SELAMAT DATANG DAN SELAMAT BERJUMPA

Selasa, 31 Juli 2012

MG BIASA XVIII (B) Minggu, 5 Agustus 2012


MEMAKNAI TANDA KEHADIRAN TUHAN

Kel 16:2-4.12-15;
Ef 4: 17. 20-24;
Yoh 6;24-35

      Menyaksikan seorang ibu setiap hari mengantar anaknya ke sekolah, menungguinya dengan sabar tanpa mengeluh. Orang berpikir, kenapa ibu itu melakukan hal itu, apa yang mendasari perbuatan itu? Seorang pastor meninggalkan orang tua dan saudara pergi ke suatu daerah lain melayani umat. Semua kemampuan dan daya yang dimilikinya dicurahkan kepada orang lain. Kenapa ia rela mengorbankan dirinya bagi orang lain?
      Dari dua contoh tanda-tanda dan perbuatan yang dilakukan seorang ibu dan seorang pastor tadi seringkali orang tidak bisa menangkap makna terdalam dari suatu tanda atau perbuatan yang nampak dari luar, tetapi kita menganggapnya seperti kejadian yang biasa-biasa saja.
      Dalam Injil hari ini dikisahkan banyak orang mengerumuni Yesus tidak menangkap tanda terdalam itu. Mereka berbondong-bondong melihat Yesus menggandakan roti dan mereka makan dari mukjizat yang dibuat Yesus itu. Itulah yang melatarbelakangi mereka mencari Yesus untuk boleh melihat mukjizat-Nya dan makan roti lagi. Mereka tidak melihat dibalik mukjizat itu sebenarnya tetapi mereka hanya melihat roti; Seharusnya mereka melihat bahwa Yesus adalah Tuhan yang datang ditengah mereka. Bahwa Yesus sendiri adalah roti kehidupan, yang tidak kunjung habis bila orang percaya kepada-Nya. Orang-orang itu hanya mencari roti yang dapat punah, tetapi tidak mau menerima si pembuat roti itu yang akan selalu memberikan kehidupan.
      Maka waktu mereka bertanya kepada Yesus apa yang harus diperbuat supaya dapat mengerjakan yang dikehendaki Allah, dan Yesus menjawab bahwa mereka harus percaya kepada Dia yang diutus Allah; orang-orang itu marah dan meninggalkan Yesus. Mereka masih minta tanda bahwa benarkah Yesus adalah diutus Allah. Padahal mereka sudah melihat tanda-tanda itu dan bahkan sudah menikmati tanda itu. Hati mereka hanya melihat roti dan tidak melihat Yesus, sang roti kehidupan
     
         Bagaimana dengan kita?
      Harus diakui, memang tidak semua orang dapat begitu saja percaya. Tidak semua orang dapat dengan mudah melihat tanda-tanda yang diberikan Tuhan dalam hidup ini. Kenyataannya masih diperlukan keterbukaan hati dan kerendahan hati untuk rela digerakkan oleh semangat Tuhan sendiri. Yang masih dipertanyakan kepada kita, apakah kita cukup peka untuk melihat tanda-tanda dan kejadian-kejadian di dunia ini sebagai tanda Tuhan yang hadir di tengah kita? Apakah hati kita terbuka untuk melihat bahwa Tuhan hadir di tengah situasi nyata di mana kita hidup dan bekerja? Berbagi dan peduli kepada orang lain agar tidak terjadi kelaparan dan kehausan kasih di mana masih banyak saudara–saudara kita yang membutuhkan uluran tangan dan perhatian kita.
      Marilah kita mensyukuri hidup ini ketika kita masih diberi kesempatan hidup dan masih diberi kesehatan yang baik dengan melakukan hal-hal yang dikehendaki Tuhan, sebagai tanda bahwa Tuhan memang hadir di tengah kita. (FX. Mgn)

Selasa, 24 Juli 2012

MG BIASA XVII (B) Minggu, 29 Juli 2012



“BERBAGI SEKECIL APAPUN DALAM TUHAN AKAN MENJADI BERKAT BAGI SESAMA”

