untuk lebih melakukan apa yang menjadi kehendak Tuhan (Mat 7:21). Marilah kita membangun komunitas keluarga yang melaksanakan Sabda dan bukan sekedar hafal tentang Sabda Allah, tetapi hidup menurut kehendak Allah. (FX. Mgn)

Senin, 12 September 2011

BERSYUKURLAH, SEBERAPA BESAR KARUNIA TUHAN YANG KITA PEROLEH

MINGGU BIASA XXV (A)
Minggu, 18 September 2011

Yes 55:6-9;
Flp 1:20c-24.27a;
Mat 20:1-16a
       
Pada umumnya seorang pekerja berpendapat bahwa semakin banyak bekerja semakin banyak penghasilan yang diperolehnya; bila berprestasi juga berharap mendapat penghargaan dan  imbalan, disamping gaji yang diterima. Tetapi perumpamaan dalam Sabda Tuhan hari ini barangkali akan membuat kita bertanya; Dia memberi upah yang sama untuk jerih payah yang berbeda untuk menggambarkan Kerajaan Surga.
Pekerja yang bekerja dari pagi, dengan yang datang belakangan diupah sama, yaitu satu dinar. Tentu saja pekerja yang dari pagi tidak puas dengan tindakan tuannya, ia protes dan menuntut keadilan agar yang datang lebih awal menerima upah lebih banyak dibanding yang datang kemudian. Mengapa Yesus berbuat demikian? “Apakah pantas? Apakah Tuhan adil?" Sebuah pernyataan yang sulit dipahami secara konkret, meski kalimatnya jelas dan lugas.
Bahwa logika dan pikiran Tuhan sangat berbeda dengan manusia. Perumpamaan itu mengetengahkan satu sikap Allah yang selalu ingin menarik orang datang kepada-Nya. Ia memanggil orang di setiap waktu dan tidak pilih-pilih orang, tetapi semua ditawari kesempatan untuk bekerja di kebun anggur-Nya. Ternyata Tuhan memang adil dalam perjanjian kerja yang datang lebih awal akan diberi satu dinar. Dan yang datang belakangan juga diberi satu dinar juga. Tuhan tidak merugikan yang datang lebih awal karena sudah memberikan sesuai dengan perjanjian. Upahnya sama, siapa pun yang mau bekerja tidak dibeda-bedakan menurut lamanya waktu bekerja. Kelihatannya yang datang belakangan diberi banyak, tetapi Tuhan memberikan karena belas kasih dan kemurahan hati-Nya. Belas kasih memang melebihi keadilan karena belas kasih diberikan kepada semua orang yang dengan tulus mau terlibat dalam menanggapi kehendak Tuhan. Mereka yang dengan tulus dan ikhlas menanggapi kehendak Tuhan akan diberikan “kebahagiaan surga”. Entah mereka yang bertemu Tuhan sejak dalam kandungan ibunya, entah sejak lahir, entah sejak di bangku kuliah, entah yang hanya beberapa saat bertemu Tuhan sebelum meninggal; semuanya diberi “kebahagiaan surga”.
Apakah itu adil? Mungkin secara manusiawi itu tidak adil karena semua diberi surga. Tetapi menurut Tuhan, itu adil karena Dia telah memberikan kepada manusia seperti yang Ia janjikan, yaitu kebahagiaan surga untuk siapa pun mereka yang menanggapi kasih-Nya. Tuhan menghendaki sejak penciptaan manusia, agar semua manusia dapat memperoleh kebahagiaan kekal bersama Dia di surga. Tuhan tidak akan menanggapi mereka yang iri hati dan memprotes keadilan menurut Tuhan, tetapi Tuhan melihat sejauh mana kesetiaan akan panggilan hidupnya dalam menanggapi kehendak-Nya. Ia tidak melihat seberapa lama manusia beragama, seberapa banyak berdoa, dan seberapa besar berderma, tetapi Ia melihat seberapa besar manusia itu bersyukur kepada-Nya.
Marilah fokus pada apa yang harus kita kerjakan dan mensyukuri seberapa pun karunia Tuhan yang kita terima. Bukan memprotes dengan mempersoalkan berapa besar pada apa yang bisa kita peroleh. Bukankah kita adalah manusia berdosa yang telah diselamatkan Tuhan dari sengat maut. Itu sebabnya Tuhan berhak atas hidup kita sepenuhnya, berhak memberikan apa pun yang pantas dan perlu kita peroleh. Apabila kita protes, bukankah itu tandanya kita merasa iri hati? (FX. Mgn)

