SELAMAT DATANG DAN SELAMAT BERJUMPA

Senin, 26 Juli 2010

MENJADI KAYA DI HADAPAN TUHAN


MG BIASA XVIII (C)
Hari Minggu, 1 Agustus 2010

Pkh 1:2: 2:21-23;
Kol 3:1-5. 9-11; 
Luk 12:13-21

      Siapa yang tidak ingin kaya raya? Semua orang tentu ingin kaya raya. Karena dengan kekayaan yang melimpah, hidupnya akan bahagia. Benarkah demikian? Yesus mengingatkan bahwa hal-hal duniawi hanyalah sementara sifatnya. Dengan kata lain bukan harta duniawi yang menjadi jaminan kebahagiaan manusia. Tetapi harta surgawi, itulah jaminan kebahagiaan kita.
      Maka ketika Yesus diminta untuk menjadi hakim perselisihan tentang warisan, Dia tidak mengabulkan permintaan itu. Dia justru menunjukkan apa yang perlu dan penting dalam hidup ini. Yesus tidak melarang upaya manusia untuk mengumpulkan harta dan menjadi kaya, tetapi Ia memperingatkan bahayanya orang yang begitu mencintai harta duniawi sampai kemudian melupakan upaya mengumpulkan harta surgawi.
     
      Dari pemikiran orang yang tidak beriman, memang menjadi kaya raya itu dapat dimengerti. Mereka menyiapkan dan menumpuk kekayaan untuk bisa dinikmati pada hari tuanya. Itulah sebabnya dalam pikiran mereka selalu berusaha menumpuk harta. Hartalah yang utama dan yang menjadi prioritas serta tujuan hidupnya atau yang menjadi ”tuhan”nya. Hartalah yang menjadi kebanggaan hidupnya. Namun sayang, belum sampai menikmati itu semua, keburu dipanggil Sang Pemberi Rezeki. Lalu semuanya menjadi tidak berarti.
      Kekeliruan si kaya dalam perumpamaan yang dikisahkan Yesus tadi, bukan pada keinginannya yang keras untuk mengumpulkan harta. Juga keinginannya untuk menjadi kaya, itu bukan soal. Akan tetapi, kekeliruannya terutama terletak pada keyakinan hanya hartalah yang bisa memuaskan hidup dan memberikan kebahagiaan kepadanya. Dengan begitu, harta dijadikan prioritas hidup, harta dijadikan tujuan hidup mereka. Menurut mereka ”tuhan”nya ya hartanya.

      Lain halnya bagi seorang beriman, harta memang perlu dan penting. Kekayaan sangat penting untuk kelangsungan hidup. Kita sangat dianjurkan untuk kaya. Bahkan kalau kita semua menjadi kaya, baiklah. Tetapi, harus disadari bahwa harta itu tetap hanyalah sarana untuk hidup, bukan tujuan hidup. Harta yang mestinya sebagai sarana hidup, tetapi menjadi tujuan hidup adalah salah besar. Tujuan hidup kita tetap berbahagia bersama Allah yang memanggil kita dan mencintai kita. Sedangkan, semua harta duniawi sebaiknya kita cari sejauh menunjang tujuan hidup itu.
      Bacaan Injil hari ini merupakan peringatan agar kembali kepada tujuan hidup kita. Yaitu tidak mentuhankan harta duniawi yang akan musnah itu. Tidak mendewakan harta duniawi tetapi harta surgawi. Kita boleh kaya di dunia, tetapi lebih penting lagi adalah menjadi kaya di hadapan Tuhan. Kaya di hadapan Allah berarti menggunakan kekayaan dengan benar. Si kaya seharusnya berbagi dengan sesama, bukan ditumpuk untuk memuaskan diri sendiri. Mungkin puas dengan harta duniawi karena kaya raya, tetapi kekayaan tidak memuaskan jiwa.
      Semoga peringatan Yesus kepada orang kaya yang bodoh tadi juga mengingatkan kita agar dalam berusaha mencari harta menjadikan sarana hidup, bukan tujuan hidup. (FX. Mgn)

Senin, 19 Juli 2010

MINTALAH, MAKA KAMU AKAN DIBERI


MG BIASA XVII (C)
Hari Minggu, 25 Juli 2010

Kej 18:20-32;    
Kol 2:12-14;      
Luk 11:1-13

Ketekunan Yesus berdoa menjadi teladan para murid-Nya. Dengan melihat Guru mereka yang tekun berdoa, para murid juga terdorong untuk mengikuti jejak-Nya. Maka, mereka juga minta diajari untuk berdoa sebagaimana Yohanes mengajari murid-muridnya. Permintaan ini ditanggapi Yesus dengan mengajari para murid-Nya tentang doa ”Bapa Kami” seperti yang sering kita doakan. Yesus berbicara tentang doa Bapa Kami dan perumpamaan agar selalu memohon kepada-Nya.