2 Raj 4;42-44;
Ef 4:1-6;
Yoh 6;1-15

      Pada tahuan 60-an di sebagian daerah negara kita pernah dilanda kelaparan besar karena gagal panen dan serangan hama tikus. Banyak orang makan seadanya, bahkan ada yang terpaksa makan bonggol pisang dan bulgur. Banyak orang yang menderita penyakit kekurangan makan, bisa makan gaplek itu sudah lumayan.
      Di banyak tempat lain di negara kita juga masih banyak orang menderita kelaparan, bahkan di kota-kota besar banyak orang jadi gelandangan yang terpaksa hidup mengemis. Beberapa orang yang kaya mempunyai makanan cukup tetapi lebih mengutamakan kepentingan keluarga sendiri mengingat sistuasinya sedang rawan pangan. Orang miskin terpaksa menderita kelaparan dan kehausan akan perhatian, kasih dan cinta. Mereka haus akan sapaan dan uluran perhatian pribadi dari orang lain.  Mereka hidup di negara yang makmur tetapi  tetap kekurangan kasih yang membuat mereka menderita, merasa terpinggirkan dan kesepian.
      Menyaksikan situasi seperti itu kita sebagai pengikut Kristus ditantang di mana cinta kasih kita kepada sesama. Apa yang harus kita lakukan? Mau apa kita? Mau diam saja? Mau pura-pura tidak melihat? Tentu semua itu diserahkan kepada kita. Masihkah kita punya hati?
      Namun, kalau kita memperhatikan bacaan Injil hari ini, Yesus memerintahkan kepada murid-murid-Nya untuk memberi makan kepada banyak orang yang kelaparan pada waktu itu. Filipus menjawab: ”Biar dibelikan roti duaratus dinar juga tidak cukup untuk mereka walau masing-masing kebagian secuwil roti saja.” Hal itu menunjukkan bahwa Filipus tidak mau tahu terhadap mereka. Tetapi Yesus menyuruh para murid memperhatikan mereka dengan memberi makan. Salah seorang murid Andreas saudara Simon Petrus mendapati seorang anak kecil membawa lima roti dan dua ekor ikan. Dalam keterbatasan, untung anak kecil itu memberikan bekalnya itu kepada Andreas  lalu diserahkan kepada Yesus. Jelas, dengan roti dan ikan yang sedikit ini tidak akan  membantu apa-apa terhadap lima ribu orang yang datang berbondong-bondong menemui Yesus., namun anak itu memberikan yang sedikit itu kepada Yesus untuk digunakan. Rasanya ada seciuwil iman dalam anak itu, bahwa Yesus dapat menggunakan yang sedikit itu untuk sesuatu yang lebih besar. Memang dari secuwil itu, akibatnya sungguh besar. Dalam Yesus, roti dan ikan yang sesdikit itu dapat mencukupi kebiutuhan limaribu orang yang datang dan masih siasa.

      Bagaimana dengan kita?
Seringkali ketika menjumpai persoalan besar, misalnya menghadapi kelaparan masal di negara kita, lebih mudah menghindar seperti Filipus tadi. Bagaimana mungkin kita yang kecil dengan kterbatasan dana dapat membuat sesuatu dan memberikan makan kepada berjuta-juta orang yang kelaparan. Mustahil!. Itulah seperti yang dipikirkan para murid pada jaman Yeus dulu.
      Memang kalau kita sendiri jelas tidak mampu apa–apa, tetapi kalau yang kita lakukan dalam keterbatasan bekal itu kita mau merelakannya kepada Yesus untuk digunakan bagi orang-orang kecil itu dapat berguna juga. Apalagi kita memberikannya dalam kebersamaan, maka yang kecil-kecil itu akan terkumpul menjadi besar dan lebih berdaya guna. Sebab bagi Tuhan yang penting bukan besarnya bekal kita, tetapi lebih pada keterbukaan  dan keikhlasan kita membagikan kepada orang lain. Dalam keterbatasan itu, bila kita satukan dalam Tuhan segalanya mungkin terjadi. Tentu bagi mereka yang berkelimpahan diharapkan mambantu lebih dengan memberikan sumbangan yang lebih.
        Marilah  kita mulai berbagi kepada orang lain, sekalipun kecil kalau dipersembahkan kepada Tuhan, maka akan berkelimpahan. Dengan saling berbagi, menjadi murid Tuhan kita menciptakan Kerajaan Allah di sini dan sekarang ini. ( FX. Mgn

