SELAMAT DATANG DAN SELAMAT BERJUMPA

Kamis, 25 Juni 2009

Dasar lelaki atau lelaki Dasar

Seorang perempuan bernama Imah. Ketika gadis muda, mrantasi sepak-terjangnya. Pintar ping-pong, pintar voli. Aktivis masyarakat, Rt-Rw. Lulusan SMEA, pendidikan terakhirnya. Badannya, tinggi semampai, wajah menarik untuk dilirik. Tapi, itu dulu. Dulu begitu.

Kini, perempuan itu agak berantakan hidupnya. Gara-gara? Gara-gara laki-laki. Ada dua lelaki, yang mengukir memori membekas di batinnya. Memang, ketika gadis, wajahnya cantik-menarik, maka banyak pemuda menaksirnya. Berangkat dari kepiawaiannya main voli, kenallah dia dengan seorang pemuda, yang juga pemain bola voli. Suatu saatpun, mereka menikah. Sampai akhirnya punya anak, malah sampai tiga orang.

Guna menghidupi keluarga, Si pemuda bekerja mencari nafkah. Apapun dijalani, sampai harus pergi ke kota besar. Profesi tukang batu dilakoninya, karena sebagai pemuda desa, memang pintar memasang batu-bata, meniru bapaknya. Sampailah juga di kota besar Metropolitan.

Ketika itu sedang dibangun Mall Taman Anggrek. Dia jadi pekerja, tiap hari memanjat bangunan bertingkat-tingkat.

Apes. Ketika tengah bekerja di calon gedung tingkat tinggi, dia terpeleset. Jatuh menghujam ke tanah. Tewas seketika. Jasadnya dikirim ke desa asal, tak jauh dari kota Purbalingga. Buyarlah kebahagiaan Si Imah, sebagai ibu rumah tangga. Terpaksa status sebagai janda, disandangnya.

Atas kecelakaan itu, istrinya--Si Imah--, dapat santunan. Ada bantuan dana untuk pemakaman, dan sekedar uang untuk kelangsungan hidup sementara waktu. Ditabungnya uang itu oleh istri setia.

Perempuan yang kini janda ini, rajin berdoa, rajin peng-kaji-an. Suatu saat, dalam sebuah acara peng-kaji-an agama, kenallah dengan seorang pemuda. Pandang bertemu pandang, gayung bersambut air. Jadilah kedua insan itu menikah. Berangkat dari acara agama, disahkan dengan upacara agama, di KUA.

Uang santunan yang masih utuh, diputarnya, untuk menambah income keluarga. Dibuatnya, sebuah warung kecil. Juga dibelinya sebuah sepedamotor, dimaksudkan untuk mengojek. Pengemudinya adalah suami barunya. Dua, tiga-minggu skenario indah ini jalan mulus. Tiap hari ada dana masuk dari usaha ojek dan warungnya.

Tapi apa yang kemudian terjadi. Suami barunya ternyata main mata. Main mata dengan perempuan lain. Tak tanggung-tanggung, sampai wanita-idaman-lain itu hamil. Jadi kasus sedesa. Ribut. Pak Lurah sampai harus turun tangan. Ini kasus yang pertama. Tak terlalu lama terselesaikan.

Tapik rupanya, kasus berlanjut kasus. Yang selanjutnya, suami barunya tak kapok bermain mata. Juga dengan wanita tapi yang kini berbeda. Ribut lagi, ribut lagi. Juga sampai hamil, dan lantas punya anak. Dus, jadi satu pria, tiga wanita.

Meski demikian, si pria, suami kedua Imah, masih pulang ke rumah. Namun kini tak pernah setor uang hasil ngojeknya. Uang bablas tak tahu rimbanya. Tak hanya itu, jika pulang terus mau pergi, selalu ambil rokok Jizamzu sebungkus. Padahal itu barang dagangan. Lama-lama, warung kecil-pun bangkrut.