Kadangkala kita bertanya kenapa harus selalu berdoa, toh Tuhan sudah mengetahui kebutuhan kita sebelum menyampaikan doa kepada-Nya? Tetapi karena Tuhan itu sebagai pusat harapan dan sandaran hidup kita, maka hanya kepada Tuhanlah kita bergantung dan memohon. Harus diakui, bahwa kita tidak bisa lepas dari Tuhan dan selalu bergantung kepada-Nya. Hidup dan mati kita ini juga hanya tergantung kepada Tuhan. Maka hanya kepada Dia, kita berdoa dan memohon belas kasih-Nya. Sepanjang permohonan kita itu wajar dan memang dibutuhkan dalam menopang hidup kita serta berguna bagi perkembangan iman kita, Tuhan akan mengabulkannya.
Itulah sebabnya sebagai seorang beriman, kita tidak lepas dari kebiasaan berdoa. Karena doa merupakan bentuk komunikasi dengan Tuhan. Baik dan tidaknya hubungan kita dengan Tuhan ditentukan oleh komunikasi. Bila komunikasi kita baik, semua urusan dengan Tuhan juga lancar.
Seperti dalam Injil tadi digambarkan bagaimana kita seharusnya memohon kepada Tuhan yang diibaratkan dengan seorang yang tengah malam menggedor-gedor tetangganya, agar diberi makanan. Terdorong oleh rasa lapar karena perut belum diisi makanan, membuat orang itu nekat dan tidak ada rasa malu lagi untuk mengetuk tetangga yang sedang tidur nyenyak. Karena hanya kepada tetangga itu bisa memperoleh makanan. Demikian juga kita. Kita pun harus selalu berdoa dan hanya bergantung kepada Tuhan. Semua harapan dan permohonan kita sampaikan kepada-Nya. Terkabul atau tidaknya permohonan kita tergantung akan belas kasih-Nya.
        Sudah jelas kita memang harus selalu berdoa kepada Tuhan. Namun, seringkali kita juga mengalami kesulitan berdoa seperti para murid Yesus yang minta diajari berdoa. Yang sebenarnya Tuhan sudah mewariskan doa yang sangat baik kepada kita yaitu Doa Bapa Kami. Doa Bapa Kami merupakan doa yang pertama-tama diajarkan kepada para murid-Nya. Apakah waktu itu mereka belum bisa berdoa? Mereka sudah biasa berdoa seperti yang diajarkan oleh Yohanes. Bagaimana cara Yohanes berdoa, Kitab Suci tidak mengatakan dengan jelas. Hanya bisa diterka cara berdoanya seperti orang Yahudi pada umumnya, bertele-tele, muter-muter dan panjang-panjang. 
Maka tujuan doa ini ialah kita memohon rahmat khusus untuk tidak pernah menyangkal Allah. Kita harus berbalik kepada Allah dengan menjalin hubungan yang erat dan membangun komunikasi yang baik dengan Allah. Hubungan kita dengan Tuhan ditentukan oleh komunikasi. Kalau hubungan kita dengan Allah baik berkat doa itu, kita pun tidak akan takut-takut seperti Abraham yang berani tawar-menawar dengan Allah.
        Semoga kita tidak bosan berdoa tetapi tekun berdoa karena kita meyakini setulusnya betapa Allah sangat baik dan murah hati; mintalah, maka kamu akan diberi; carilah, maka kamu akan mendapat; ketuklah, maka pintu akan dibukakan bagimu. (FX. Mgn)

Senin, 12 Juli 2010

MENERIMA YESUS DENGAN SIKAP MARIA


MG BIASA XVI (C)
Hari Minggu, 18 Juli 2010

Kej 18:1-10a;    
Kol 1:24-28;      
Luk 10:38-42

      Ketika Yesus bertamu ke rumah sahabat-Nya yaitu Marta dan Maria. Tentu Yesus disertai para murid-Nya dan Ia pun disambut oleh kedua wanita itu dengan hangat. Marta langsung ke belakang sibuk mempersiapkan hidangan, sesekali menjawab pertanyaan Yesus dari dapur. Namun Maria adiknya, di depan menemani Yesus berbincang-bincang dan bertukar pikiran dengan asyiknya. Maria senang mendengarkan wejangan Yesus dan mencoba untuk mengerti apa yang dikehendaki-Nya. Maria ingin sekali mengerti semangat dan ajaran Yesus dengan berbicara secara pribadi dengan-Nya. Melihat hal itu Marta agak kesal kepada Maria adiknya, kenapa ia tidak mau membantu sedikit pun. Malah hanya duduk manis seperti tamu dan ngobrol saja dengan Yesus.
      Yesus menanggapi Marta dengan mengatakan, bahwa Maria telah memilih bagian yang terbaik. Yesus tidak mengatakan bahwa yang dilakukan Marta itu tidak baik, tetapi apa yang dilakukan Maria itu terbaik. Kenapa? Maria telah menemukan dan memilih Yesus sebagai keutamaan hidupnya. Ia ingin dekat secara pribadi dengan mendengarkan Yesus dan berkomunikasi dengan Dia. Saat itu Yesus pun lebih senang disambut dengan hangat kehadiran-Nya dan ingin diajak bicara daripada diberi hidangan. Hal ini kurang diperhitungkan oleh Marta. Marta maunya baik, tetapi keliru menafsir apa yang ada di dalam hati Yesus. Marta telah berbuat baik, namun kurang tepat. Tetapi Maria mau menunda bekerja sejenak karena ingin dekat dahulu dengan Tuhan.
      Dalam kehidupan sehari-hari, kita pun suka berperilaku seperti Marta terhadap Yesus. Sering kali kita sibuk dengan segala macam kegiatan yang sebenarnya tidak perlu dan tidak dikehendaki Tuhan.