Selasa, 17 Juli 2012

MG BIASA XVI (B) Minggu, 22 Juli 2012


"TERGERAK HATINYA  OLEH BELASKASIHAN”

Yer23:1-6;
Ef 213-18;
Mrk 630-34

Seorang anak TK atau kelas I mau masuk sekolah untuk pertama kalinya ada perasaan takut, lalu orang tuanya membimbing dan berjalan di depan sambil menggandengnya. Bahkan ada seorang ibu terpaksa ikut duduk di kelas disamping anaknya selama hari pertama masuk sekolah, dan anak itu merasa aman dan tidak takut. Pada hari berikutnya anak itu sudah berani masuk kelas sendiri dan tidak perlu didampingi orang tuanya lagi.
      Seorang pastor yang baru ditugaskan di paroki juga manghadapi kesibukan dan kerepotan menggembalakan umatnya karena saking banyaknya masalah yang harus ”dibenahi”. Hal ini membuat pastor tersebut kelelahan bahkan sampai jatuh sakit. Demikian juga dalam Injil hari ini Yesus pun tidak sempat istirahat karena saking banyaknya orang yang datang dari semua kota,  sehingga makan pun tidak sempat.
       Seorang ibu yang mendampingi anaknya dan seorang pastor yang menggembalakan umatnya di paroki ibarat seorang penggembala kawanan domba. Seorang gembala domba yang adalah juga seorang pemimpin selalu berada di depan untuk menunjukkan jalan, karena ia lebih tahu jalan yang aman. Ini bisa dimengerti karena gembala selalu harus mencari padang rumput, agar domba-dombanya dapat makan yang cukup. Seorang gembala juga siap menghadapi serigala yang tiba-tiba menyerang kawanannya. Itulah sebabnya Kitab Suci menggambarkan Allah sebagai Gembala yang baik yang menjaga kita dan membawa ke padang rumput hijau yang  bisa menjadi kekuatan dan perlindungan bagi kita. Ia menuntun kita untuk mngembangkan hidup kita menjadi lebih baik. Para gembala juga selalu berada bersama kawanannya dan tidak pernah meninggalkan domba-dombanya, bahkan mnggendong dombanya yang lemah dan sakit.
                                                                                                Bagaimana dengan kita?
      Berkat pembaptisan yang kita terima kita pun juga mempunyai tugas untuk menggembalakan kawanan domba agar keselamatan dapat diterima oleh banyak orang. Itulah sebabnya apakah kita bisa mnjadi terang  dan garam dunia di disekitar hidup kita?  Apakah kita juga tergerak hati untuk menolong mereka yang kesulitan hidup karena keterbatasannya? Seperti Yesus yang tergerak hati-Nya karena belas kasihan melihat banyak orang yang datang seperti domba yang tidak mempunyai gembala.
      Marilah kita sebagai awam dalam posisi kita sesuai dengan panggilan kita masing-masing, entah sebagai kepala keluarga, entah sebagai pendiddik, sebagai pemimpin umat atau pemimpin masyarakat agar memiliki hati yang penuh belaskasihan sesuai dengan harapan Yesus yang menghendaki umat-Nya hidup, bukannya binasa. (FX. Mgn)

Senin, 09 Juli 2012

MG BIASA XV (B) Minggu, 15 Juli 2012


“DIPANGGIL DAN DIUTUS YESUS UNTUK MEWARTAKAN KABAR GEMBIRA ALLAH”

