SELAMAT DATANG DAN SELAMAT BERJUMPA

Senin, 26 Desember 2011

HR RAYA ST. PERAWAN MARIA BUNDA ALLAH. Minggu, 1 Januari 2012

IA MENYIMPAN SEGALA PERKARA


Bil 6:22-27;
Gal 4:4-7;
Luk 2:16-21

Soklipo diminta oleh Ketua Lingkungannya agar berpartisipasi pada Panitia Natal Paroki dengan membeli Kupon Persembahan Kasih Natal. Soklipo pun membelinya satu lembar, kemudian disimpan dalam dompetnya. Setelah itu ia tidak pernah mengingat-ingat lagi. Setelah tiba pengundian kupon tersebut ternyata ia memperoleh hadiah utama berupa sebuah sepeda motor Honda Beat. Soklipo mengetahui kalau mendapatkan hadiah tersebut setelah warga Lingkungannya ribut-ribut memberitahukan bahwa Soklipo lah yang mendapat hadiah utama. Teman-temannya mengucapkan selamat dan ikut senang, tetapi Soklipo tidak menghiraukan  semua itu karena ia sudah lupa kalau pernah membeli kupon berhadiah.
Peristiwa yang sama juga dialami oleh Maria yang memperoleh karunia besar setelah melahirkan Sang Putra Allah. Sebagai seorang ibu yang baru saja melahirkan putra tentunya sangat gembira, tetapi kegembiraan Maria tidak ditunjukkan kepada sanak saudara atau kepada siapa pun. Maria hanya menyimpannya dalam hati. Justru malah para malaikat yang memberitakan kabar suka cita itu, dan pertama-tama yang diberi tahu adalah para gembala. Sebagai gembala yang sederhana ada sedikit keraguan, benarkah berita itu? Dengan tanpa banyak bicara, kemudian mereka cepat-cepat membuktikan berita itu dengan menjumpai seorang ibu dan bapak dan bayi itu berbaring dalam palungan, seperti yang dikatakan para malaikat sebelumnya. Para gembala yang menyaksikan seorang Bayi itu lalu memberitahukan kepada banyak orang sambil memuji dan memuliakan Allah.
Dari pengalaman Soklipo dan para temannya, dan juga pengalaman Maria sendiri dapat kita tarik kesimpulan bahwa motivasi mereka memang berbeda-beda, ketika memperoleh sesuatu karunia dari Tuhan. Soklipo mungkin sama dengan Maria. Soklipo membeli kupon, motivasinya bukan hadiah tetapi sekedar menyumbang walau hanya sedikit. Demikian juga Maria ia mau menerima karunia itu dengan mau melahirkan Sang Putra bukan karena agar ia dipuji atau terkenal tetapi Maria ingin menunjukkan kepada Allah bahwa ia mau setia dan taat kepada Allah dengan melakukan apa yang menjadi kehendak Allah. Maria ingin memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya dengan mau membesarkan Yesus dan mendidiknya. Maria bersama Yusuf suaminya mengasuh dan membesarkan Yesus dengan landasan kasih sebagai orang tua kepada anak pada umumnya. Mereka tidak banyak perhitungan tetapi melakukannya dengan hati yang legawa dan tanpa mengeluh.

Bagaimana dengan motivasi kita?
Seringkali kita melakukan apa pun selalu mempertimbangkan untung rugi. Ketika berdoa, memuji Dia, motivasinya agar kita biar dianggap lebih dekat dengan Allah. Menyumbang pun dengan harapan hadiah semata. Melakukan apa pun biar mendapat pujian banyak orang.
Marilah kita mengubah motivasi kita dengan belajar dari motivasi Soklipo yang membeli kupon bukan mengharapkan hadiah tetapi menyumbang. Bunda Maria yang memperoleh karunia besar dengan menyimpan segala perkara, dan ketaatan serta kesetiaannya pada Allah dengan melakukan kehendak-Nya, dengan hati yang rela dan selalu bersyukur. (FX. Mgn)