        Lalu bagaimana dengan kita harus memilih?
      Dalam hidup kita ada dua kepentingan. Kepentingan jasmani dan kepentingan rohani. Kepentingan jasmani dipuaskan dengan hal-hal duniawi. Seperti kita lapar baru puas kalau sudah makan. Jika kita lelah harus istirahat. Tetapi kepentingan rohani, tidak bisa dipuaskan dengan hal duniawi. Kepentingan rohani hanya bisa dicukupi dengan memberikan suasana, waktu, dan kedekatan dengan Tuhan. Bahwa kita harus bekerja, itu penting. Jika kita ingin kecukupan hal materi. Namun dalam kehidupan kita juga harus ada waktu untuk Tuhan, berdoa, menjalin relasi yang akrab dengan Tuhan secara pribadi. Jangan saking sibuknya membuat lupa untuk meluangkan waktu diam sejenak mendengarkan bisikan Tuhan.
        Semangat Marta itu baik, tetapi alangkah baiknya kalau kita gabungkan dengan sikap Maria. Sikap Maria yang menerima kedatangan Yesus secara pribadi, sebagai lambang penerimaan sabda Allah kepada manusia. Semoga kedatangan Yesus sebagai utusan Allah menjadi pemersatu keluarga, sekaligus juga menjadi penentu dalam menanggapi sabda-Nya. (FX. Mgn)

Senin, 05 Juli 2010

SIAPAKAH SESAMAKU?




MG BIASA XV (C)
Hari Minggu, 11 Juli 2010

Ul 30:10-14;      
Kol 1:15-20;      
Luk 10:25-37

      Sering kali kita keliru memahami siapakah sesamaku. Pandangan salah kaprah tentang sesamaku adalah pandangan dan perhatian hanya kepada mereka yang sepaham, satu bangsa, satu iman, satu suku atau segolongan dan ada kedekatan.   
     
      Salah kaprah mengenai sesamaku ini awalnya adalah pandangan yang ditekankan para ahli Taurat. Di mana orang-orang Yahudi membuat kelompok, sesama mereka yang dikenal dan mengenal termasuk di dalamnya para imam dan orang-orang Lewi. Relasi yang menguntungkan kehidupan ekonomi, atau pun orang yang mendukung status dan kedudukan ahli Taurat.
      Hal ini sangat bertentangan dengan pandangan dan harapan Yesus. Yesus menghendaki agar saling mengasihi satu sama lain seperti mengasihi dirinya sendiri. Yesus menegaskan bahwa dalam berbuat kasih kepada Allah dan sesama jangan hanya memperhitungkan kelompoknya sendiri atau yang sepaham dengannya. Cinta kepada sesama ialah, menyatakan dan membuktikan diri sebagai teman bagi yang lain – lebih-lebih terhadap orang yang dianggap musuh. Yesus pernah berkata: “Kasihilah musuhmu, dan berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu. Mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu. Berdoalah bagi orang yang mencaci-maki kamu.”
      Maka ketika Yesus dicobai oleh ahli Taurat dengan pertanyaan siapakah sesamaku, Ia balik bertanya pada mereka: “Siapakah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?  Sebab pada kasus itu seorang imam dan orang Lewi yang lewat dan melihat orang yang dirampok dan dicelakai itu, sama sekali mereka tidak mau menolong. Justru yang tergerak hatinya adalah yang selama ini yang dianggap musuh, yaitu orang Samaria yang mau menolong. Orang yang terluka tadi adalah seorang bangsa Yahudi. Yahudi dan Samaria saling bermusuhan, tetapi tadi dua-duanya mengungkapkan cintanya. Orang Samaria itu melayani si terluka, dan orang Yahudi yang terluka itu pun memberikan diri untuk ditolong, sekalipun oleh seorang musuh bangsanya.
 
       Bagaimana dengan kita?
      Sering kali kita berteori dan bergagasan tinggi untuk mencintai sesama seperti yang diajarkan oleh Yesus. Begitu tingginya teori kita, sering kali kita tidak melihat bahwa di samping kita ada sesama yang perlu kita bantu. Sering kali kita menekankan bahwa kita semua satu saudara, tetapi di balik itu kita masih berpandangan seperti ahli Taurat dan tidak mampu melihat sesama hidup dengan membeda-bedakan.
       Semoga Injil yang kita renungkan hari ini memberikan keberanian kepada kita untuk segera berbuat mencintai sesama dengan tidak terlalu lama bertanya, siapakah sesama kita? Tetapi dapat menjadi sesama bagi siapa pun yang kita jumpai dengan bersaudara tanpa membedakan suku, ras, golongan, agama dan kelas. (FX. Mgn)