Am 7:12-15;  
Ef 1:3-10;
Mrk 6:7-13

      Para murid diutus mewartakan kabar sukacita Allah, yaitu bahwa keselamatan sudah datang dalam diri Yesus Kristus. Mereka diminta mewartakan semangat kasih. Dan karena itulah mereka diutus berdua-dua, tidak sendirian agar dapat saling membantu dalam tugas dan sekaligus mengungkapkan semangat kasih mereka.
      Mereka tidak perlu membawa apa-apa kecuali tongkat dan alas kaki. Bekal mereka hanya kepercayaan dan ketergantungannya kepada Allah sendiri. Kalau mereka diterima di sebuah rumah warga bolehlah tinggal di situ, tetapi bila tidak diterima agar  secepatnya keluar dan tinggalkan tempat itu. Mereka diberi kuasa atas roh jahat dan diberi kuasa untuk menyembuhkan orang sakit. Dan hasilnya memang memuaskan. Banyak orang sakit disembuhkan, banyak roh jahat diusir.
      Pada zaman itu kerap kali sakit selalu dihubungkan dengan roh jahat, maka kuasa menyembuhkan orang sakit pun dikaitkan dengan kuasa roh jahat. Penyembuhan orang sakit juga selalu dikaitkan dengan pertobatan.
      Saat itu Yesus mengutus murid-murid-Nya mewartakan kabar gembira Allah. Apakah sampai sekarang perutusan itu masih relevan dengan kemajuan jaman yang sudah modern ini? Rasanya sampai sekarang pun model perutusan itu masih sangat diperlukan, karena manusia bukan semakin bertobat dan menjauhi roh-roh jahat tetapi manusia malah menggantikan peran roh jahat. Bukan semakin saling mengasihi tetapi malah saling membenci. Jaman makin maju mestinya peradaban semakin maju pula, tetapi dalam kenyataannya semangat untuk saling mengasihi malah semakin luntur.
      Manusia telah memperoleh kemajuan dalam penemuan teknologi untuk bisa mempertahankan hidup di dunia, tetapi seringkali disalahgunakan hanya demi kepentingan kelompok. Bukan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan umat manusia, tetapi demi kepentingan kelompok. Dalam kehidupan bermasyarakat, kelompok atau perorangan, sering melakukan kekerasan terhadap sesamanya hanya karena perbedaan pendapat atau keyakinan.
      Manusia cenderung untuk berbuat dosa dengan tidak mengindahkan kepentingan sesama lagi. Coba kita bayangkan orang tidak malu-malu lagi untuk berbuat jahat misalnya korupsi. Korupsi kini secara terang-terangan dibahas, didiskusikan, ”diobok-obok” karena korupsi sudah amat ”busuk” dan ”bau”, sudah menjadi racun yang bisa mematikan rasa seseorang. Tidak malu-malu atau takut lagi, tetapi masih saja orang mencari kesempatan untuk korupsi. Korupsi seperti penyakit menular yang menyebar merusak ke seluruh aspek kehidupan. Dari penyuapan pejabat untuk menyalahgunakan wewenang hingga kebobrokan moral umumnya. Bahkan sekarang ini dilakukan oleh mereka yang posisinya sebagai penjaga moral. Uang rakyat mestinya untuk kesejahteraan rakyat tetapi disalahgunakan demi kepentingan pribadi atau kelompok.
      Untuk itu perutusan Yesus sampai sekarang masih perlu dilakukan oleh kita yang menjadi murid-murid Yesus. Kita dipanggil dan diutus untuk pergi mewartakan kabar gembira, membebaskan orang tertindas, menyembuhkan orang sakit, membebaskan orang dari kuasa kejahatan. Dan bekalnya pun juga kepercayaan kita bahwa Tuhan selalu menyertai kita. (FX. Mgn)

Senin, 02 Juli 2012

MG BIASA XIV (B) Minggu, 8 Juli 2012



“SIAP MENDERITA DAN SIAP DITOLAK”

