SELAMAT DATANG DAN SELAMAT BERJUMPA

Senin, 30 Agustus 2010

SIAP MELEPASKAN DIRI DARI SEGALA MILIKNYA, DAN MENGIKUTI DIA


MG BIASA XXIII (C)
Hari Minggu, 5 September 2010


Keb 9:13-18;
Flm 9b-10. 12-17;      
Luk 14:25-33

      Ketika banyak orang mengikuti Yesus, apakah mereka tahu konsekuensinya setelah mereka menjadi murid-murid-Nya. Mungkin ada yang tahu, tapi hampir pasti banyak yang belum tahu persis. Mereka hanya memandang Yesus bagaikan selebritis. Banyak yang mengagumi dan mengikuti-Nya. Alasan mereka mengikuti Yesus berbeda-beda. Ada yang mempunyai motivasi ingin disembuhkan dari penyakit, ada yang ingin melihat dan mendengarkan Dia, ada yang tersentuh karena melihat dan mendengar apa yang dilakukan maupun diajarkan-Nya.
      Injil Lukas hari ini mengingatkan kita, bahwa yang sudah menjadi murid-murid Kristus agar mengikuti-Nya secara sungguh-sungguh. Seperti kata Yesus: ”Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikuti Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku,” atau “tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri” Lalu apakah mengikut Yesus harus memanggul salib dan harus mati disalib? Maksudnya dalam mengikuti Yesus tidak hanya setengah-setengah, yaitu harus sehati dan seperasaan dengan Dia. Yesus harus menjadi pusat hidup kita. “Memikul salib” antara lain berarti dengan setia menghayati atau melaksanakan panggilan atau tugas perutusan kita masing-masing sesuai dengan karunia yang kita terima dan talenta kita miliki. Kita diminta melakukan segala dengan segenap hati, jiwa, akal budi dan kekuatan atau secara total, bukan setengah-setengah.
Dalam rangka melaksanakan tugas-tugas perutusan tersebut hendaknya selaras dengan perumpamaan yang disampaikan Yesus tadi “membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri.” Artinya kita sebagai murid-murid-Nya jangan hanya terikat atas segala milik, tetapi rela melepaskan diri dari segala milik kita agar pantas menjadi murid-Nya. Yaitu bertindak atau berperilaku sesuai dengan kharisma/spiritualitas panggilan kita masing-masing dengan sepenuh hati. Misalnya, berani meninggalkan kebiasaan hidup lama, meninggalkan perilaku yang tidak baik terhadap teman bahkan keluarga. Karena apa? Seringkali kita berbuat hanya setengah-setengah, yang akhirnya menjadikan sandungan bagi kita para pengikut Kristus. Umpamanya, perilaku yang mendewakan harta kekayaan; mengagungkan kekuatan diri; kelekatan terhadap kesenangan-kesenangan pribadi yang membuat orang lupa pada keluarga; kelekatan relasi dan kelompok, kesibukan pada pekerjaan dan masih banyak lagi.
Memang kita sadar bahwa dalam mengikuti Yesus tidak mudah, diperlukan keberanian untuk memanggul salib bersama Dia dan sekaligus menyerahkan diri kepada Dia. Iman kita akan Yesus adalah rahmat karunia sendiri yang diberikan kepada kita. Dan rahmat Tuhan seringkali mengatasi segala kelemahan dan keterbatasan kita, sehingga meski dalam situasi yang sulit dan berat, kita tetap bertahan.
Semoga kita yang sudah menjadi pengikut Yesus rela melepaskan diri dari segala milik kita agar pantas menjadi murid-Nya. Dan tidak heran bila suatu saat dalam hidup ini, kita diminta menanggung sengsara bersama Dia. Hanya perlu kita sadar bahwa kesengsaraan itu semua merupakan jalan untuk bangkit bahagia bersama Dia juga. (FX. Mgn)

Senin, 23 Agustus 2010

JANGAN MEMBEDA-BEDAKAN


MG BIASA XXII (C)
Hari Minggu, 29 Agustus 2010
Sir 3:17-18.20.28-29;
Ibr 12:18-19.22-24a;  
Luk 14:1.7-14

      Ketika kita mengadakan perayaan-perayaan atau pesta-pesta, seringkali kita lebih suka mengundang teman-teman yang akrab dan saudara yang mampu, dengan harapan mereka juga mengundang kita ke pesta mereka. Kita tidak akan mengundang mereka yang miskin gelandangan ataupun yang cacat atau orang-orang yang lumpuh dan orang-orang buta. Karena tidak mungkin mereka ganti mengundang kita.
      Seringkali dalam berbuat sesuatu, kita selalu berhitung dengan memperhitungkan untung rugi seperti utang-piutang. Contoh lain kalau kita mau jujur, bila kita mau membantu orang lain selalu berpikir dulu. Apakah mereka bisa gantian membantu kita atau tidak, kalau pada suatu saat kita butuh.