Senin, 05 September 2011

MENGAMPUNI TANPA BATAS

MINGGU BIASA XXIV (A)
Minggu, 11 September 2011

Sir 27:30-28:9;
Rm 14:7-9;
Mat 18:21-35

Pada saat hari pertama setelah Lebaran, saudara-saudari kita umat Muslim mulai masuk kerja. Mereka mulai bersalaman di antara rekan kerja dan saling memaafkan satu sama lain semua salah dan khilaf yang selama ini dilakukan. Dunia terasa damai sejahtera walau hanya sesaat, karena setelah ini akan kembali lagi pada kehidupan seperti biasa. Memaafkan dan minta maaf hanya sekedar formalitas, sekedar pemanis bibir atau tidak lahir batin karena hanya terbawa lingkungan dan situasi sesaat.
Apa lagi yang mempunyai latar belakang perseteruan panjang, tidak mudah untuk berdamai dalam tempo sehari hanya pada saat Lebaran. Dengan enteng mengatakan: “Tiada maaf bagimu.” Kedengarannya kok sadis banget! Kasus begini biasanya karena dilatarbelakangi oleh dendam kesumat. Pintu maaf sudah tertutup, yang tertinggal hanya kejengkelan dan kemarahan. Komunikasi seolah sudah putus. Ternyata tidak mudah orang untuk minta maaf  atau memaafkan orang lain.
Ini bisa terjadi dalam keluarga, bahkan malah pada keluarga Katolik yang mestinya menjadi garam dan terang masyarakat sekitar, tetapi malah menjadi batu sandungan. Lebih luas lagi ini juga terjadi dalam komunitas atau antar kelompok, di mana mereka saling serang. Seolah tidak mempunyai hati lagi. Yang ada adalah saling mendendam dan membenci, dan tidak ada niat memaafkan satu sama lainnya. Momen yang bagus untuk memperbaiki relasi sesama tidak dipergunakan dengan baik.

Melihat hal ini akan memunculkan pikiran dan pertanyaan seorang beriman, sejauh mana dan berapa lama harus bertahan pada situasi yang tidak menguntungkan ini. Pertanyaannya akan sama dengan yang dihadapi Petrus dalam Injil hari ini. “Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?” Pertanyaan Petrus ini menunjukkan kekesalan dan kekecewaan hatinya, karena menghadapi kasus di mana ada saudara yang membandel walau sudah diingatkan beberapa kali. Lalu apakah harus memaafkan tujuh kali? Tetapi jawaban Yesus sangat mengejutkan, “Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali" Tanggapan Yesus atas pertanyaan Petrus tentang pengampunan tersebut berarti suatu ajakan atau perintah agar kita sebagai pengikut Yesus senantiasa mengampuni tanpa kenal batas tempat dan waktu, di manapun dan kapanpun.
Sebetulnya orang yang mau mengampuni, hidupnya akan terasa nikmat dan memuaskan serta membuat kebahagiaan sejati daripada membenci atau mendendam. Memang untuk sesaat membenci atau balas dendam lebih memuaskan daripada mengampuni, tetapi dampak selanjutnya akan merasa menderita berkepanjangan. Kalau orang suka mengampuni akan banyak teman daripada yang suka mendendam atau membenci. Orang yang suka membenci dan mendendam, yang pasti akan dijauhi teman. Bukan sahabat yang diperoleh tetapi semakin banyak musuh. Bukankah banyak sahabat akan lebih menguntungkan daripada banyak musuh? Jika ada kesulitan atau masalah dengan mudah juga kita memperoleh bantuan dan dukungan ketika memiliki banyak sahabat daripada banyak musuh. Sementara itu jika kita memiliki musuh hidup kita akan merasa terancam dan tidak tenang. Hidup mengampuni memang berarti hidup bagi yang lain, atau memberi “hidup” bagi yang lain dan tentu saja juga hidup bagi Tuhan Mahapengampun.
           Maka marilah kita renungkan dan hayati ajakan Rasul Paulus "baik hidup atau mati kita adalah milik Tuhan". Karena kita ini milik Tuhan, maka dalam keadaan susah atau senang, sengsara atau bahagia, sakit atau sehat, berkedudukan atau menjadi rakyat biasa, untuk menjauhi sifat mendendam atau membenci dengan saling mengampuni dan mengasihi. (FX. Mgn)