Yeh 2:2-5;         
2 Kor 12:7-10;                       
Mrk 5:9:1-6

      mBah Kasanredjo terkenal sebagai ”orang tua” atau dhukun. Banyak orang dari luar daerah yang anggota keluarganya sakit minta ”air putih” kepada mBah Kasan karena ia memang sangat dikenal manjur atau ”cocok” kalau menolong orang. Namun ia kurang ”cocok” kalau menolong orang di daerahnya sendiri. Para tetangga terdekatnya jarang yang minta tolong kepadanya, karena mereka memandangnya sebagai ”orang biasa” sama-sama petani di daerahnya.
      Dalam Injil hari ini Yesus yang telah banyak membuat mukjizat dan mengajar serta menyembuhkan orang sakit di tempat-tempat lain, mengalami perlakuan yang mirip dengan mBah Kasan tadi ketika Ia pulang kampungnya. Waktu Ia mengajar dengan bagusnya orang mulai tertegun. Tetapi lama kelamaan mereka mulai berbisik, ”Lho itu kan anak Maria dan Yosep tetangga kita...” Mereka tidak percaya dan menolak ajaran-Nya. Sungguh mengherankan Yesus ditolak di kotanya sendiri. Tidakkah mereka seharusnya bangga bahwa anak dari kampungnya menjadi begitu populer. Rupanya Yesus pun kecewa karena mereka pada tidak percaya. Dan karena mereka tidak percaya, Yesus juga tidak membuat mukjizat di situ. Karena mukjizat membutuhkan iman kepercayaan dan penerimaan serta kerendahan hati.
      Sejak zaman Perjanjian Lama ada orang-orang yang dipilih dan diutus untuk menyuarakan kehendak Allah. Orang-orang itu mendapatkan anugerah Roh Kenabian, misalnya Nabi Yehezkiel. Mereka adalah orang-orang biasa yang dipanggil dengan segala kelemahan dan kerapuhannya. Demikian juga Paulus dipanggil Tuhan yang merefleksikan bahwa kelemahan itu perlu agar ”kuasa Tuhan menjadi sempurna”. Yesus yang dipilih Allah sebagai Mesias pada zaman-Nya, diutus untuk mempertobatkan dan memelihara kawanan domba Allah. Tetapi Ia menghadapi orang sebangsanya yang menolak diri-Nya. Hal itu disadari-Nya, karena memang demikianlah perlakuan manusia terhadap nabi-nabinya.
      Nampaknya menghargai orang lain dan menerima ajaran bukanlah hal yang mudah, apalagi bila orang yang memberi pengajaran adalah ia yang kita kenal masa lalunya. Seringkali kita tidak menghargai orang lain, karena hanya melihat penampilannya dan asal-usul orang itu. Tidak menghargai kemampuannya atau karya dan perjuangannya. Orang memperjuangkan keadilan dan kebenaran seringkali malah dihabisi. Mereka ditumpas habis. Kendati mendapat penolakan, sebagai pejuang dan nabi hendaknya terus setia pada Allah, melaksanakan tugasnya mewartakan keadilan dan kebenaran. Dalam hal iman, kalau para nabi bahkan Yesus sendiri ditolak di kotanya sendiri, apalagi kita para pengikut-Nya. Kita menjadi orang yang dipanggil dan diutus mewartakan kabar gembira harus siap mengalami penderitaan berupa penolakan.
      Marilah kita belajar dari pengalaman Yesus. Yesus yang tetap hadir dengan cara yang sederhana: memberi bekal ilahi melalui Sakramen Ekaristi. Yesus yang mengampuni melalui imam dalam Sakramen Pengampunan. Memberi rahmat perkawinan untuk saling mencintai. Memberi kekuatan pada mereka yang sakit. Jangan sampai rahmat Allah yang dijanjikan kepada kita, hilang hanya karena kita menolak/tidak menghargai mereka yang menyampaikan hanya karena kita tahu siapa dia. (FX. Mgn)