      Dari dua contoh yang kita lakukan tadi tampak jelas bahwa apa pun yang kita lakukan selalu ada pamrih, agar mereka juga mau berbaik kepada kita. Sebenarnya itu manusiawi, tetapi oleh Yesus hal itu ditentang dan sangat tidak dianjurkan. Dalam Injil hari ini Yesus menasihatkan kita, agar memberi tanpa pamrih. Kalau mau mengundang makan-makan dalam pesta, undanglah orang-orang miskin; biar mereka bisa menikmati makanan yang layak karena setiap hari mereka selalu kekurangan. Yesus mengajarkan agar kita berbuat baik tidak harus mengharapkan imbalan dari orang lain. Memang mereka tidak bakal bisa membalas kebaikan kita, sehingga hanya Tuhanlah yang akan membalas kita. Balasan dari Allah akan kita terima di akhir zaman, saat orang-orang benar dibangkitkan dan memperoleh ganjaran.
      Dalam hal ini Yesus berpandangan bahwa sesama yang menderita dan hina tidak boleh dianggap sebagai kelompok yang dipinggirkan dan dieksploitasi karena ketidakberdayaannya. Memang, nasihat Yesus itu bertentangan dengan pola pikir kita pada umumnya. Sikap kita pada umumnya lebih cenderung untuk memberi perhatian dan kasih hanya  kepada sesama yang dianggap setara, seperti yang  sama-sama kaya, sepaham dan yang mampu membalas kebaikan. Dalam hal ini kasih persaudaraan dipahami sebagai bentuk kasih dan kepeduliaan kita kepada teman-teman, saudara-saudara, orang-orang yang berada, orang-orang yang sesuku dan seagama.
      Mengapa kita lebih peduli dan mengasihi mereka? Yesus berkata: “karena mereka akan membalasnya dengan mengundang engkau pula dan dengan demikian engkau mendapat balasan”. Betapa sering motif kita memberi dan melakukan kasih kepada sesama atau orang-orang tertentu, karena sebenarnya kita ingin memperoleh balasan dan pujian dari mereka. Tepatnya kita mau memberlakukan kasih dan kepedulian kepada sesama jikalau mereka dapat menguntungkan. Itu sebabnya kita menjadi kurang peduli dan berlaku kurang ramah serta tidak bermurah hati kepada orang-orang yang miskin, hina dan menderita; karena mereka tidak mampu membalas kebaikan dan kemurahan hati kita.

      Jadi bagaimana sikap kita?
      Dengan memperhatikan nasihat Yesus tadi kita mulai sekarang harus berani merubah sikap kita yang hanya mementingkan diri kita sendiri atau kelompok kita sendiri, tetapi lebih mempedulikan mereka yang tersisih dan yang miskin di sekitar hidup kita. Kita tidak sekedar bersimpati dengan penderitaan dan kesusahan mereka, tetapi lebih dari pada itu kita terpanggil untuk berempati dan berbela-rasa dengan mereka. Sebab dengan kita lebih mengutamakan kepedulian kepada sesama, spiritualitas kita akan diisi oleh Roh Kudus sehingga kehidupan kita dapat menjadi berkat bagi banyak orang. (FX. Mgn)