Senin, 19 Desember 2011

HR RAYA NATAL (Malam Natal) Minggu, 25 Desember 2011

HARI INI TELAH LAHIR BAGIMU JURUSELAMAT

Yes 9:1-6;  Tit 2:11-14; Luk 2:1-14

Dalam pandangan masyarakat kita pada umumnya bahwa Natal adalah Hari Rayanya orang Kristiani. Menurut mereka Natal adalah “Lebaran”-nya orang Kristiani.
Bagi umat Kristiani, Natal bukan saja merupakan hari rayanya tetapi juga sebagai hari yang mahapenting karena merupakan hari yang menandai lahirnya Sang Juruselamat ke dunia. Hari Kelahiran Bayi Ilahi itu sekaligus dikukuhkan dan dicatat dalam sejarah manusia; Allah menjadi manusia, memasuki sejarah umat manusia, menjadi satu di antara manusia, untuk menyelamatkan manusia.
Ditandai dengan suara tangis Bayi yang dilahirkan Maria yang memecah kesunyian malam Natal. Tangis Bayi itu menjadi tanda datangnya Kabar Gembira yang diwartakan oleh malaikat kepada gembala, "Jangan takut sebab hari ini telah lahir bagimu Juru Selamat, yaitu Kristus, Tuhan, di Kota Daud. Tandanya kamu akan menjumpai seorang bayi dibungkus dengan lampin dan terbaring di dalam palungan."
Kenapa Bayi itu lahir di tempat kandang hewan dan hanya dibungkus dengan lampin dan terbaring di dalam palungan? Kenapa Bayi yang menyelamatkan umat manusia dari dosa, tetapi lahir dalam kemiskinan dan kesederhanaan? Bukan dengan kemewahan dan kebesaran? Ia hanya ditemani oleh hewan-hewan. Hewan-hewan pun bukan hewan yang berkuasa seperti raja hutan (singa) atau hewan yang kuat seperti gajah.
Ia tidak membutuhkan pendamping yang mengandalkan kekuasaan dan kekuatan, agar kedatangan-Nya di dunia tidak membuat manusia takut mendekat kepada-Nya. Ia hanya ditemani hewan-hewan, keledai dan sapi serta domba dan kambing yang lemah? Dengan ditemani hewan-hewan yang lemah menunjukkan Ia ingin lebih dekat dengan manusia terutama manusia yang lemah dan tersingkir. Ia ingin merasakan bagaimana dan masuk dalam kehidupan manusia sesungguhnya.
Meski lahir di tempat hewan, Bayi itu tidak merasakan takut atau cemas, sama seperti yang dirasakan Maria dan Yoseph orang tuanya. Ia nampak nyaman saja dan kelihatan ceria saja. Karena Ia dilahirkan oleh ibu yang penuh kasih, dijaga oleh Yoseph yang penuh perhatian. Kehangatan cinta Maria dan Yoseph membuat tangis itu berhenti dan Bayi Ilahi itu tersenyum. Senyum-Nya meneguhkan tumbuhnya relasi persaudaraan dan kasih. Kasih yang tidak hanya dalam Keluarga Kudus, tetapi juga di antara para gembala atau orang-orang kecil dan sederhana.
Yesus yang lahir dalam kemiskinan dan kesederhanaan menandakan bahwa Ia mau berada di tengah manusia, mau tinggal bersama orang sederhana, mau bersama dan dekat dengan manusia. Ia datang di dunia untuk membangun kembali budaya kasih, membangun hidup dalam kebersamaan, saling peduli, dan dalam suasana persaudaraan.
Suara tangis pertama Yesus yang memecah kesunyian malam sebagai pertanda lahirnya Sang Juruselamat. Senyum pertama-Nya yang menghangatkan relasi telah membuat kita kini menyanyikan Malam Kudus. Kita memuji Allah bersama malaikat dan sejumlah besar bala tentara surga dengan penuh haru. Tangis dan senyum-Nya telah menguduskan malam Natal dan menguduskan alam semesta. Tangis-Nya meneguhkan kita karena derita kita disatukan dengan tangis-Nya, sengsara, dan wafat-Nya yang membawa kita keluar dari jurang dosa. Senyum-Nya meneguhkan siapa pun yang menerima Dia, menerima ajaran dan karya penyelamatan-Nya.
          Semoga tangis dan senyum kanak-kanak Yesus menjadi sumber berkat dan membawa harapan bagi kita untuk masa depan yang bahagia.  (FX. Mgn) SELAMAT NATAL DAN SELAMAT MENYAMBUT TAHUN BARU.