Perkembangan, rupanya tak membaik, melainkan kian buruk. Suaminya mulai jarang pulang. Itupun lalu juga tak soal. Yang jadi soal adalah, motor-ojek yang terbeli dengan uang santunan suami pertama, juga tak pulang. Dicari kesana-kemari, akhirnya ketemu, namun sudah dijual.
Hanya satu kata yang bisa diucapkan, 'Keterlaluan, dasar laki-laki....!'

Saking mumetnya, perempuan bernama Imah rupanya jadi tak tahan, dia ber-usaha jualan jamu. Jualannya tak di pasar modern, atau pasar tradisional, melain kan di pasar hewan. Pembelinya, para penjual & pembeli hewan. Juga para blantik sapi dan wedus. Dan katanya, dari jualan jamu itu, pendapatannya tak seberapa. Dan katanya pula, dia lalu nyambi, nyandang status, sebagai 'Wanita Jalang'. 'Luweeeeeeeeh.....', katanya.

Group Band musik, Koes Plus, pernah menyanyikan lagu berjudul, 'Liku-liku laki-laki'.

Jika para ibu berkumpul, pernah terdengar kalimat, 'Dasarrrrr laki-laki !'
Kota Purwokerto, Slogan-nya, 'Kota Satria'. Lelaki ideal, --menurut wayang-- adalah yang berwatak S a t r i a.

Menjadi laki-laki, adalah sebuah pilihan,
Mau jadi 'Lelaki dasar', atau 'Dasarrrrrrr laki-laki'.
Selanjutnya terserah.................. Selamat menjadi laki-laki. (-agt agung pypm)

Kasih yang tulus

Seorang anak kecil sedang bermain dengan boneka-bonekanya di depan neneknya. Lalu neneknya itu bertanya kepadanya, “Dik, coba tunjukkan kepada nenek, boneka mana yang paling kamu sayangi di antara boneka-boneka yang kamu miliki itu?” Anak kecil itu berkata, “Sebelum aku menjawab, nenek mau berjanji tidak? Nenek harus berjanji bahwa tidak akan menertawakan jawabanku.”
Setelah neneknya berjanji bahwa dia tak akan menertawakannya, anak kecil itu lalu mengambil boneka yang kelihatan paling jelek, tangannya sudah patah dan kulitnya sudah kucel. Melihat hal ini lalu neneknya bertanya kepadanya, “Mengapa kamu menyukai boneka yang paling jelek itu?”
Jawab anak kecil itu, “Ya, boneka yang paling jelek ini kan yang paling membutuhkan kasih sayang lebih daripada bonek-boneka lainnya. Sebab boneka lainnya masih baik-baik.”

Kasih sayang anak kecil kepada bonekanya yang paling jelek itu mengingatkan kita akan hakekat kasih sayang yang tulus. Kasih yang tulus itu telah dilakukan oleh Yesus. “Sebagaimana Bapa mengasihi Aku, demikian pula Aku mengasihi kamu” (Yoh 15:9).
Yesus amat mengasihi kita meskipun kita adalah pendosa dan orang-orang yang tidak setia kepadaNya. Yesus mengasihi kita bukan karena kita telah berbuat baik kepadaNya tetapi justru karena kita ini orang-orang yang berdosa. Bahkan tidak tanggung-tanggung kasihNya kepada kita. Ia berkenan memberikan nyawaNya sendiri untuk kita. “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih orang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh 15: 13).
Cinta Yesus kepada kita dan cinta anak kecil kepada bonekanya tadi, mengundang kita supaya kita saling mengasihi. “Inilah perintahKu, yaitu supaya kamu saling mengasihi seperti Aku mengasihi kamu” (Yoh 15:12.17).