Senin, 16 Agustus 2010

MASUKLAH MELALUI PINTU SEMPIT



MG BIASA XXI (C)
Hari Minggu, 22 Agustus 2010

Yes 66:18-21;
Ibr 12:5-7. 11-13;      
Luk 13:22-30

Dalam perjalanan hidup kita sebagai orang beriman, seringkali berhadapan dengan beberapa pandangan yang berbeda tentang surga dan neraka. Sebagian orang mengatakan bahwa neraka itu sudah tidak ada, karena Allah itu mahakasih. Semua orang akan diampuni dan diselamatkan, kemudian semua orang masuk ke dalam surga. Ada pula yang berpandangan bahwa neraka tetap ada bahkan akan penuh berjejal-jejal karena orang-orang sekarang tidak takut berbuat dosa lagi. Yang terakhir berpandangan Tuhan memang mahakasih tetapi Ia akan mengadili semua orang, yang jahat dan tidak bertobat akan tinggal dilempar ke neraka kemudian yang bertobat masuk surga.
Pandangan mana yang benar sulit dijawab! Karena Yesus sendiri waktu ditanya oleh para murid apakah hanya sedikit yang diselamatkan, Ia tidak mengatakan dengan tegas; sedikit, banyak atau tidak ada yang diselamatkan. Yesus tidak menyebutkan suatu angka atau jumlah, tidak juga mengatakan, ’Banyak atau ’Beberapa orang saja.’ Yesus hanya mengatakan: “Berjuanglah untuk memasuki pintu yang sempit itu.” Lalu ia melanjutkan, “banyak orang berusaha masuk, tetapi tidak bisa.” Kalau memang benar pintu Kerajaan Allah itu sempit dan banyak orang tidak bisa memasukinya, lalu bagaimanakah kita nanti?
Jawaban Yesus mengenai berjuanglah masuk melalui pintu yang sempit menggambarkan betapa sulitnya jalan mengikuti Yesus. Kita yakin jalan itu memang sempit tetapi bisa dimasuki orang. Yesus adalah jalan itu, yang memang sempit. Tetapi kita dapat masuk ke dalam-Nya, asalkan kita terus mau berusaha memasuki pintu itu.

Sebenarnya siapa yang diajak bicara dalam Injil hari ini oleh Yesus, barangkali kita akan bisa mengerti lebih jelas maksud dari perkataan Yesus yang keras itu. Ia berbicara dengan banyak orang Farisi yang merasa bahwa mereka punya jaminan akan selamat. Mereka seolah-olah mempunyai tiket untuk masuk surga, apalagi mereka merasa keturunan Abraham. Sikap terjamin ini membuat banyak orang Farisi lalu terlena dan tidak berusaha hidup menurut ajaran Tuhan lagi. Itulah sebabnya mereka tidak dapat menangkap bahwa Yesus Putra Allah datang di tengah mereka, bahkan mereka menolak-Nya. Maka Yesus berkata: “Pintunya sempit, banyak yang berusaha tapi tidak berhasil.” Bahkan, Yesus menambakan: ’banyak orang dari Timur, dan Barat, dari Utara dan Selatan akan diterima Allah.’ Bukan mereka yang merasa terjamin akan diterima Allah. Dari seluruh penjuru dunia menerima Yesus dan percaya kepada kasih Allah lewat Yesus Kristus. Orang-orang Yahudi menolak Sang Juru Selamat, tetapi orang-orang lain datang kepada-Nya dan diselamatkan. Itu pula yang sudah dinubuatkan Nabi Yesaya dalam bacaan pertama tadi. Segala bangsa akan datang melihat kemuliaan Tuhan.
Pada masa kini, kita juga bisa jatuh dalam kesempitan pandangan seperti orang Israel. Kita merasa sebagai kelompok yang telah dipilih Allah. Di luar Gereja orang tidak diselamatkan. Pandangan ini dapat menyesatkan. Seringkali kita beranggapan yang penting sudah percaya pada Yesus, sudah dibaptis, sudah menjadi pengikut-Nya pasti akan selamat. Pendapat demikian sama dengan orang-orang Yahudi yang menyombongkan diri dan beranggapan bahwa hanya merekalah bangsa pilihan Allah. Tidak menyadari bahwa siapa pun yang bertobat akan diterima, baik asing maupun Yahudi.