Senin, 12 Desember 2011

MINGGU ADVEN IV (B) Minggu, 18 Desember 2011

PASRAH DAN MELAKUKAN KEHENDAK TUHAN

2 Sam 7:1-5.8b-12.14a.16a;
Rm 15:25-27;
Luk 1:26-38.

        Seringkali kita sulit membedakan kata pasrah dengan kata menyerah. Misalnya kita pasrah kepada Tuhan apa yang menjadi kehendak-Nya, tentu sangat berbeda dengan menyerah pada keadaan karena keterbatasan kita. Menyerah terhadap keadaan, adalah suatu keputusan dan tindakan yang tidak didasari keyakinan tetapi karena tidak ada harapan dan tidak mau berusaha. Lain halnya dengan pasrah kepada Tuhan. Dengan pasrah kepada Tuhan berarti percaya kepada-Nya bahwa apapun yang menjadi keputusan dan kehendak Tuhan itu baik adanya.
        Injil hari ini menunjukkan sikap pasrah yang benar seperti yang dilakukan Maria. Maria mendapat tamu, Gabriel namanya. Ternyata tamu itu adalah utusan Tuhan, datang membawa warta kepada Maria, bahwa Maria akan mengandung. Warta itu bagi seorang wanita merupakan kabar yang menyenangkan tetapi juga penuh resiko. Maka dijelaskan kepada Maria “jangan takut” sebab Allah sendiri yang berkenan. Maria mencoba mengelak, tetapi sekali lagi ditegaskan kepada Maria, Allah menyertaimu, lalu Maria percaya dan bersedia.
        Kenapa Maria pasrah dan mau melakukan apa yang dikehendaki Allah? Karena Maria berani melihat sisi ilahi dari hidup ini. Maria melihat bahwa apa yang mustahil atau tidak mungkin di mata manusia, merupakan hal yang mungkin terjadi atau biasa bagi Allah. Berani berserah pada Allah hanya karena percaya dan pasrah. Namun bagi kita, seringkali kita kurang berani melihat sisi ilahi dari kehidupan ini. Hanya sisi manusiawi saja yang menjadi dasar pertimbangannya.
       
        Dalam menantikan kedatangan Tuhan pada Adven yang terakhir ini, kita diingatkan bahwa kehendak Allah berbeda dengan kehendak manusia. Akan hal ini janganlah kita memperlakukan Dia menurut jalan pikiran manusia. Kepada Allah, kita hanya bisa berserah, percaya bahwa banyak hal di luar dugaan manusia bisa diselesaikan Allah dengan cara yang amat sederhana. Lalu apa yang harus kita lakukan dalam menantikan kedatangan Tuhan?
        Jika kita menantikan kedatangan Yesus sebagai utusan Allah, harusnya kita sambut dengan hati terbuka dan pasrah bahwa Allah sungguh mencintai kita. Kita sambut dengan meriah dan sukacita penuh walau mungkin kita sedang dalam kesulitan. Bukan mengeluh dan kecewa ketika kita dihadang oleh persoalan hidup, tetapi dengan hati gembira dan penuh syukur kita menyambut-Nya. Dengan hati yang mau melihat bahwa hati dan kehendak Allah sungguh lain dari kehendak manusia. Hati yang mau mengerti bahwa apa pun yang kita pikirkan dan kita lakukan itu karena kehendak-Nya, bukan karena kehendak kita sendiri. Dalam menyambut kedatangan Tuhan, bukan juga dengan hiasan mewah, bukan dengan bingkisan kado yang mahal, dan juga bukan dengan barang-barang yang serba baru, melainkan dengan hati yang mau berserah, hati yang rendah hati dan mau terbuka terhadap kehendak-Nya.  
        Maka marilah kita menanti kedatangan Tuhan dan sekaligus menikmati kedatangan-Nya yang sudah, dan sedang terjadi di dalam hidup kita setiap hari dengan sikap pasrah seperti yang dilakukan Maria: “Sesungguhnya aku ini hamba Tuhan; terjadilah padaku menurut perkataanmu.” (FX. Mgn)

Senin, 05 Desember 2011

MINGGU ADVEN III (B) Minggu, 11 Desember 2011

DENGAN SIKAP RENDAH HATI DAN JUJUR MENERIMA TUHAN DALAM HIDUP KITA

Yes 61:1-2a.10-11;
1 Tes 5:16-24;
Yoh 1:6-8.19-28.