Suatu hari seorang pemuda ingin mendalami hidup supaya menjadi makin sempurna. Ia pergi ke sebuah perguruan. Di sana ia mengalami pembinaan. Salah satu bentuk pembinaannya adalah ia harus menyamar dan mengubah diri menjadi seekor binatang. Maka ia berubah menjadi seekor kelinci yang kecil.
Pada suatu hari kelinci ini mengembara di hutan. Dalam pengembaraannya itu dia ditemani seekor serigala dan monyet. Di tengah hutan itu mereka berjumpa dengan seorang pendeta tua yang sedang kelaparan. Pendeta itu nampak sudah mau mati, tak berdaya.
Karena amat kasihan kepadanya, ketiga binatang itu tergerak untuk memberikan apa yang mereka miliki. Serigala memberikan satu paha kijang hasil buruannya. Lalu monyet memberikan satu tundun pisang hasil buruannya di kebun seorang petani.
Kini giliran kelinci yang tak punya apa-apa maju menghadap pendeta itu. Kelinci itu berkata, “Bapa, ini aku. Aku tidak punya apa-apa. Sekarang ambillah, masaklah dan makanlah aku.” Mendengar ketulusan kelinci itu, sang pendeta berkata kepadanya, “Engkau sekarang menjadi orang yang sempurna karena engkau bersedia memberikan seluruh hidupmu.”
Kasih yang sempurna adalah kasih dari orang yang mampu memberikan seluruh hidupnya untuk orang lain. “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih orang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh 15: 13).
Tindakan yang kita lakukan bisa digerakkan karena berbagai macam keinginan. Semakin tindakan kita itu digerakkan oleh karena kasih yang tulus, maka tindakan kita itu makin bermutu sempurna.

Suatu ketika seorang wartawan dari Amerika melihat Ibu Teresa di Kalkuta sedang menolong pengemis di jalan yang separoh tubuhnya sudah busuk dimakan belatung. Lalu wartawan itu berkomentar, “Dibayar 1000 US $ saja saya tidak mau melakukan hal-hal seperti itu.” Menanggapi komentar wartawan itu Ibu Teresa pun mengatakan, “Saya pun juga tak mau dibayar 1000 US $ karena saya melakukan hal ini bukan karena uang tetapi demi orang-orang yang paling miskin di antara orang-orang miskin.”
Pelayanan Ibu Teresa kepada orang miskin makin menyebar ke penjuru dunia dan namanya begitu harum karena dia melakukannya secara tulus. Tetapi sebaliknya kita ingat gerakan membagi –bagi sembako dan uang yang dilakukan oleh beberapa caleg, tak bergema apa-apa karena tindakan itu dilakukan oleh motivasi politik yakni demi mencari popularitas dan dukungan.
Kehidupan yang sehat bukan dibangun karena motivasi politis, mencari dukungan dan pamrih-pamrih tertentu tetapi karena kesediaan untuk mengasihi secara tulus dari setiap pribadi. Keluarga, Gereja dan masyarakat kita juga akan hancur bila semua pribadi berpamrih secara tidak sehat dan bukannya mau mengabdi dan mengasihi Allah dan sesama dengan tulus.
Mari kita membina diri menjadi orang-orang yang siap sedia mengasihi Tuhan dan sesama dengan tulus hati. Tuhan memberkati kita semua. (Pastor Yohanes Suratman)

Ada lima jenjang reaksi

Ada lima jenjang reaksi kita ketika menerima kabar buruk, diukur seberapa jauh dan dekatnya hubungan darah dengan kita. Pertama, bila berita buruk itu menimpa istri atau suami. Kedua, anak. Ketiga, orang tua. Keempat, saudara. Dan yang kelima, atau yang terakhir orang lain. (Karijaredja)

Berbakti


Orang disebut berbakti kepada orang tua kalau ia menyokong kehidupan mereka. Ia berbuat sama terhadap anjing dan kudanya. Kalau ia tidak menghormati orang tuanya bagaimana membedakan dengan binatang. (Konfusius)

Melihat diri

Ketika saya melihat kesalahan orang lain, pada saat yang sama saya sadar bahwa kesalahan saya lebih besar dari kesalahan mereka. Maka saya minta maaf dan memaafkan mereka. (FX. Mgn)

Mantra

Masa lalu adalah sejarah, masa kini adalah berkah dan masa depan bahagia bersama Allah. (FX. Mgn)