Pesan Injil hari ini merupakan peringatan keras bagi kita, agar yang sudah menjadi pengikut-Nya tidak terlena. Keselamatan Yesus Kristus berlaku untuk semua orang. Gereja adalah tanda dan sarana keselamatan. Sebagai tanda, Gereja harus menerangi dunia. Gereja tidak boleh berpandangan sempit dan tertutup. Karena itu Gereja harus membuka diri bagi dunia. Bukankah Yesus mengharuskan kita menjadi garam dunia? Kita adalah anggota Gereja Kristus, hendaknya menjadi tanda keselamatan bagi semua orang. (FX. Mgn)

Senin, 09 Agustus 2010

MENELADANI SIKAP MARIA DAN SETIA KEPADA KEHENDAK ALLAH


HR RY SP MARIA DIANGKAT KE SURGA
Hari Minggu, 15 Agustus 2010


Why 11:19a; 12:1,3-6a,10ab;
1Kor 15:20-26;
Luk 1:39-56

      Injil hari ini menceritakan tentang pertemuan dua orang wanita yang sedang mengandung dengan cara yang tidak biasa. Elisabet mengandung di hari tuanya, sedangkan Maria mengandung dari Roh Kudus sebelum berumah tangga. Sama-sama memiliki kandungan yang luar biasa maka mereka ingin saling menguatkan dan meneguhkan. Maria ingin menimba pengalaman pada Elisabet yang lebih dulu mengandung, demikian juga Elisabet sangat dikuatkan atas kehadiran ibu Tuhan. Kedua ibu itu betul-betul siap menghadapi persalinan kelak dengan tabah dan penuh syukur.
     
      Menurut pandangan manusia, baik Maria maupun Elisabet jelas kehilangan nama baik. Walau sekarang mengandung, tetapi Elisabet telah lama mendapat predikat perempuan mandul. Kemudian Maria mengandung tanpa suami. Namun Maria sangat paham akan keadaan dirinya, bahwa yang dikandungnya adalah Putra Allah. Demikian juga bayi dalam kandungan Elisabet adalah pemberian Allah.
      Melihat hal ini, Maria sangat peka dan tidak mau mempedulikan cemohan orang. Maka ia menempuh perjalanan naik turun bukit untuk meneguhkan Elisabet. Kehadiran Maria sungguh membawa kehidupan baru bagi keluarga Zakharia, pamannya. Bukan hanya Elisabet dan Zakharia yang senang, bahkan bayi dalam kandungan Elisabet pun bergejolak kegirangan. Begitu girangnya Elisabet menjawab salam Maria dengan penuh semangat. ”Berbahagialah engkau dan anak yang sedang kaukandung.” Ucapan Elisabet dengan penuh kejujuran dan ketulusan. Ia merasakan betapa Allah sangat menyayangi Maria, seperti ia sendiri telah mengalaminya.
      Maria dengan gembira menerima salam itu, namun sebagai hamba Allah dalam kerendahan hatinya ia mengungkapkan kegembiraannya dengan memuji Allah yang telah mengaruniakan segalanya kepadanya. ”Jiwaku memuji Tuhan, karena Ia memperhatikan hamba-Nya, rahmat-Nya  terus mengalir dalam hidupku. Ia telah melimpahkan rahmat-Nya kepada orang yang lapar dan kecil.” Pertemuan yang saling membahagiakan dan membangkitkan semangat untuk memuji keagungan Tuhan. Sungguh suatu pertemuan dua pribadi yang akrab dan menggembirakan. Tuhan sendiri hadir dan menyatukan mereka.
      Perayaan Bunda Maria diangkat ke surga menunjukkan bahwa Tuhan sungguh serius dalam menyelamatkan umat manusia. Peran Bunda Maria dalam karya penyelamatan Yesus Kristus nyata dalam dirinya. Maria adalah seorang manusia biasa, tetapi karena cintanya pada Allah dan imannya yang begitu besar kepada-Nya, maka Maria sungguh dimuliakan seluruh jiwa dan raganya. Berkat kerendahan hatinya serta teladan hidupnya, sungguh pantas dan layak ia diangkat ke surga.

      Bagaimana dengan kita?
      Sebagai pengikut Yesus Kristus merasa bahwa Allah telah menyayangi kita sebagai anak-anak-Nya, seperti halnya Allah telah menyayangi Maria dan Elisabet. Ia juga menyayangi kita lewat Yesus Putra-Nya. Tentunya, kita pun harus berusaha hidup dan meneladani sikap Bunda Maria. Menjalani hidup dengan rendah hati dan peduli sesama manusia. Mau mengunjungi mereka yang sakit, yang tersisih dan yang tercabut dari lingkungannya. Berusaha membantu mereka yang mengalami kesulitan ekonomi. Masih banyak sesama kita yang merindukan kunjungan kita, serta membutuhkan dukungan dan bantuan kita. Dengan kepedulian kita mengunjungi mereka diharapkan bisa memunculkan dambaan hati untuk memuji Sang Pencipta, ”Jiwaku memuliakan Tuhan, karena Ia telah melimpahkan rahmat-Nya yang besar kepada kita.” 
      Marilah kita menjalani hidup dengan meneladani sikap Maria dan setia kepada kehendak Allah. Dengan harapan kita pun akan boleh mengalami pemuliaan dan memperoleh keselamatan. (FX. Mgn)