        Ketika itu saya membaptis orang tua yang sudah sakit parah. Selama hidupnya orang tua itu sangat rindu ingin hidup seperti anak-anaknya, yang semuanya Katolik. Niat dan keinginan orang tua itu sudah cukup lama tetapi karena tidak bisa baca tulis, keinginannya tertunda. Karena kondisi kesehatannya mulai menurun, oleh anak-anaknya minta agar orang tuanya bisa dibaptis. Setelah dibaptis orang tua itu meninggal. Selang seminggu saat peringatan arwah orang tua itu, ada seseorang yang mempermasalahkan baptisan tersebut. Katanya, ”Saudara bukan pastor, kenapa membaptis orang?”
        Kejadian itu mengingatkan saya pada bacaan Injil hari ini ketika orang Yahudi dari Yerusalem yang mengutus beberapa imam dan orang-orang Lewi bertanya kepada Yohanes Pembaptis, ”Siapakah engkau dan mengapa engkau membaptis, jikalau engkau bukan Mesias, bukan Elia, dan bukan nabi yang akan datang?” Yohanes pun mengaku terus terang bahwa ia bukan Mesias, dengan rendah hati mengatakan, ”Aku hanyalah orang yang berseru-seru di padang gurun, luruskanlah jalan Tuhan! Seperti yang telah dikatakan nabi Yesaya.” Selanjutnya Yohanes mengatakan, ”Aku membaptis dengan air, tetapi ditengah-tengahmu berdiri Dia yang tidak kamu kenal, yaitu Dia, yang datang kemudian daripadaku.”
        Seperti Yohanes yang diragukan oleh beberapa orang Farisi yang diutus menanyakan siapakah dia sebenarnya, "kok berani-beraninya membaptis", saya pun diragukan ketika membaptis seorang tua yang sudah mau meninggal di atas tadi. Memang yang berhak membaptis orang itu adalah pastor, tetapi dalam keadaan darurat siapapun bisa membaptis asal orang yang membaptis itu sudah dibaptis. Sebenarnya saya juga tidak layak untuk membaptis orang, tetapi daripada tidak membaptis lebih baik saya salah membaptis orang. Rasanya jiwa orang tua itu harus terselamatkan berkat pembaptisan itu, sebab yang diterima dalam pembaptisan itu bukan sekedar mencurahkan air di dahinya tetapi yang dihadirkan adalah Bapa dan Putra dan Roh Kudus sendiri.
        Semoga kita mau belajar dari Yohanes Pembaptis yang sederhana dan jujur, tidak mengaku-aku sebagai Mesias yang dinanti-nantikan kedatangannya. Yohanes berpedoman, biar aku menjadi kecil, asal Tuhan menjadi besar. Yohanes dengan tegas menjawab orang-orang banyak katanya, ”Aku bukan nabi, aku bukan Mesias, aku bukan Elia. Suatu sikap yang sungguh ksatria, berani mengakui diri siapa sebenarnya. Suatu sikap yang sungguh jujur dan terbuka, sehingga dapat menempatkan Tuhan di tempat yang sesungguhnya. Kata Yohanes, ”Membuka tali kasut-Nya pun aku tidak layak.” Kiranya dengan sikap rendah hati dan jujur menerima Tuhan dalam hidiup kita merupakan sikap yang diharapkan dari kita bila mempersiapkan diri untuk menerima Tuhan dalam hidup kita, maupun di hari natal nanti.
        Marilah menyambut kehadiran Tuhan dengan menyiapkan hati yang penuh keterbukaan, seperti Tuhan selalu menawarkan diri untuk menyapa, mencintai dan mau tinggal bersama kita. (FX. Mgn).