Senin, 02 Agustus 2010

BERBAHAGIALAH HAMBA YANG SELALU SIAP SEDIA


MG BIASA XIX (C)
Hari Minggu, 8 Agustus 2010

Keb 18:6-9;
Ibr 11:1-2. 8-19;
Luk 12:32-48 (12:35-40)

      Yesus menasihati para murid-Nya, bagaimana harus hidup. Hidup yang tidak dalam ketakutan karena seluruh hidup kita ini adalah milik Tuhan. Walau sebagai ’kawanan kecil’, Tuhan memberikan kamu Kerajaan ini. Namun dalam menjalani hidup harus waspada dan siap siaga, lebih-lebih harus siap sedia untuk menerima kedatangan Tuhan. Karena dalam hidup ini juga penuh dengan hal-hal yang tidak terduga dan tiba-tiba. Hidup tidak selamanya mulus, adakalanya juga ada kegagalan. Kegagalan bisa terjadi karena ketidaksiapan dan menganggap sepele persoalan.
     
      Seperti dalam bacaan Injil hari ini, Yesus menjelaskan bagaimana seharusnya kita menjalani hidup ini? Yesus mengambil model hidup seorang hamba untuk menjelaskan bagaimana para murid-Nya harus hidup. Seorang hamba yang setia akan selalu melaksanakan tugas dan melayani majikannya. Bila seorang hamba tidak siap melayani ketika majikan membutuhkannya, sudah barang tentu ia akan menerima sangsi. Karena kedatangan Tuhan tidak bisa diketahui kapan tepatnya. Kedatangan Tuhan bisa terjadi setiap saat. Maka sebagai seorang hamba hendaknya pinggangnya tetap terikat dan pelitanya tetap menyala. Siap menyambut Dia setiap saat, jangan sampai ketika Dia datang, tidak siap dan menjadi kecewa.
     
      Siap menerima dan melayani majikan bisa menjadi model cara kita hidup sebagai orang beriman. Majikan di sini tentu saja Tuhan sendiri. Kita ini hamba-hamba-Nya. Kita harus siap dan berjaga melaksanakan tugas setiap saat. Semua waktu dan kesempatan yang kita miliki adalah milik Tuhan maka harus kita serahkan kepada-Nya. Orang yang pasrah kepada Tuhan akan selalu menantikan kedatangan-Nya, sebab bila Tuhan datang ia akan merasa lega. Kesetiaannya kepada Tuhan mendorong untuk berjaga sebelum bertemu dengan Tuhan. Tentu saja dalam kesiapsiagaanya, ia berusaha melakukan apa yang menjadi kehendak Tuhan. Karena itu Tuhan juga menjanjikan: ’berbahagialah mereka yang didapati berjaga ketika tuannya datang...’

      Bagaimana mewujudkan kesiapan kita?
      Kesiapan kita bisa diwujudkan dengan usaha mendengarkan sabda Tuhan setiap hari, menjalankan perintah-Nya, dengan hidup saling mencintai satu sama lainnya. Pekerjaan, kegiatan kita, dan segala sesuatu yang kita lakukan dan laksanakan sehari-hari harus menjadi ungkapan dan perwujudan sikap iman kita. Seluruh hidup kita dan perilaku kita merupakan kesiapan kita menyambut kedatangan Tuhan. Menyambut ’kedatangan Tuhan’ jangan semata-mata kita artikan kematian. Namun kedatangan Tuhan kita artikan ’suatu kehidupan baru’ maka kita akan merindukannya. Merindukan kedatangan Tuhan dengan setiap saat berbuat baik dan penuh kasih. Tidak ada kesempatan bagi kita untuk berhenti berbuat baik dalam segala situasi. Bila kita berhenti berbuat baik, berarti kita tidak berjaga lagi. (FX. Mgn)