Senin, 28 November 2011

MINGGU ADVEN II (B) Minggu, 4 Desember 2011

LURUSKAN JALAN BAGI DATANGNYA TUHAN DENGAN BERTOBAT

Yes 40:1-5.9-11;
2 Ptr 3:8-14;
Mark 1:1-8

        Walau masih tiga minggu namun suasana Natal sudah mulai terasa. Kita melihat di taman-taman kota, beberapa jalan dan gedung perkantoran sudah mulai dihias pohon natal. Pusat perbelanjaan mulai diserbu pengunjung yang berbelanja untuk mempersiapkan natal nanti, dengan meriah dan menyenangkan. Benarkah ini merupakan persiapan natal yang sesungguhnya? Apakah ini merupakan persiapan menyambut kedatangan Emanuel, Tuhan Penyelamat kita yang tepat?
        Yohanes Pembaptis dalam bacaan Injil hari ini membuat sesuatu yang sangat berbeda jauh dengan hal-hal di atas. Ia tidak menghias rumahnya dengan mengisi perabotan yang serba baru dan tidak membeli baju baru untuk dirinya, tetapi ia cukup berpakaian kulit unta yang kasar. Tidak menyiapkan minuman keras atau menumpuk makanan untuk berpesta, tetapi hanya dengan makan belalang dan madu hutan secukupnya.
        Yohanes malah berkeliling ke jalan-jalan, lapangan dan sepanjang Sungai Yordan mengingatkan semua orang agar “bertobat dan memberikan diri dibaptis dan Allah akan mengampuni dosamu …” Yohanes dengan tegas mengingatkan orang akan pertobatan. Pertobatan artinya meluruskan arah hidup kembali kepada kehendak Allah demi kebahagian kita. Pertobatan berarti juga mengarahkan diri kita kepada kehendak Tuhan dengan meninggalkan apa pun yang menghambat dan yang menghalangi kita menuju kebahagiaan bersama Allah. Itulah sebabnya seruan dan ajakan Yohanes Pembaptis dalam mempersiapkan jalan bagi kedatangan Tuhan dengan mengingatkan kita semua melalui baptisan tobat. Baptisan yang menandai tekad untuk membuka lembaran baru. Lembaran baru, yaitu sikap bertobat dengan mempersiapkan diri dengan membuang yang jahat, membersihkan yang kotor, dan melakukan yang baik.
        Pesan Yohanes dalam menyiapkan kedatangan Tuhan sungguh tepat dengan mengajak kita semua agar berani menanggalkan sikap yang lama dengan membiarkan diri dituntun Allah sendiri dengan mendekat kepada-Nya kembali. Sebab Yang Ilahi bukan lagi sebagai yang akan datang menghukum dan memperhitungkan dosa-dosa kita melainkan sebagai Dia yang akan membawa kembali umat-Nya menuju kebahagiaan bersama-Nya. Ia bukan lagi yang menuntut dan hanya memandang serta memperhitungkan dosa-dosa kita, melainkan Ia datang menguatkan manusia.

        Bagaimana mempersiapkan kedatangan Tuhan?
        Mempersiapkan dan meluruskan jalan bagi datangnya Tuhan yang tepat telah dilakukan Yohanes Pembaptis melalui tindakan dan kehidupannya yang sederhana. Tidak harus hidup berfoya-foya dengan berpesta fora. Hidup sederhana dan hemat, makan secukupnya, pakaian tidak harus baru. Hatinya yang harus baru. Yohanes juga minta kepada kita agar bertobat. Bertobat berarti meninggalkan apa-apa yang dirasa tidak pantas di hadapan Tuhan dengan melakukan hal-hal yang berkenan kepada Allah. Itulah sebuah contoh yang tepat bagi kita bagaimana sebaiknya menyambut kedatangan Tuhan.
        Semoga ajakan Yohanes Pembaptis ke arah datangnya Tuhan, bisa membangkitkan semangat kita untuk menata arah hidup yang baik dengan berdamai dengan Allah. Berdamai dengan Allah yang juga mendorong untuk berdamai dengan sesama, dengan tidak hanya melihat kesalahan orang lain tetapi mau melihat kesalahan sendiri agar kita layak menyambut kehadiran-Nya. (FX. Mgn)